Friday, October 23, 2015

Belajar Memanjat Tebing Es di Glasier Franz Josef




Ini adalah kesempatan kedua berlatih di tebing es setelah menjajal di tebing buatan Skotlandia. Kesempatan itu  saya peroleh ketika backpacking ke Selandia Baru melewati dua titik  glasier kenamaan : Franz Josef Glacier dan Fox Glacier. Yang membuat  sedikit beda adalah lokasi manjat berada di luar. Jadi lebih alami karena menggunakan dinding glasier bukan raksasa freezer buatan di Ice Factor. Saya pilih Franz Josef untuk  climbing sedangkan di Fox saya dedikasikan untuk dinikmati dari udara sembari mencicip Mt. Cook/Aoraki.

Di dunia ice climbing, manjat glacier ini nomor dua dalam  kepopulerannya. Yang paling diincar adalah memanjat air terjun yang  membeku. Menurut si ahli es, air terjun membeku itu mempunyai kadar  kekerasan struktur es yang lebih solid. Ini karena proses pembekuan instan membuatnya jadi super keras dibanding glacier yang terbentuk  dari salju yang padat. Katanya tantangan ice climbing di air terjun  itu lebih okeh. Itulah kenapa surga ice climbing tipe air terjun ini  adalah di negara Canada dimana air beku lumayan banyak.

Franz Josef Glacier letaknya di pegunungan alpen pulau Selatan di  Westland National Park. Karena musim panas, membuat booking jadi  antri. (Notes : musim di NZ terbalik dengan benua di sebelah utara  hemisphere so Desember adalah puncak musim panas). Kebanyakan memilih  hiking atau walking mencicip seperti apa rasanya di es. Untunglah  penggemar ice climbing ini bisa diitung. Pas banget bisa dapat slot  melalui telepon sehari sebelumnya.

Saya diminta datang pagi-pagi ke bagian rental alat. Disini diminta  memilih sepatu boots, helm, jacket goretex, crampon, sepasang kampak  es, kaos tangan lantas dimasukkan dalam tas ransel yang sama. Jadi  bener2 seragam deh. Ohya kaos kaki dari bahan wool dan celana tahan  air juga disediakan tapi karena saya bawa sendiri jadi ngga saya ambil. Karena bakal seharian, disarankan bawa bekal makanan dan minuman.

Hari itu ada 8 orang peserta dengan guide 2 orang. Hampir semua  pernah memanjat, tapi ada yang belum pernah memanjat di es. Ada tiga  orang cewek, termasuk saya. Sisanya para cowok yang terlihat ngga  sabar. Kami dibawa ke lokasi Franz Josef Glacier dengan mobil colt.  Begitu tiba di parkiran, kami memulai trek menuju mulut glacier. Yah jangan dibayangkan jalan biasa, soalnya kami semua sudah memakai  sepatu boots climbing. Jadi jalan seperti robot dengan bawaan lumayan.

Selama perjalanan kami melewati sungai yang terjadi karena lelehan  glasier. Disana-sini bisa dilihat belahan es yang masih solid,  terkadang mengalir bersama air sungai. Glasier Franz Josef terbentuk  2 juta tahun yang lalu ketika pegunungan alps terkubur oleh lapisan  es setinggi 100km. Ketika era lelehan jaman es, gerusan proses  mencairnya es ini membentuk lembah berukuran U dan puncak2 tinggi  (fjord) dengan kedalaman hingga 500m dan menciptakan danau tampungan  air lelehan tadi.




Franz Josef sendiri panjangnya 12km dengan lekukan yang mempesona.  Menurut papan penjelasan disana, glasier ini mengalami lelehan  besar-besaran tahun 1940an dan tahun 1980an. Apakah ini disebabkan  pemanasan global? Well, banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan lelehan. Beberapa diataranya adalah banyaknya salju yang menambah beban diatas, suhu di sekitar, juga aliran sungai yang berada di bawah. Berjalan di lembah ini lumayan capek. Saya agak terseok-seok. Maklum,  tubuh saya paling kecil dan jarak langkah pasti lebih pendek. Belum lagi batu-batu terjal agak menyulitkan dengan sepatu plastik berat  begini.

Begitu mendekati kaki glasier, kami berhenti. Tak jauh dari sini saya  bisa melihat `terminal face' yakni gua yang terbentuk karena lelehan  horizontal. Ketika mendekat saya bisa mendengar tetesan dan deru air.  Ngeri juga melihat lobang dengan warna biru kelam diantara butiran  pasir. Besarnya seukuran rumah. Posisinya yang berbahaya, membuat  para pengunjung ngga boleh terlalu dekat. Dindingnya bisa runtuh  setiap saat secara tiba-tiba.

Di mulut glasier ini kami diminta memakai crampon untuk melalui es  dan salju. Saya juga menyaksikan beberapa orang guides yang sedang  meratakan jalur dengan kampak es. Tampak mereka bekerja keras  mengayun kapak, menghujam dengan keras untuk membuat jalan. Bayangkan  saja, glasier ini tiap hari meleleh, hingga tiap hari harus memperbaiki jalur agar aman diinjak oleh pengunjung macam saya ini. Tak jarang jalur lama jadi menghilang dan terpaksa membuat cabangan  baru. Jalur itu bisa dibuat seperti tangga, tapi sebagian besar cuma  jejak langkah. Kanan kiri terkadang lubang glasier yang entah  berakhir dimana. Saya bisa mendengar gerusan air dengan suara yang  menyeramkan.

Franz Josef Glacier Guides http://www.franzjosefglacier.com/, South Island, New Zealand, December 2007. Full day ice climbing. 
(tulisan ini muncul di milis Indobackpacker Maret 2009)


Labels: ,

Menyiasati Ijin Ortu Bagi (Calon) Pendaki Perempuan

Oke, ini masalah paling klasik. Kamu perempuan, merasa muda, mengebu-gebu ikut kegiatan outdoor termasuk mendaki gunung tapi gak boleh sama ortu. Alasannya: berbahaya, ngg pantes cewek keluyuran di gunung dengan cowok belel yang ngg jelas dst dsb. Bla-bla-bla. Akibatnya bisa ditebak. Mendaki tanpa ijin adalah pilihan tersulit dan juga berbahaya. Bukan saja akan menyulitkan otoritas Taman Nasional jika terjadi apa-apa, tapi juga akan membawa nama klub, sekolah bahkan institusi lebih besar. Kasus seperti pendaki di Semeru ini yang membuat saya prihatin. Toh sebagai pendaki perempuan dan (pernah) muda ada beberapa hal yang saya pengen bagi disini untuk menyiasati ijin ortu.

Sedang mendaki tanjakan di Pinnacles Trail, Mulu National Park, Malaysia ©ambarbriastuti

1. Buat pedekate bertahap. Orang tua melarang karena mereka tidak tahu kegiatan outdoor itu seperti apa. Nyanyi-nyanyi sambil gitaran di gunung atau cuma alasan buat pacaran diluar. Kalau niat  memang untuk mendaki gunung dan menikmati alam, berikan deskripsi yang jelas. Oh kami akan kemping di daerah ini, berapa hari, ada pengawasnya, berapa jumlah anggota, ngapain aja dsb.

2. Sekali ngg boleh tetap ngg boleh. Belum tentu. Yups, jangan patah semangat. Berusaha pedekate terus menerus. Terkadang orang tua ngetes seberapa kita berusaha. Be persistent, dan tahu tipe ortu kita ini masuk yang bagaimana. Orang tua keras jangan dilawan keras, tapi dengan perlawanan gigih untuk meminta ijin. Lagi dan lagi. 


3. Bila perlu ajak orang tua ikut kegiatan sekali-kali. Misalnya seperti pelatihan dasar yang masih teori seperti belajar membuat simpul, atau latihan climbing di wall di kampus/sekolah. Terkadang pelatih atau pengajar akan senang hati untuk menerangkan apa yang diajarkan di lapangan ke ortu kita. 


4. Jika memikirkan untuk ikut pelatihan outdoor di lapangan, pikirkan baik-baik seberapa lama toleransi orang tua tanpa dikirimi kabar. Ada ortu yang hanya ngasih wiken aja, tapi ada yang dengan senang hati melepas sampai berhari-hari tanpa sms atau telpon. Ada yang meminta setiap hari paling tidak ngasih tahu posisi kamu. Tepati janji untuk kontak selalu.


5. Kenalkan ortu dengan teman pendaki atau partner climbing. Ini karena ortu akan menilai seberapa komitmen kamu dan bagaimana pola berteman. Apakah anaknya memang suka mendaki betulan atau cuman nyari kawan dugem di gunung. 


6. Gunung bukan tempat pelarian dari masalah. Iyah kamu bisa aja kabur dari rumah dan mendaki gunung sebagai kompensasinya. Tapi buat apa? nunjukkin kamu mampu dan punya prinsip? Nonsense!


7. Meninggalkan surat cinta ke ortu. Bahwasanya saya akan mendaki gunung A dengan si Tole dan akan pulang tanggal sekian. Oke itu juga bisa tapi ada ortu yang langsung panik dan kontak polisi. Bukan aja bikin repot sekampung tapi juga si Tole bisa dianggap melarikan anak gadis. Bukan aja bikin malu tapi bisa membuat masalah makin panjang.


8. Ngg kasih tau apapun. Oke, dalam budaya Timur dan agama, perempuan seperti kita ini masih dibawah pengawasan ortu sampai dia menikah. Ini berbeda dengan pandangan Barat yang jika sudah mencapai usia tertentu anak dianggap sebagai dewasa dan mampu berpikir sendiri. Termasuk konsekuensi mendaki tanpa ijin. Kalaupun kamu sudah melebihi 17th, punya KTP dan SIM tapi jika terjadi apa-apa, orangtua yang akan terima akibatnya.


9. Menggunakan keluarga terdekat untuk melakukan pedekate seperti paman, paklik, pakde, bude atau siapapun yang lebih bisa memahami kegiatan outdoor. Mereka ini biasanya dulu juga mantan pendaki atau pernah melakukan kegiatan serupa. Strategi ini juga cukup bagus terutama karena dari mereka akan banyak pengalaman yang bisa digali. Mentorship seperti ini biasanya lebih ampuh untuk mendekati orang tua yang kurang info.


10. Tunjukan sebagai perempuan kita bisa mandiri dan bertindak dengan logika. Salah satu kekhawatiran ortu adalah kita ini gak bisa jaga diri. Kalau ada yang mau jahatin gimana, kalau mau diapa-apain orang gimana. Skenario What IF ini yang biasanya bikin kekhawatiran makin menjadi-jadi. Jadi meyakinkan ortu kamu bisa ngurusin diri sendiri itu penting banget. Mulailah dari rumah misalnya mencoba masak sendiri, membantu ortu sana sini. Bikin amal yang baik deh…..


11. Pilih figure yang bisa kamu ambil contoh. Ini seperti tips no 9. Cuma bedanya si figure ini bisa aja tidak punya koneksi keluarga atau kontak langsung dengan kamu. Bisa aja lewat email, sms atau saling bertanya di forum. Dia akan berlaku sebagai personal mentor yang memberikan pengaruh positif ke kegiatan kamu termasuk kegiatan outdoor. Seorang mentor yang baik akan memberikan network dan kontak yang akan membantu untuk melancarkan kegiatan pendakian.


12. Sebagai perempuan Timur dan beragama ada rules seperti etika setempat yang tidak bisa kita langgar. Misalnya ngg boleh mendaki ketika sedang mens, tidak boleh bicara kotor, hormati orang tua sekeras baja apapun mereka. Tetap hormati ketidak setujuan mereka sebagai proses pendewasaan kamu. Pikirkan lagi dan lagi tindakan yang bakal kamu lakukan dan konsekuensi logis yang bakal kamu hadapi.



Well, saya bisa menulis ini karena saya pernah melalui ini semua. Bahwasanya sebagai perempuan, kita harus tunjukan mampu menjaga diri sendiri, tegas dan mandiri. Sekali lagi proses ijin itu adalah proses memberikan trust atau kepercayaan kepada kita. Sekali kepercayaan itu dilanggar, akan sangat susah untuk mengembalikannya lagi. Jadi jagalah trust itu sebaik-baiknya.

Labels: , , ,

Friday, October 16, 2015

Bertemu Ketut Liyer: Bukan Dukun dan Bukan Dokter



Pak Letut Liyer sedang diambil photonya ©ambarbriastuti2012

Sometimes to lose balance for love is part of living a balanced life. -Ketut Liyer

Saya putuskan untuk bertemu Ketut Liyer, Medicine Man dari novel Eat Pray Love ketika berkunjung ke Indonesia Juli 2012. Seperti dikisahkan dalam bukunya Elizabeth Gilbert, saya juga tengah mengalami persimpangan dan pergulatan tentang makna hidup. Beberapa bulan sebelumnya saya baru selesai rangkaian pengobatan penyakit kanker. Saya didiagnosa sakit ketika hamil tua. Jadi rencana kencan dengan si Smiling Ketut ini memang ada misi tersembunyi.


Sengaja saya datang pagi-pagi ke compund rumahnya di Pengosekan, Ubud Bali. Atas saran staf tempat saya menginap datang awal untuk mengambil nomor antrian. Begitu tiba di gerbang rumahnya, saya ditanya oleh anggota keluarganya. Apakah saya mewakili pribadi ataukah ‘tamu’? Oh jadi tampang saya memang pas jadi guide hehehe…


Kediaman Ketut Liter di Pengosekan, Ubud Bali. ©ambarbriastuti2012

Nomer togel saya hari itu adalah 5. Dua pasien sebelumnya didepan saya adalah dua orang perempuan bule Australia. Saya putuskan menunggu saja sambil jalan-jalan di taman rumahnya yang asri. Saya perhatikan memang entah Pak Ketut Liyer atau keluarganya ‘menjual’ publikasi Eat Pray Love itu. Ada poster film dengan mba Julia Robert disana. Entahlah ini rasanya seperti komersialisasi tukang obat. Saya sempat meragukan niat awal dan sekilas mau pergi saja. Tapi karena telanjur disini dan nampaknya nomer saya jatuh berikutnya.


Pak Ketut Liyer mengaku berumur 98 tahun berdasarkan penanggalan Bali/Saka tapi masih gesit dan cukup responsif. Sebelum mulai sesi, ia lebih dulu bercerita tentang pertemuannya dengan mba Gilbert dan menunjukkan catatan lusuhnya. Tak lupa ia menunjuk namanya di novel sambil berucap,”Ini nama saya disini.” (Saya mengiyakan walaupun saya tahu ia tidak bisa membaca). Bahasa inggrisnya patah dalam grammar khas percakapan. Tapi pesan yang disampaikan cukup dimegerti, terutama dua tamu didepan saya. Entahlah saya jadi il-fil begitu melihat para tamu yang antusias dengan Pak Ketut Liyer seperti layaknya selebriti. Saya merasa sedang menghadap dukun terkenal.


Poster film Eat Pray Love di kediaman Ketut Liyer ©ambarbriastuti2012

Yang saya tangkap kemudian memang Pak Ketut Liyer ini membuat semacam default komentar. Jadi urutannya sudah pakem, seperti halnya yang ada di novel itu. Persis. Jarang bervariasi, dan nampaknya karena ia menyadari itulah yang dicari konsumen. Sayangnya saat itu saya bukan berkunjung bukan seperti Elizabeth Gilbert.


Sebenarnya saya hanya ingin melihat sejauh mana ia bisa ‘membaca’ saya. Artinya membaca karakter dan kepribadian yang tentu dia lebih ahli. Tentang penyakit dsb, saya yakin ia tidak bisa bertindak lebih dari sekedar memberi saran. Ia hanya berlaku seperti seorang yang memberikan afirmasi. Tidak lebih dari itu.

Kalau ditanya apakah bertemu Ketut Liyer itu sepadan dengan apa yang diberikannya. Saya bilang itu tergantung dari mana anda mengukurnya. Ada sedikit sedih karena sepertinya ia begitu lelah. Dan orang-orang seperti saya ini mendesaknya untuk tetap tersenyum.

Labels: , , ,

Monday, October 12, 2015

Partner Backpacking: Antara Butuh dan Ego



Di era sosial media begini, mencari partner hiking/backpacking bisa didapat dengan mudah. Tinggal posting nanya di forum, nawarin itinerary lantas semoga ada yang serius untuk kontak. Masalahnya adalah partner itu seperti mencari jodoh. Kadang ketemu yang cocok, kadang bisa ngga akur hingga pisah dijalan. Kejadian begini sih bukannya kejadian di drama korea atau sinetron, tapi emang banyak banget.  

Saya beberapa kali jalan bersama dengan cara share cost dan tidak pernah mengangkat diri sebagai EO melainkan hanya sebagai koordinator saja. Ada yang jalan karena ketemu aja di lokasi. Cocok dan terus aja. Dari berbagai pengalaman pribadi, ini adalah beberapa skenario yang mungkin kita hadapi:

1. Backpacking dengan pacar/pasangan/istri/suami itu memang asyik, tapi siap-siaplah adu argumen. Memang hubungan itu akan ditest bener di lapangan. Bagaimana menyamakan selera, bagaimana mengurangi ego iyah mengurangi sedikit, atau jadi menahan diri. Bagaimana memecahkan permasalah ketika jalan dan meneruskan hingga akhir. Kemampuan problem solver ini paling tidak harus dipunyai untuk lebih focus pada perjalanan itu sendiri ketimbang menyeret-nyeret permasalahan.

      2. Backpacking dengan partner yang kita tidak tahu latar belakangnya. Ini seperti membeli kucing di karung. Bisa-bisa kita kena cakarnya kalau ngg waspada. Beberapa share trip menggunakan EO yang terkadang menerapkan reputasi hanya dari social media saja. Di facebook nya terpampang photo2 aduhai perjalanan tapi setelah dirunut ternyata ambil sana sini. Ada juga saya indikasikan yg mengaku EO itu TIDAK melakukan perjalanan sebelumnya tapi sudah ditawarkan sebagai trip untuk keperluan komersial. Nah ini rasanya keterangan ini sering tidak disampaikan kepada partner backpacking. Jadi dia ini hanya berlaku seperti agen saja. 
      
      3Backpacking dengan partner yang overestimate dan overconfident. Ini yang menurut saya paling menyebalkan. Sudah ngakunya sering jalan, tapi ternyata dasar ilmu nyari peta saja kagak bisa. Udah begitu membuat sederet referensi-referensi yang membuat ia terlihat kredibel. Ini akan ketauan belangnya di lapangan ketika ia ditempatkan pada situasi yang menuntut pemecahan segera dan kemampuan kepemimpinan. Orang begini biasanya akan menghindar dan membilang, “Ah saya kan hanya peserta, bukan yang ngajuin rencana.”

4.     Backpacking dengan partner yang kemampuannya dibawah kita. Oke ini kesannya seperti sombong tapi memang kita akan dihadapkan seperti ini. Dalam hal ini saya membilang kemampuan itu tidak hanya kemampuan fisik tapi juga kemampuan basic sebagai pejalan seperti orientasi medan, riset destinasi, membuat alternative destinasi dan bagaimana membuat keputusan dengan cepat. Skill ini memang hanya bisa diasah bagi mereka yang paling tidak jam terbangnya cukup bisa diandalkan. Nah apakah yang sering jalan akan jadi partner yang menyenangkan? Ngg juga sih. Itu akan kembali ke No3 tentang partner yang over confident tadi. 

5.     Backpacking dengan partner yang beda style jalannya. Okeh ini masalah gaya hidup. Apakah kamu biasa ngere atau maunya jalan dengan nyaman. Bisakah kamu tidur di bis yang bobrok, bisakah kamu be-ol di tempat terbuka, bisakah kamu makan di pinggir jalan. Ini semua menentukan style jalan dan partner seperti apa yang kamu inginkan. Apakah ia bisa tahan tidak mandi selama tiga hari (atau lebih)? Apakah ia hanya ingin menginap di resort dan selalu menggunakan taxi? Masalah style ini menjadi pertimbangan paling besar karena menentukan sekali banyak faktor. Pertama, pilihan lokasi. Kalau kamu hobi trekking paling ngga temen trek yang sepaham dan mengerti kemampuan fisik. Maunya ke Lombok buat ke pantai bukan ke Rinjani. Kedua masalah minor seperti makanan, tempat tidur, wifi, pilihan transportasi dsb itu bisa dibentuk dari membuat itinerary bersama. Ini berhubungan dengan besar biaya dan bagaimana biaya itu dibagi. Apalagi yang maunya nginep hotel berbintang ketimbang memakai hostel atau airbnb.

6.     Backpacking dengan partner yang baru bertemu. Kadang memang impulsif itu juga mengasyikkan. Eh ketemu di warung ternyata nawarin jalan ke tempat yang belum pernah kita denger. Tapi ini juga menyimpan beberapa potensial konflik seperti yang saya jelasin di No2. Kalau anaknya asik-asik aja sih kayaknya no problem. Atau hanya melibatkan diri di satu kegiatan ketimbang ngikut di seluruh rangkainan jalan. Ini sangat bergantung pada toleransi kamu pada orang baru. Kalau merasa aman yah monggo saja. Siapa tahu memang bakal jadi anugrah tersembunyi.

Jadi intinya sih memang siap-siaplah dengan partner jalan. Artinya kita sendiri yang harus seimbang antara butuh teman dan ego. Yang pasti nih, smoga ngg ada yang sakit hati begitu habis backpacking bareng. Masalah diselesaikan ditempat, anggap aja rampung dan ngg usah dibahas lagi. Paling tidak kita bisa move on di trip berikutnya. Ya ngga? Masih banyak destinasi lain yang menunggu kita kunjungi, entah sendiri atau bersama kawan. 
      

Catatan: topik ini pernah jadi bahan diskusi di milis Indobackpacker. Rangkuman diatas hanyalah semacam highlight semata. 






Labels: , ,

Wednesday, October 7, 2015

Pendaki Dewa Vs Pendaki Minimalis


   

Alat yg diperlukan ketika situasi darurat (Kiri ke kanan atas ke bawah: emergency blanket, sugar food, pisau lipat, kompas, lampu). Koleksi pribadi

Saya baru ngeh tentang istilah ‘Pendaki Dewa’ ini setelah membaca beberapa komentar di blog rekan Farchan tentang resensi film Everest.  Pendaki Dewa disini artinya adalah pendaki yang mendewa-dewakan alat atau gear. Mereka ini suka sekali ngomongin merk dan kualifikasi masing-masing. Yah ngg jauh-jauh amat dari North Face, Berghaus, Petzl, Black Diamonds dsb dsb.  Ini mengingatkan saya beberapa tahun kebelakang ketika komunitas pendaki sempat ada tarik ulur antara yang pro alat dan yang minimalis. Pendaki minimalis ini bisa dibilang pendaki yang memilih membawa alat seminim mungkin. Baju terkadang seadanya, sandal jepit daripada sepatu boot.

Ada perbedaan persepsi yang sangat besar tentang gear/alat yang saya lihat disini. Saya akan coba buka satu persatu:

1.   Gear/alat itu adalah sebuah keharusan
Sebagai pendaki, saya merasa diuntungkan dengan alat-alat yang cukup membantu. Terutama jika alat itu melibatkan alat climbing/SRT misalnya tali, harness, ascender, decencer, helm dsb. Saya tegaskan bahwa ada memang saatnya ketika alat-alat ini menjadi keharusan karena medan yang berat atau iklim yang ekstrem. Bukankan alat itu diciptakan untuk memudahkan pendakian?
Tapi saya juga ngg setuju jika kita mendewakan merk. Ada rekan yang membela mati-matian merk tertentu karena bagus dan berkualitas ok. Silakan saja, tapi ada peralatan yang bersifat sangat personal misalnya ransel dan sepatu. Biar mahal sekalipun kalau ukuran ngg pas dan nyaman tetap aja ngg enak dipakai. Apalagi seperti sepatu boots itu makin sering dipakai makin nyaman karena makin membentuk ke kaki kita. Tapi apakah punya sepatu okeh lantas kaos kakinya asal-asalan? Nah kuncinya itu tadi: kenyaman diri sendiri.

2.   Gear/alat akan menjamin suksesnya pendakian
Alat memang diciptakan untuk menjadikan kita pendaki ini untuk lebih konsentrasi ke pendakian daripada ribet mikirin jempol yang kapalen, memar karena sepatu yang ngg cocok. Saya pernah memergoki pendaki yang sepatunya ancur begitu mulai mendaki tapi nekad meneruskan. Ia berhasil memang tapi menunjukkan ketidak siapan atau ketidak tahuan dia akan medan yang akan dihadapinya. Bangga? Nups. Saya cenderung melihat pendaki seperti ini selfish, egosentrik dan bergantung pada orang lain untuk menolongnya. Itu bukan sikap pendaki yang sejati.

Menambah pengetahuan lewat bacaan membuat kita lebih siap. Koleksi pribadi.


3.  Gear/alat yang mahal itu akan lebih baik.
Belum tentu. Alat yang baik adalah alat yang cocok dengan kita. Entah itu tingkat kemampuan ataupun dengan bentukan anatomi kita. Saya contohkan ransel. Kebanyakan rekan-rekan pendaki mendewakan ransel buatan luar negeri karena bahannya atau bentuk konstruksinya yang bagus. Padahal ketika memlilh ransel kita harus mengukur panjang batang tubuh yakni dari tulang belakang ketujuh (C7) hingga tulang diatas pinggul (hip bone). Nah ukuran ini seperti halnya baju, tergantung dengan masing-masing si pembuat ransel. Apakah dikatagorikan Large, Medium atau Small. Nah kebanyakan teman-teman dari Indonesia tubuhnya berukuran kecil atau Extra Small terutama untuk perempuan. Makanya akan sangat susah mendapatkan ukuran ini jika merujuk merk dari luar negeri. So kenali dulu bentuk tubuh dan cari tahu bagaimana memilih gear/alat yang baik sebelum memutuskan sebuah merk.


4.     Menjadi minimalis untuk menunjukkan kamu itu jagoan.
Well, sorry guys. Saya menghargai pendaki yang bisa melakukan persiapan seadanya untuk naik gunung yang diperlukan baju hangat, logistik dan piranti memadai. Tapi menempatkan diri sendiri pada resiko bergantung pada kesiapan diri kamu sendiri. Jangan andalin orang lain untuk menolong atau rescue kamu jika tersesat, kelaparan dan kedinginan. Yang saya tegaskan disini, sebagai pendaki kita HARUS punya perilaku ‘resilient’ alias tabah dan ulet serta mampu bertahan. Tapi menggantungkan diri pada belas kasihan itu berbeda dengan sikap resilient. “Ah nanti disana kan ketemu pendaki yang saya bisa pinjem jaketnya.” Atau “Ah nanti kan bisa nebeng makan punya grup sebelah” Yah sori deh, jangan terlalu ngere banget gitu loh. Paling tidak bawa keperluan pribadi itu sebuah keharusan.


5.     Pendaki Dewa itu lantas bisa dibilang jagoan.
Oke buat kamu pendaki yang punya gear super lengkap dari ujung kepala sampai kaki apakah lantas merasa hebat. Tunggu kawan, kamu lupa. Ada gear yang ngg bisa kamu beli. Yaitu otak dan mental pendaki. Biarpun kamu sangat siap tapi ngg bisa baca situasi, medan, apalagi peta waaaah…jangan berharap bisa sukses. Daya koknitif di lapangan (outdoor) itu hanya bisa diasah lewat pengalaman dan percobaan di medan. Hanya orang yang punya skill (iyah ini skill yang diasah, bukan dibeli) inilah yang mampu bertahan. Entah dia pake gear lengkap atau tidak. So itulah kenapa pelatihan dasar outdoor itu diperlukan. Bukan saja memberikan skill itu tapi juga mengasah karena diberikan kondisi yang sesungguhnya. Jadi yang merasa sok dewa karena punya alat berderet-deret, tunggu aja apakah dia bisa pake alat itu di lapangan. Saya pernah kok memergoki pendaki yang ngg bisa ngeset ransel nya sendiri walaupun udah pake merk ternama. Malu-maluin dah..

Jadi sekarang mau mengatagorikan masuk mana tergantung pada sudut pandang kamu. Silakan kasih opini.

Labels: , , , ,