Wednesday, October 7, 2015

Pendaki Dewa Vs Pendaki Minimalis


   

Alat yg diperlukan ketika situasi darurat (Kiri ke kanan atas ke bawah: emergency blanket, sugar food, pisau lipat, kompas, lampu). Koleksi pribadi

Saya baru ngeh tentang istilah ‘Pendaki Dewa’ ini setelah membaca beberapa komentar di blog rekan Farchan tentang resensi film Everest.  Pendaki Dewa disini artinya adalah pendaki yang mendewa-dewakan alat atau gear. Mereka ini suka sekali ngomongin merk dan kualifikasi masing-masing. Yah ngg jauh-jauh amat dari North Face, Berghaus, Petzl, Black Diamonds dsb dsb.  Ini mengingatkan saya beberapa tahun kebelakang ketika komunitas pendaki sempat ada tarik ulur antara yang pro alat dan yang minimalis. Pendaki minimalis ini bisa dibilang pendaki yang memilih membawa alat seminim mungkin. Baju terkadang seadanya, sandal jepit daripada sepatu boot.

Ada perbedaan persepsi yang sangat besar tentang gear/alat yang saya lihat disini. Saya akan coba buka satu persatu:

1.   Gear/alat itu adalah sebuah keharusan
Sebagai pendaki, saya merasa diuntungkan dengan alat-alat yang cukup membantu. Terutama jika alat itu melibatkan alat climbing/SRT misalnya tali, harness, ascender, decencer, helm dsb. Saya tegaskan bahwa ada memang saatnya ketika alat-alat ini menjadi keharusan karena medan yang berat atau iklim yang ekstrem. Bukankan alat itu diciptakan untuk memudahkan pendakian?
Tapi saya juga ngg setuju jika kita mendewakan merk. Ada rekan yang membela mati-matian merk tertentu karena bagus dan berkualitas ok. Silakan saja, tapi ada peralatan yang bersifat sangat personal misalnya ransel dan sepatu. Biar mahal sekalipun kalau ukuran ngg pas dan nyaman tetap aja ngg enak dipakai. Apalagi seperti sepatu boots itu makin sering dipakai makin nyaman karena makin membentuk ke kaki kita. Tapi apakah punya sepatu okeh lantas kaos kakinya asal-asalan? Nah kuncinya itu tadi: kenyaman diri sendiri.

2.   Gear/alat akan menjamin suksesnya pendakian
Alat memang diciptakan untuk menjadikan kita pendaki ini untuk lebih konsentrasi ke pendakian daripada ribet mikirin jempol yang kapalen, memar karena sepatu yang ngg cocok. Saya pernah memergoki pendaki yang sepatunya ancur begitu mulai mendaki tapi nekad meneruskan. Ia berhasil memang tapi menunjukkan ketidak siapan atau ketidak tahuan dia akan medan yang akan dihadapinya. Bangga? Nups. Saya cenderung melihat pendaki seperti ini selfish, egosentrik dan bergantung pada orang lain untuk menolongnya. Itu bukan sikap pendaki yang sejati.

Menambah pengetahuan lewat bacaan membuat kita lebih siap. Koleksi pribadi.


3.  Gear/alat yang mahal itu akan lebih baik.
Belum tentu. Alat yang baik adalah alat yang cocok dengan kita. Entah itu tingkat kemampuan ataupun dengan bentukan anatomi kita. Saya contohkan ransel. Kebanyakan rekan-rekan pendaki mendewakan ransel buatan luar negeri karena bahannya atau bentuk konstruksinya yang bagus. Padahal ketika memlilh ransel kita harus mengukur panjang batang tubuh yakni dari tulang belakang ketujuh (C7) hingga tulang diatas pinggul (hip bone). Nah ukuran ini seperti halnya baju, tergantung dengan masing-masing si pembuat ransel. Apakah dikatagorikan Large, Medium atau Small. Nah kebanyakan teman-teman dari Indonesia tubuhnya berukuran kecil atau Extra Small terutama untuk perempuan. Makanya akan sangat susah mendapatkan ukuran ini jika merujuk merk dari luar negeri. So kenali dulu bentuk tubuh dan cari tahu bagaimana memilih gear/alat yang baik sebelum memutuskan sebuah merk.


4.     Menjadi minimalis untuk menunjukkan kamu itu jagoan.
Well, sorry guys. Saya menghargai pendaki yang bisa melakukan persiapan seadanya untuk naik gunung yang diperlukan baju hangat, logistik dan piranti memadai. Tapi menempatkan diri sendiri pada resiko bergantung pada kesiapan diri kamu sendiri. Jangan andalin orang lain untuk menolong atau rescue kamu jika tersesat, kelaparan dan kedinginan. Yang saya tegaskan disini, sebagai pendaki kita HARUS punya perilaku ‘resilient’ alias tabah dan ulet serta mampu bertahan. Tapi menggantungkan diri pada belas kasihan itu berbeda dengan sikap resilient. “Ah nanti disana kan ketemu pendaki yang saya bisa pinjem jaketnya.” Atau “Ah nanti kan bisa nebeng makan punya grup sebelah” Yah sori deh, jangan terlalu ngere banget gitu loh. Paling tidak bawa keperluan pribadi itu sebuah keharusan.


5.     Pendaki Dewa itu lantas bisa dibilang jagoan.
Oke buat kamu pendaki yang punya gear super lengkap dari ujung kepala sampai kaki apakah lantas merasa hebat. Tunggu kawan, kamu lupa. Ada gear yang ngg bisa kamu beli. Yaitu otak dan mental pendaki. Biarpun kamu sangat siap tapi ngg bisa baca situasi, medan, apalagi peta waaaah…jangan berharap bisa sukses. Daya koknitif di lapangan (outdoor) itu hanya bisa diasah lewat pengalaman dan percobaan di medan. Hanya orang yang punya skill (iyah ini skill yang diasah, bukan dibeli) inilah yang mampu bertahan. Entah dia pake gear lengkap atau tidak. So itulah kenapa pelatihan dasar outdoor itu diperlukan. Bukan saja memberikan skill itu tapi juga mengasah karena diberikan kondisi yang sesungguhnya. Jadi yang merasa sok dewa karena punya alat berderet-deret, tunggu aja apakah dia bisa pake alat itu di lapangan. Saya pernah kok memergoki pendaki yang ngg bisa ngeset ransel nya sendiri walaupun udah pake merk ternama. Malu-maluin dah..

Jadi sekarang mau mengatagorikan masuk mana tergantung pada sudut pandang kamu. Silakan kasih opini.

Labels: , , , ,

4 Comments:

At October 8, 2015 at 4:08 AM , Blogger Lina W. Sasmita said...

Iya setuju mbak. Kayak saya nih punya ransel satu 90 liter merek lokal buatan Jogja udah 13 tahun masih bertahan dipakai karena nyaman dipakai. Belum beli baru lagi. Sayang soalnya.

 
At October 8, 2015 at 9:40 AM , Blogger Boughil said...

Wew.. Nambah kasta lagi untuk julukan penggiat ruang terbuka.. Setau sy sih ga ada istilah pendaki dewa, yg ada istilah gear dewa.. Istilah yg iseng dibuat pas liat ada yg jual brg bermerk yg waktu itu masih langka..

 
At October 12, 2015 at 11:38 PM , Blogger ambaradventure said...

hihihi...biar ransel dan sepatu butut tapi nyaman dipake. Ada memang yang barang mahal dan tingkat kenyamannya juga oke. Seperti tas ranselku. Itupun memang disetel pas ditubuhku. Jadi kalau mau pinjam ya bisa cuman badannya harus pendek kayak aku

 
At October 12, 2015 at 11:40 PM , Blogger ambaradventure said...

Istilah ini saya anggap memang istilah kekinian. Beberapa tahun yang lalu Pendaki Dewa ini sangat terbatas karena akses ke gear yang terbatas. Sekarang begitu daya beli nambah, juga nambah pula penganut Pendaki Dewa

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home