Kegiatan ini boleh dibilang gabungan dari mountaineering dan rock climbing. Lahir di Italy dan populer awal tahun 1998 kemudian makin berkembang di negara-negara Eropa. Dasarnya adalah melakukan pendakian puncak-puncak gunung dengan melewati iron way
(via-ferrata) atau semacam kabel baja berdiameter 10mm dengan sistem belaying sendiri
(self belaying) sebagai pengaman. Tiap section tinggal clip on pada iron way sembari memanjat. Disarankan memakai kaus tangan untuk mengatasi iritasi kulit akibat gesekan dengan metal. Anda bisa memakai sepatu climbing atau cukup dengan sepatu boots bergantung pada tingkat kesulitan. Lokasi paling menarik adalah di Dolomites Italy berbatasan dengan Austria dan Switzerland.
Pemilihan lokasi Dolomites lebih dikarenakan dekat dengan Milan. Juga waktu itu penawaran murah dari
flybe untuk terbang ke Bargamo (20 miles dari Milan). Dolomites terletak di Utara Italy dan hanya beberapa km dari perbatasan dengan Austria dan Switzerland. Bahasa yang dipergunakan mayoritas German daripada Italy. Juga kultur penduduknya lebih mendekati Austria ketimbang Italy. Tempat ini sangat terkenal sebagai sarana ski ketimbang via-ferrata. Untuk sampai kesana diperlukan waktu 3 jam perjalanan dengan melewati pegunungan dan perkebunan anggur yang menawan.
Day 1Kami berangkat Sabtu pagi dari Birmingham berbarengan dengan ribuan holiday maker. Perjalanan cerah dengan pemandangan yang menakjubkan. Kami melewati pegunungan Swiss yang terlihat masih tertutup salju walau sudah menjelang musim panas. Tiba di Bargamo kemudian menyewa mobil untuk menuju lokasi. Harga sewa sekitar Euro 135 (2003) untuk 4 hari. Dolomites yang biasanya dipenuhi oleh hotel dan ski hut nampak sepi karena memang kami datang ketika off season.
Kami juga harus membeli peralatan climbing yang dibutuhkan khusus untuk via ferrata seperti shock absorber yang hanya bisa didapat di Italy. Untuk Y type self belaying sudah kami persiapkan sebelum berangkat, namun dibutuhkan special carabiner yang didesain untuk memudahkan clip dan unclip. Rencananya kami mampir makan siang dalam perjalanan sembari belanja. Ternyata perhitungan kami meleset. Sabtu siang pusat pertokoan sangat-sangat sepi membuat kami gumun. Rupanya toko-toko di Italy hanya buka setengah hari jika hari Sabtu dan tutup sepenuhnya hari Minggu dengan alasan religius. Dengan dongkol dan gemes kami meneruskan perjalanan menuju Dolomites dan hampir desperate mencari peta. Setelah putar-putar kami ketemu Tourist Information yang ternyata buka sampai sore hingga minggu. .Yang terpenting kami mendapat peta untuk daerah setempat plus jalur via ferrata. Sore hari kami mempelajari medan langsung ke lokasi. Diputuskan untuk pendakian esok hari dimulai dengan grade paling mudah.
Kami bisa mencari losmen sekitar Euro 25 per orang. Saat itu hanya sekitar 10 hotel yang buka. Hari pertama berlalu dengan sia-sia, stress dan kecapekan. Hopeless….
Day 2Kami set-off dari hotel agak pagi. Cuaca sangat cerah dengan humidity yang tinggi. Setelah breakfast kami segera menuju lokasi yang hanya 10 menit dengan mobil. Pemandangan sangat menarik dengan stasiun kereta salju di kejauhan. Bunga-bunga nampak bermekaran menambah suasana begitu cerah. Kami bergerak sekitar pukul 10am.
Untuk menuju route Fassa 3 dan 4 kami harus berjalan ke arah dasar gunung kira 35 menit dari Hotel Alpenrose. Medan sangat mudah namun kembali sedikit terjal ketika sampai di punggung gunung. Rute boleh dibilang hanya membutuhkan kemampuan climbing yang tidak terlalu menuntut tinggi. Bisa dikatagorikan hiking daripada climbing. Namun pemandangan amat indah dan luar biasa. Di seberang kita bisa melihat himpunan salju yang masih tegar tidak meleleh walau suhu sekitar 30C. Perjalanan cuma memakan 2 jam plus makan siang.
Kemudian descent dengan jalan yang sama. Kami segera menuju Fassa 3 yang terletak bersebelahan. Untuk menuju kesana kami harus berjalan 20 menit dari titik start Fassa 4. Awal climbing amat menantang dengan tangga besi yang dibor ke dalam batuan. Selanjutnya makin menarik karena lumayan terjal dengan faktor kesulitan yang lumayan. Beberapa point sempat membuat peluh bercucuran !!!
Kami tiba di puncak dalam 1.5 jam kemudian mengatur nafas untuk turun. Dipilih rute yang agak berbeda (demikian kata buku petunjuk). Untuk turun juga diperlukan kemampuan teknik yang lumayan karena terjal dan banyak batu-baru yang longsor. Untuk turun memerlukan waktu kurang lebih 1 jam sebelum berjalan pulang ke titik awal pendakian. Kami sampai start point kurang lebih pukul 4.30 dengan faktor kelelahan minimum. Kami puas dengan hasil pendakian dua rute dan confidence untuk melakukan pendakian esok hari dengan tingkat kesulitan yang dua klas diatas.
Karena masih siang (kalau summer di Eropa matahari tenggelam pukul 10 malam) maka diputuskan untuk meninjau lokasi. Tidak terlalu jauh dan amat menantang. Dari jalan raya jelas terlihat jembatan penghubung dua puncak yang cukup dramatis. Selanjutnya kami memilih jalan-jalan dan mengambil gambar sekitar sunset di antara kegagahan tebing Dolomites yang menawan !!!! Tak terlupakan…..
Day 3Hari ini kami berangkat lebih pagi untuk membeli peralatan dan helm climbing (helm yang lama ancur karena diduduki). Juga beberapa piranti kecil seperti kaos tangan (yang berlobang di jarinya) dan small carabiner. Kami set off ke lokasi sekitar 9.30 dan menuju awal pendakian yang hanya membutuhkan jalan kaki sekitar 10 menit. Titik start kurang lebih beberapa puluh meter dari air terjun. Sempat bertemu dengan an English bloke yang sudah beberapa kali melakukan rute Tridentina ini. Menurutnya route ini paling menarik karena menawarkan keasyikan climbing dan pemandangan yang indah. Di buku petunjuk memang dikatakan jalur ini sangat populer. Saya nervous, ditandai perut sedikit mulas. Mungkin karena sehari sebelumnya saya melihat lokasi dan membayangkan terjalnya menuju puncak yang 90 derajat terus menerus hampir 100 meter.
Untung jalur ini terdapat tempat untuk merenung apakah mau meneruskan atau tidak.Di awal climbing berupa tangga besi yang sangat rapat. Cukup menegangkan dan saya harus berjuang mengatasi nervous yang mengganggu.
Kurang lebih 20 menit sampai di dataran yang harus kita tempuh dengan jalan kaki. Disinilah kalau di buku dinamakan “jalur pelarian”(escape route) karena kita bisa balik kanan jika tidak confidence. Kami juga bertemu marinir Italy yang mengadakan latihan rock climbing di lokasi ini.
Saya memutuskan terus (pokoknya maju tak gentar !!!), apalagi nervous saya banyak berkurang. Setelah mengambil nafas kami mulai climbing kembali. Kali ini diawali dengan sederetan tangga baja yang dipasang didinding tebing. Untuk menaikinya kita harus tetap menggunakan belay. Pokoknya anywhere, anytime...Disinilah climbing sesungguhnya karena memaksa saya mengeluarkan seluruh tenaga untuk sekedar naik beberapa langkah. Beberapa batuan terlalu licin karena sering dipakai mengakibatkan harus mencari tumpuan baru.
Berbarengan dengan kami adalah pasangan usia lanjut (saya perkirakan mereka 60an) dan masih prima ! Wah jadi malu aku....sedang tepat dibelakang kami pasangan muda Italy yang seperti kami ini baru pertama kali mencoba jalur Tridentina. Jika musim ramai bisa dipastikan panjangnya antrian melalui jalur ini di tengah terik matahari. Kira-kira setelah memeras keringat 1,5 jam kami istirahat di sebuah snow waterfalls. Uniknya ditengah ada salju yang mulai meleleh tepat di jatuhnya air terjun mengakibatkan bentukan seperti jembatan.
Next kami terus mendaki, kali ini lumayan sulit dengan tumpuan bahkan hampir impossible. Saya nyesel ngga memakai sepatu climbing dan hanya memakai boots yang tentu flexibilitasnya jauh dibawah. Sempat terpeleset dan saya merasakan efek belaying itu sendiri. Sentakan kuat terutama didada dan perut (saya pake body harness), kaki saya gemeteran merubah posisi. Untuk beberapa detik saya ambil nafas dalam dan menghilangkan ketegangan. Ufff hampir saja.....(wadowwww masih pengen spaghetti nih !!!).
Selepas lekukan kami akhirnya sampai di jembatan penghubung dua tebing yang juga dari baja plus kayu sebagai jalan. Memang agak goyang apalagi pemandangan jatuh bebas yang hiiiiiii...ngeri Setelah mejeng sejenak kami meneruskan langkah ke tahap berikutnya. Selepas jembatan jalur lebih mudah dan dalam lima menit kemudian bisa ditempuh dengan jalan kaki. Di kanan kiri nampak tumpukan es yang belum meleleh. Kami berakhir di sebuah ski hut yang diseberangnya terdapat sebuah danau. Selanjutnya makan siang dan membasuh kaki. Wah dinginnnn banget airnya karena danau ini berasal dari salju yang meleleh menuju waterfall di bawah dan menjadi sungai. Sebenarnya ada jalur lagi kesisi east danau tapi kami putuskan untuk turun karena faktor kelelahan akibat teriknya matahari. Sekitar setengah jam kami habiskan untuk santai dan membiarkan perut settle dulu. Disini kami lepas semua peralatan dan hanya memakai baju hiking saja plus pole (tongkat jalan).
Jalur turun lumayan seru. Bukannya susah tapi baru kali ini saya belajar turun dengan batuan bercampur snow. Mark memberikan lesson bagaimana mengatasi pergerakan. Intinya karena tanah sangat lose bukan berarti nggak bisa diinjak. So dinikmati saja. Kalau tanah agak longsor ya biarin. Itu tekniknya...ha..ha...ha..(ini sangat berguna ketika kami turun Semeru dengan setengah berlari dalam waktu hanya setengah jam).
Selanjutnya kami ketemu padang kecil yang menuntun kami berakhir di parkiran tempat awal kami berangkat. Berikut summary route :
Day 1 (kami melakukan Fas 4 then Fas 3)
Fassa 4 : VF Roda de Vael
Grade : 1, Seriousness : B
Departure Point : Hotel Alpenrose, Passo Costalungo
Ascent : 700m
Descent : 700m
Via Ferrata : 200m
Approx time : 3 hours (allow 4- 4,5 hours)
Highest Altitude : 2806m (Roda de Vael)
Fassa 3 : Ferrata Masare
Grade : 2, Seriousness : B
Departure Point : Hotel Alpenrose, Passo Costalungo
Ascent : 900m
Descent : 900m
Via Ferrata : 400m
Approx time : 2 hours (allow 3 hours)
Highest Altitude : 2727m (Masare)
Day 2Corvara 4 : Brigata Tridentina
Grade : 3, Seriousness : B
Departure Point : Car park below Passo Gardena on Corvara road
Ascent : 750m
Descent : 750m
Via Ferrata : 400m
Approx time : 5 -7 hours (depends on traffic)
Highest Altitude : 2585m
* Grade dari 1 to 5
Seriousness dari A to C
This article also appeared in
Highcamp Labels: mountaineering, travelling