Partner Backpacking: Antara Butuh dan Ego
Di era sosial media begini, mencari partner hiking/backpacking bisa didapat dengan mudah. Tinggal posting nanya di forum, nawarin itinerary lantas semoga ada yang serius untuk kontak. Masalahnya adalah partner itu seperti mencari jodoh. Kadang ketemu yang cocok, kadang bisa ngga akur hingga pisah dijalan. Kejadian begini sih bukannya kejadian di drama korea atau sinetron, tapi emang banyak banget.
Saya beberapa kali jalan bersama dengan cara share cost dan tidak pernah mengangkat diri sebagai EO melainkan hanya sebagai koordinator saja. Ada yang jalan karena ketemu aja di lokasi. Cocok dan terus aja. Dari berbagai pengalaman pribadi, ini adalah beberapa skenario yang mungkin kita hadapi:
1. Backpacking dengan
pacar/pasangan/istri/suami itu memang asyik, tapi siap-siaplah adu argumen.
Memang hubungan itu akan ditest bener di lapangan. Bagaimana menyamakan selera,
bagaimana mengurangi ego iyah mengurangi sedikit, atau jadi menahan diri.
Bagaimana memecahkan permasalah ketika jalan dan meneruskan hingga akhir.
Kemampuan problem solver ini paling tidak harus dipunyai untuk lebih focus pada
perjalanan itu sendiri ketimbang menyeret-nyeret permasalahan.
2. Backpacking dengan partner yang kita
tidak tahu latar belakangnya. Ini seperti membeli kucing di karung. Bisa-bisa
kita kena cakarnya kalau ngg waspada. Beberapa share trip menggunakan EO yang
terkadang menerapkan reputasi hanya dari social media saja. Di facebook nya
terpampang photo2 aduhai perjalanan tapi setelah dirunut ternyata ambil sana
sini. Ada juga saya indikasikan yg mengaku EO itu TIDAK melakukan perjalanan
sebelumnya tapi sudah ditawarkan sebagai trip untuk keperluan komersial. Nah
ini rasanya keterangan ini sering tidak disampaikan kepada partner backpacking.
Jadi dia ini hanya berlaku seperti agen saja.
3. Backpacking dengan partner yang
overestimate dan overconfident. Ini yang menurut saya paling menyebalkan. Sudah
ngakunya sering jalan, tapi ternyata dasar ilmu nyari peta saja kagak bisa.
Udah begitu membuat sederet referensi-referensi yang membuat ia terlihat
kredibel. Ini akan ketauan belangnya di lapangan ketika ia ditempatkan pada
situasi yang menuntut pemecahan segera dan kemampuan kepemimpinan. Orang begini
biasanya akan menghindar dan membilang, “Ah saya kan hanya peserta, bukan yang
ngajuin rencana.”
4. Backpacking dengan partner yang kemampuannya dibawah kita. Oke ini kesannya seperti sombong tapi memang kita akan dihadapkan seperti ini. Dalam hal ini saya membilang kemampuan itu tidak hanya kemampuan fisik tapi juga kemampuan basic sebagai pejalan seperti orientasi medan, riset destinasi, membuat alternative destinasi dan bagaimana membuat keputusan dengan cepat. Skill ini memang hanya bisa diasah bagi mereka yang paling tidak jam terbangnya cukup bisa diandalkan. Nah apakah yang sering jalan akan jadi partner yang menyenangkan? Ngg juga sih. Itu akan kembali ke No3 tentang partner yang over confident tadi.
5. Backpacking dengan partner yang beda style jalannya. Okeh ini masalah gaya hidup. Apakah kamu biasa ngere atau maunya jalan dengan nyaman. Bisakah kamu tidur di bis yang bobrok, bisakah kamu be-ol di tempat terbuka, bisakah kamu makan di pinggir jalan. Ini semua menentukan style jalan dan partner seperti apa yang kamu inginkan. Apakah ia bisa tahan tidak mandi selama tiga hari (atau lebih)? Apakah ia hanya ingin menginap di resort dan selalu menggunakan taxi? Masalah style ini menjadi pertimbangan paling besar karena menentukan sekali banyak faktor. Pertama, pilihan lokasi. Kalau kamu hobi trekking paling ngga temen trek yang sepaham dan mengerti kemampuan fisik. Maunya ke Lombok buat ke pantai bukan ke Rinjani. Kedua masalah minor seperti makanan, tempat tidur, wifi, pilihan transportasi dsb itu bisa dibentuk dari membuat itinerary bersama. Ini berhubungan dengan besar biaya dan bagaimana biaya itu dibagi. Apalagi yang maunya nginep hotel berbintang ketimbang memakai hostel atau airbnb.
6. Backpacking dengan partner yang baru bertemu. Kadang memang impulsif itu juga mengasyikkan. Eh ketemu di warung ternyata nawarin jalan ke tempat yang belum pernah kita denger. Tapi ini juga menyimpan beberapa potensial konflik seperti yang saya jelasin di No2. Kalau anaknya asik-asik aja sih kayaknya no problem. Atau hanya melibatkan diri di satu kegiatan ketimbang ngikut di seluruh rangkainan jalan. Ini sangat bergantung pada toleransi kamu pada orang baru. Kalau merasa aman yah monggo saja. Siapa tahu memang bakal jadi anugrah tersembunyi.
Jadi intinya sih memang siap-siaplah dengan partner jalan. Artinya kita sendiri yang harus seimbang antara butuh teman dan ego. Yang pasti nih, smoga ngg ada yang sakit hati begitu habis backpacking bareng. Masalah diselesaikan ditempat, anggap aja rampung dan ngg usah dibahas lagi. Paling tidak kita bisa move on di trip berikutnya. Ya ngga? Masih banyak destinasi lain yang menunggu kita kunjungi, entah sendiri atau bersama kawan.
Catatan: topik ini pernah jadi bahan diskusi di milis Indobackpacker. Rangkuman diatas hanyalah semacam highlight semata.
Labels: friends, hostels, indobackpacker
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home