Wednesday, January 21, 2015

Onroad Tibet Oct 2010: Mencapai Atap Dunia

Tulisan ini muncul pertama di Milis Indobackpacker 19 Oktober 2010 sebagai seri dari perjalanan TranSiberia Bagian China/Tibet.







Tashi Delek,

Dengan keretaapi, perjalanan menuju negeri atap dunia Tibet lebih nikmat dan tidak terasa membosankan. Buat para pecinta KA, moda transportasi ini memberikan alternatif untuk mempelajari landscapes, tata geografis, cara hidup dan budaya sepanjang jalan. Plus melihat dari dekat teknologi infrastruktur China. Disisi lain memberikan kesempatan pada tubuh untuk beraklimatisasi pada perubahan ketinggian.

Banyak hal yang perlu diluruskan tentang TTB (Tibet Travel Permit). Untuk membeli tiket kereta api tidak perlu menunjukkan TTB asli, melainkan cukup fotokopian saja. Termasuk ketika berada diperjalanan kereta. Dalam 45jam tercatat dilakukan satu kali pengecekan dokumen (beberapa jam setelah naik dari Stasiun Chengdu), satu kali pengecekan karcis (malam kedua). Secara teori, TTB bisa diproses onlen dan dikirimkan via email, tanpa harus diperoleh bentuk aslinya. Ini juga mengurangi biaya ongkos kirim, birokrasi dan fee agen. Catatan: TTB
seharusnya gratis tetapi harus diurus oleh agen. Oleh agen ybs bisa dikenakan fee yang biasanya diset harga sendiri. Biaya ongkos kirim dokumen berdasarkan urgensi juga mempengaruhi. Untuk moda pesawat, TTB harus ditunjukkan asli sebelum boarding. So, keretaapi lebih rileks, less complicated dan tentu saja lebih slow but sure.

Dalam beberapa hal Lhasa tidaklah seperti tahun 1960an. Saya merasa terlempar pada realitas bahwa Tibet bukanlah negeri independen. Nostalgia novel Lost Horizon tentang negeri Shangrila sangatlah jauh dari kenyataan. Negeri indah diatap bumi, dimana manusia hidup lebih panjang, tidak ada rasa sakit, tidak ada penderitaan, sepertinya tidak terpantul di Tibet. Lhasa berubah wajah seperti kota-kota di China lainnya. Identikal di satu sisi, menunjukkan pergulatan antara modernitas dan menjaga kultur setempat. Tidak banyak orang Tibet asli yang bisa mendapatkan ijin bisnis di Lhasa, akibatnya fasilitas pariwisata hanya dinikmati suku Han yang didatangkan dari sisi lain China. Dan jangan heran jika anda di Tibet merasakan bahwa hampir 90persen pengunjung wisata adalah orang China.

Di Lhasa, tiga situs warisan dunia (World Heritage Sites) adalah Potala Palace, Jokhang Monastery, Norbulingka Summer Palace patut ditengok. Hanya saja untuk yang terakhir, kondisinya cukup memprihatinkan. Disinilah Dalai Lama ke 14 aka Tenzing Gyatso ditahun 1959 berhasil menyelundup dari Lhasa menuju tempat pengasingannya sekarang di Dharamsala India. Jika guide anda seorang Tibet, ia akan menunjukkan bagaimana Dalai Lama menyamar sebagai orang biasa, menembus pintu samping istana, menyeberang sungai ditemani 30 orang satria Khampa. Kisah ini selalu diceritakan dengan penuh waspada karena sangat sensitive. Jangankan bercerita, lha gambar Dalai Lama saja dilarang dipajang diseluruh Tibet. Saat inipun, Barkhor Street dijaga dengan ketat oleh tentara China, dipatroli tiap 10menit dengan beberapa sniper di atap bangunan. Efek protes damai yang berubah kerusuhan di tahun 2008 masih terasa.

Kami bergerak keluar Lhasa menuju Everest Base Camp (EBC) dua hari kemudian. Perjalanan panjang melewati Friendship Highway ini sebenarnya tidaklah berat. Hanya saja karena melewati beberapa Pass dengan ketinggian di atas 5000mdpl membuat harus berjaga-jaga. Berbeda dengan EBC sisi Nepal yang harus ditempuh dengan trekking alias jalan kaki, EBC Tibet sangat mudah dijangkau. Begitu memasuki Shegar, pos jaga militer China menanyakan Alien Travel Permit khusus untuk memasuki wilayah ini. Biarpun jalanan terjal dan tidak rata toh minibus bisa saja menjangkau. Lima puluh kilo dari pintu jaga menuju EBC dicapai lebih dari 2jam. Kami menginap di tenda terpal, dimana suku nomadik Tibet menyediakan ruang hangat dari bahan bakar yak dung (tahi yak).

Secara view, Everest sisi Tibet menawarkan penampakan yang lebih spektakuler. Bentukan punggung dengan Lhotse dan gigir North East serta Rongpu Glacier terlihat nyata dan megah. Tiga tahun lalu ketika saya trekking sisi Nepal via Kala Pattar, agak susah menunjuk Sagarmatha sebagai Chomolungma. Sejarah pendakian sisi Tibetpun lebih berliku dibandingkan sisi Nepal. China mengklaim sebagai negara pertama menaklukan Everest di tahun 1960 tetapi tidak diakui oleh dunia internasional. Berbeda 7 tahun dibandingkan dengan Hillary-Tenzing sisi Nepal di tahun 1953.

Rasanya julukan negeri atap dunia sangatlah pas ditempel pada Tibet. Tapi benarkah atap dunia itu memberikan kedamaian atau setidaknya memberikan peneduh pada manusia seperti yang disampaikan Dalai Lama? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Oom mane padme hum.




Tips untuk menjadi responsible traveler di Tibet:

1.     Usahakan mendapatkan guide orang Tibet untuk memberikan perpektif lokal.

2.     Bacalah sejarah kontemporer Tibet dan pergulatan politik untuk memahami latar belakang negeri ini. Di LonelyPlanet cukup memberikan background sekilas. Ini akan membantu mengisi kanvas Tibet dengan warna yang lebih jelas, bukannya buta sama sekali. Terlalu banyak informasi yang diserap hanya dalam beberapa hari.

3.     Jadilah photographer yang sensible, artinya jika kita mengunjungi Tibet berarti menghormati orang yang beribadah, situs yang tidak memperkenankan diambil gambarnya, ataupun harus membayar. Guide yang baik adalah menyarankan membayar jika memotret (fee dari 10Y hingga 120Y). Matikan lampu flash di kamera, minta ijin pada orang yang akan difoto. Cek setting kamera sebelum menjepret. Jangan memotret wajah penjaga, atau fasilitas yang dijaga militer juga daerah sensitive seperti kantor imigrasi.



Beberapa pertanyaan yang diajukan:

Q1. Apakah tiket bisa dibeli dari AS atw dari Ina lewat biro travel, seperti kalau hendak naik Eurostar?
Tiket biasanya dijual 10hari sebelum tanggal keberangkatan. Untuk orang asing dibutuhkan kopian TTB ketika membeli. Kalau memakai agen, kita membayar dan mendapatkan tiket, sebaiknya satu item dengan TTB yang berarti terikat tur dengan agen tersebut. Pembelian adalah dengan kontak agen langsung.

Q2. Apakah benar, naik kereta api lebih membantu aklimatisasi. Sebab perubahan elevasinya kan juga cepat?
Naik kereta walaupun kecepatan maks 140km/jam tidak pernah mencapai segini. Pengalaman saya kereta sering berhenti dan berjalan lambat begitu memasuki Pass daerah Golmund. Saya sempat pusing walau belum diberi oksigen. Tapi memang reaksi badan saya begitu, tiga kawan saya baik-baik saja malahan. Walau saya pernah EBCNepal dan beberapa minggu lalu mencapai 5300mdpl di Mauna Kea ternyata efeknya masih.

Q3. Di sepur, pas elevasi sedang makin tinggi itu apa emba' Ambar sempat keplepegen, sampai harus pakai oxigen-prong/mask? 
Sesak nafas sih tidak, tetapi hanya pusing. Saya beri ibuprofen dan tiduran. Ketika malam pertama (12jam setelah departure) pihak kereta menghembuskan oksigen ke kabin-kabin. Kebanyakan penumpang sih ngga nyadar karena tertidur. Di soft sleeper, oksigen dihembuskan via lubang diatas tempat tidur paling bawah (ada 4 tempat tidur posisi 2-2). Sedangkan di hard sleeper dihembuskan di kabin (ada 6 tempat tidur posisi 3-3) dan di gang. Saya melihat beberapa penumpang di hard sleeper mengambil selang yang tersedia di bawah tempat tidur dan dicolokin ke lubang oksigen tadi menghubungkan dengan hidungnya. Saya sendiri ngga merasa membutuhkan dan tidak ada reaksi apapun saat itu.

Q4. Terakhir mo nanya, berapa mba' ongkos tiketnya? 
Saya ngga ingat tepatnya harga tiket. Hard sleeper Y712, soft sleeper sekitar Y1200an (saya beli hard sleeper). Dalam perspektif saya sih memang segitu harga wajar. Dengan pesawat sekitar Y1500an, beda sedikit memang tetapi pengalaman dengan kereta menurut saya lebih berkesan.

Labels: , , , , , , ,

Monday, January 19, 2015

Onroad St Peterburg Dec 2010: Menikmati Matisse dan Monet

Tulisan ini muncul pertama di Milis Indobackpacker 1 Desember 2010 sebagai seri dari perjalanan TranSiberia Bagian St Peterburg. 





Saya bergerak menuju kota St. Peterburg dari Moscow dengan kereta malam. Dari tempat menginap saya di HomeFromHome di Arbat St saya putuskan memakai taksi (700руб.). Sopir saya, Ivan mengaku dari Siberia. Jadi obrolan terasa hidup tentang omul/омуль (ikan asap dari Lake Baikal) ataupun tips minum vodka dan caviar. Bicara soal Siberia adalah seperti mengungkapkan sisi udik Rusia. Terpencil, ndeso, tak berpendidikan dan tentu kemiskinan. Tapi duduk di taksi nan wangi dan modern, lengkap dengan GPS dan ruang duduk lebar membuat saya lupa. Moscow adalah ibukota. Saya seperti terlempar dari dusun sepi bobrok ke sisi glamour Rusia. Welcome to the real world.

Ivan mengantar saya ke station kereta Moscow Leningradsky. Tadinya saya berpikir naik Metro saja. Tapi saya membuat kesalahan besar. Menukar uang rubel terlalu banyak. Daripada ngga kepake, saya memanjakan diri dengan taksi. Mencoba melupakan akomodasi di Moscow yang mengecewakan. Station Leningradsky sebenarnya bersebelahan dengan Yaroslavky, station kereta untuk Trans Siberia. Sebagian platform untuk kereta ada di outdoor. So jangan dibayangkan seperti Gambir yang terang benderang. Malam itu saya di Gerbong No. 8 Kabin 17. Masuk ruangan berisi empat bed dan langsung lelap.

Seseorang membilang jikalau ke Rusia datanglah ke St. Peterburg. Apalagi jika anda penyuka seni dan museum. Di kota ini ada The Hermitage atau Winter Palace, museum paling besar dan terlengkap tentang seni Eropa. Jika anda pernah ke Louvre di Paris atau British Museum di London, The Hermitage ini mengalahkan keduanya. Saya
penasaran apa sih yang membuat Hermitage ini begitu istimewa. (Catatan: The Hermitage membuka 'cabang' di Amsterdam dan Guggenheim dalam skala lebih kecil).

Tapi ada satu hal lagi yang membuat saya ingin kesana, yakni mempelajari tata kota St. Peterburgh. Kota ini dulu adalah ibukota Kerajaan Rusia sebelum dipindah ke Moscow ketika Revolusi Bolsheviks. St. Pete's baru berusia 300tahunan, dibangun oleh Tsar Peter the Great. (Tsar/Tzar/Ceasar -bahasa Slavic). Sang Kaisar Peter memutuskan membangun kota yang memancarkan 'jendela budaya Barat' di tempat yang penuh lumpur sehabis peperangan dengan Swedia. St. Peterburgh lahir dari rawa-rawa menjadi kota yang sangat cantik. (Catatan iseng: jikalau mengunjungi St. Pete's saat musim panas, siap2lah dengan serbuan nyamuk).

Saya menuruti tips guidebooks dan forum online. Beli tiket The Hermitage online. Harganya USD17.95 untuk one day plus boleh moto. Tapi saya pede untuk menjelajahi hutan karya seni dibantu audiotur seharga 350руб. Ini rupanya sangat berguna karena memberikan jalur tur untuk menampilkan koleksi terbaik Hermitage termasuk interior megah Winter Palace. Meski mahal tapi ngga bakal kecewa.

Rupanya ekpektasi saya tidaklah mengecewakan. Saya menemukan karya Van Gogh ataupun Matisse yang belum pernah saya lihat. Puluhan Picasso juga terpampang disini, melengkapi museum serupa di Paris yang sempat saya intip beberapa tahun lalu. Pelukis Paul Gauguin dan Monet tampil dalam koleksi yang lumayan. So yah bagi yang hobi melototin karya lukisan, ini adalah tempat hangat untuk berlindung dari musim dingin di Rusia.

Jalan menyusuri St. Peterburgh tidaklah membosankan. Apalagi di Nevsky Prospekt yang dianggap seperti Champs-Élysées. Serasa acara shopping Desember telah tiba. Tapi jangan kelewat menengok Church of the Savior on Spilled Blood. Arsiteknya banyak mengingatkan dengan bentukan gereja mblenduk St. Basil yang jadi ciri khas Moscow. Dari sini saya seperti teringat bahwa Rusia dulu sempat diduduki Ottoman Turki yang membuat bentukan arsitektur gereja seperti masjid. Dari namanya yang mengerikan, memang riwayat hitam gereja ini adalah pembunuhan. Tsar Alexander II of Russia tewas akibat serangan bom disini tahun 1881. Bicara terorisme rupanya sudah mengakar jauh di sejarah.

Begitu memasuki interior gereja, mural di seluruh bagian tembok dan atap nampak menyala diterangi lampu. Ketika saya disini, rupanya project restorasi untuk membawa kembali keindahan bangunan ini seperti sedia kala. Mosaik yang menggambarkan biblical menjadi hidup. Salah satu hasil dari runtuhnya komunisme di Rusia adalah kembalinya kehidupan beragama. Dan tentu penghargaan pada tempat ibadah.

Membandingkan dua kota Rusia ini, Moscow dan St. Peterburg banyak mengingatkan saya bahwa Rusia adalah negara "Timur". Hanya karena para Kaisar dan Ratu Rusia yang kemudian merubah Rusia menjadi negara "Barat" sebuah konsep imperialis yang menganggap dirinya sebagai budaya tertinggi. Tapi perjalanan saya dengan kereta menyusuri pedalaman Siberia seolah meyakinkan persepsi saya. Bahwa secantik-cantiknya St. Peterburg, nun jauh disana Rusia adalah negara yang masih liar dan misterius.


Tautan:

The Hermitage Museum, St Petersburg
http://www.hermitagemuseum.org/
Ticket: US17.95 online plus 350руб audiotur (biaya sewa perangkat, sangat rekomen)
Akses: Metro Nevsky Prospekt atau Gostinyy Dvor (seperti halnya subway di Moscow, pintu exit diberi nama berbeda).

The Church of Our Savior on the Spilled Blood
Ticket: 400руб (loket di sisi timur, tidak ada audiotur)
Akses: Metro Nevsky Prospekt atau Gostinyy Dvor

Louvre Museum, Paris
http://www.louvre.fr/en/homepage
Akses: Metro Musée du Louvre atau Louvre Rivoli

Musée Picasso, Paris
http://www.museepicassoparis.fr/en/

British Museum, London
http://www.britishmuseum.org/
Akses: London Underground Tube Tottenham Court atau Holborn atau Covent Garden

Labels: , , , , ,

Saturday, January 17, 2015

Onroad Praha Dec 2010: Jika Bohemia adalah Musik, Tragedi dan Kafka

Tulisan ini muncul pertama di Milis Indobackpacker 5 Desember 2010 sebagai seri dari perjalanan TranSiberia Bagian Praha. 

picture courtesy from National Library of Israel taken from NYTimes here

Perjalanan kereta panjang saya berakhir di St. Petersburg. Godaan untuk melanjutkan Eropa Timur dengan kereta begitu besar. Tapi saya putuskan untuk menunda, dan memilih Praha sebagai persinggahan terakhir dengan pesawat sebelum mencapai London.

Seperti halnya St. Petersburg, setiap orang yang saya tanyai selalu merekomendasikan Praha (saya lebih suka memanggil dengan Praha ketimbang Prague, sesuai dengan pengucapan asli). "Pokoknya kamu bakalan jatuh cinta sama kota ini" begitu promosi seorang teman. "Mengunjungi Praha adalah keharusan untuk memahami budaya Barat" kata seorang kawan penyuka seni dan penulis. Saya putuskan membuat kesimpulan sendiri dengan membuktikannya. Sesampai di kota ini via bandara Warsawa Chopin sebelum menyentuh bandara Ruzyne, saya disambut malam berkabut. Kendaraan yang menuju tempat menginap saya melintasi jalanan sepi, kemudian menyeberangi sungai Vltalva, saya hanya ditemani kesenyapan kota ditelan hujan gerimis musim dingin.

Republik Bohemia

Begitu sampai di hostel, saya langsung menerjang gerimis dan gelap menuju pusat kota. Ternyata malam itu, 17 November adalah Day of a Struggle for Freedom and Democracy, hari yang menjadi sakral bagi Republik Ceko. Dua peristiwa besar terjadi pada tanggal yang sama, yakni 1939 ketika perlawanan terhadap Nazi dan 1989 ketika para pelajar melakukan demo besar2an menentang komunisme. Demo ini sering disebut Revolusi Beludru atau Velvet Revolution. Biarpun waktu menunjukkan pukul 9 malam, saya jalan sendirian di kota asing seperti Praha ini tidaklah menakutkan. Tram atau kereta listrik bahkan beroperasi hingga dini pagi. Soal keamanan, Praha sangatlah bersahabat.

Republik Ceko buat saya adalah asing. Saya hanya tahu Cekoslovakia, negeri pecahan Soviet setelah jatuhnya tembok Berlin 1989. Republik Ceko kemudian memutuskan putus dari Republik Slavia di tahun 1992. Sejarah panjang negeri Ceko dari Jaman Nazi Jerman hingga Komunisme Uni Soviet memaksa dua negara ini menuju arah yang berbeda. Kota Praha sudah berdiri sejak jaman Romawi hingga menjadi bagian dari dinasti Bohemia. Orang Praha sendiri lebih bangga menyebut dirinya Bohemians, yang banyak mengingatkan saya pada masterpiece nya Queen, Bohemian Rhapsody dari albumnya A Night in Opera.

Bicara opera, kota Praha adalah tempat kedua bagi Mozart. Tapi bukankah karyanya identik dengan kota Vienna? Disaat Wolfgang Amadeus Mozart popularitasnya memudar dan mulai dilupakan, Praha menawarkan apresiasi yang diharapkannya. "Meine Prager verstehen mich" begitu ujarnya atau 'My Praguers understand me', sebuah statemen yang menjadi kebanggan Bohemians hingga sekarang. Dua peninggalannya adalah Symphony No. 38 in D major atau lebih dikenal Prague Symphony dan karya opera Don Giovanni mengisahkan self-ego seorang bangsawan Italia. Jadi jika ada waktu sempatkan menikmati suguhan musik klasik yang banyak diselenggarakan di gereja-gereja kota Praha. Saya kebetulan diajak seorang kawan untuk menikmati konser Fire and Ice atau "Feuer & Eis" yang mempersembahkan musik untuk pegunungan di Kals am Grossglockner daerah Tyrol Austria. Berhubung diundang jadinya gratis manis :)

(Catatan: sebagian orang Bohemian masih bicara bahasa Jerman dan Slavik. Bahasa Jerman adalah peninggalan pendudukan Nazi era PD II. Berbeda dengan Russia, orang Ceko memilih huruf latin seperti negara Eropa Barat lainnya, bukannya huruf Cyrillic walaupun akar bahasanya sama. Negeri yang memakai bahasa Jerman seperti Austria berusaha menjaga ikatan 'historis' ini).

Gratis tak selalu kacangan

Atas rekomendasi hostel dan anjuran teman, saya mengikuti free tour jalan kaki di kota Praha hari berikutnya. Free? Gretong lagi? Yups! Ternyata tur ini tersebar di kota-kota besar Eropa seperti Amsterdam, London, Munich, Paris atau Madrid. Ciri khasnya mudah. Temuin aja mereka yang berkaos merah menyala dengan tulisan "New Europe -Sandemans". Di Praha, meeting point di Astronomical Clock atau di hostel tempat saya nginap, Mosaic House. Karena hujan, saya memilih menunggu di hostel. Guide saya hari itu adalah Justin, muda dan sangat entertaining.

Yang membuat tur gratis ini sangat direkomendasikan Lonely Planet: Europe on Shoestring adalah muatan didalamnya. Mereka menyebut konsep konten ini sebagai 'infoteintment' atau membuat informasi sejarah kota menjadi menarik. Satu hal yang saya sukai adalah di Praha dilakukan dengan berjalan kaki dalam durasi 4jam (udah termasuk break di sebuah cafe untuk menghangatkan diri. Harga makanan yarwe alias bayar dhewe'). Dalam lingkup waktu segitu, saya dibawa ke sudut2 kota Praha, dari kota tua yang sepenuhnya khusus pejalan kaki (pedestrian) hingga ke pemukiman Yahudi. Dari sejarah berdirinya Praha, perang agama Kristen Protestan-Katolik era 'Defenestrations' (atau bahasa lugasnya melempar seseorang lewat jendela), pendudukan Nazi dan Soviet hingga pergerakan mahasiswa Jan Palach di tahun 1969. Buat saya, tur gretong ini sangat membuka mata tentang proses panjang sebuah Republik Ceko dengan jati dirinya sekarang.

Free tour ini bersifat tips based. Jadi jika ngerasa terkesan dan berterimakasih dengan si guide, cukup memberikan tips semampunya. Besar kecil akan diterima. Sebuah konsep baru yang menurut Justin adalah membekali setiap traveler dengan kesan dan informasi mendalam tentang sebuah kota tanpa memperdulikan apakah ia budget atau high-end traveler. Setuju bangets!

Menjadi Seorang Kafka

Saya memutuskan melanjutkan jalan sendirian dengan melewati jembatan Charles. Hujan masih saja menyertai saya, dengan suhu yang tidaklah dingin. Di seberang kota tua adalah Kastil Praha. Saya menikmati betul
jalanan di kota Praha. Tiap jengkal adalah mosaik batu yang solid, bentuk struktur pavement yang tidak lazim di era modern.

Di sudut jalan saya menemukan Museum Franz Kafka. Ia adalah penulis novel legendaris Praha berbahasa Jerman. Saya sendiri kesulitan menikmati karyanya. Ada yang menyebut surealis, penuh kiasan dan dingin. Sebuah ironi dari realitas. Kafka sendiri adalah seorang pengacara yang membuatnya menjadi sosok yang terpasung, sehingga membuatnya berimajinasi. Liar dan terkadang tak mudah dipahami.

Museumnya sendiri mencerminkan pribadi Kafka. Dibuat gabungan antara karya instalasi, multimedia dan informasi tentang kisah hidupnya. Proses psikologis yang memunculkan karyanya. Dan bagaimana kota Praha menjadi awal inspirasinya. Salah satu adalah The Castle (Kastil) yang mencerminkan mitos, misteri dan absurditas. Banyak yang mengira, Kastil di Praha adalah sumber novelnya. Franz Kafka adalah Praha, dan
Praha adalah Kafka.

Jika ingin mengungkapkan Praha dalam tiga kata, saya akan menyebut musik, tragedi dan kafka. Tapi bukan berarti Praha adalah kota dengan masa depan yang suram. Sebaliknya, Republik Ceko adalah bagian Eropa Timur yang paling baik, bahkan melampaui Eropa Barat. Ceko adalah negara bekas Soviet yang paling maju dibandingkan negara-negara tetangga, ataupun Slovakia mantan pasangannya. Betul menurut seorang kawan. Saya akan jatuh cinta pada Praha.


Catatan kaki dan tautan:
1. Saya nonton Don Giovanni lewat televisi oleh San Francisco Opera. Kesan saya: dibuat kolosal dengan cerita seorang playboy yang berakhirtragedi. Video klipnya disini http://sfopera.com/opera.asp?o=246

2. Bohemian Rhapsody nya Queen mempunyai karakter seperti opera. Panjang banget untuk ukuran sebuah lagu dengan cerita tragedi didalamnya. Tentang seorang yang mengaku melakukan pembunuhan. Bagaimana proses karya ini ada di seri dokumenter BBCThree via Youtube: The Story of Bohemian Rhapsody
http://www.youtube.com/watch?v=qtrhcECdItk

3. Hostel di Praha: St. Christopher at Mosaic House atau disingkat Mosaic House. Sangat rekomen karena akses subway yang mudah, masih kinclong dan desain didalamnya yang okeh. Ada live music setiap weekend. 5 menit dari stasiun Karlovo Namesti atau 20 menit jalan kaki menuju Od Town. Tautan di Hostelworld disini http://tinyurl.com/3ypfp44

4. Saya tidak bisa menemukan bahasa Indonesia untuk 'Defenestrations' di Praha (Defenestrasi?). Kisahnya bisa dibaca disini http://en.wikipedia.org/wiki/Defenestrations_of_Prague

5. Sandeman's New Europe Free Tours- 14 kota: http://www.neweuropetours.eu/

6. Museum Franz Kafka: http://kafkamuseum.tyden.cz/




Labels: , , , , , ,