Monday, October 30, 2006

First Attempt of Mountain Biking US : Henry Cowell Redwoods


Location: Henry Cowell Redwoods State Park, CA
Distance : 6.5 miles
Difficulty : moderate, mildly technical
Duration : 2.5 hours
Elevation : 600in gain/loss
Ride type : first couple miles were paved road and uphill, then white sandy ground turn to nice loose ground on the forest by the river
Entrance fee : $5 + $1 for biking map
Date : 28 October 2006, afternoon
Comments : pipeline road is quite popular for walkers and horse riders, water available on the observation deck. Good for testing brakes and gears.


I have been mountain biking for three years when Mark lend me his twenty years old bike. Since we were in California a couple weeks ago soon we realised that we were in the mountain biking's heaven. This area is great for exploring the parks and natural wonder on the saddle; this made us getting itchy to put feet on the paddle again. So here we are in the Northern California trying new bikes from cyclepath shop. I have got bike Contessa 40 from bike-maker Scott which is lot better than my old one.



Henry Cowell Park is situated near Santa Cruz. We were heading there from Sunnyvale in interstate 280 then took highway 1 left to highway 9 through winding road of redwoods forest about 5 miles to the park. We had difficulties to find the Pipeline Road, after wandering around near Park Centre the path just there -among the giant redwoods tree.

Redwoods (Sequoia sempervirens ) can grow for 200-240ft (60-121m) high known for one of the eldest tree in the world. The red barks and heartwood were resistant to the fungus and fires that common happen in this hot dry weather in coast. The tall and leaf of redwoods made shady area for the forest path.

The track started with paved road to uphill even steeper after passing the railroad. And that would be on and on. I was struggling with gears system as I never play lowest gear ever. This is a right time to try. About 2.5 miles we down to intersection with Powder Mill Fire Road turn left to Ridge Fire Road climbed up again to the observation deck. It was nice view with the Panderosa pines and jay birds scattering on the ground looking for seeds. With it's bright blu colour the birds just easy to spot in.



In the observation deck we stopped for another intake fluids. There is tap water so you can drink here. I met two ladies riding horses. We had a chatt about this hot autumn weather. One of the lady said that the californian called this situasition 'indian summer' which a period that the air so dry and hot, usually late october or beginning of november before rain pouring down. It supposed to be more humid than those saturday.

Down the track we heading the Ridge Fire road again which is quite sandy. It's a hard work to keep your wheel rolling in the sandy ground. I found little bit fun though ! Then we back again into Pipeline road across to Rincon Fire Road. We were tempted to try the Cathedral Redwoods but I was begging to back into Rincon. It was lot fun here ! We just down hills among the tree roots and dark forest. I was playing again with gears and brakes. Oh anyway american put brakes in opposite side of UK bikes. Left hand brake for front wheel and right hand brake for back wheel. I have got lesson how to control the bike if we're hitting lumps of tree roots.

Then we back again into Pipeline road and heading to car park. Huh it was great ! My bike works perfectly well, my shorts with padding helps me from hurting my bums. So yes definitely will do some more.

Photos here Mountain Biking 1st Attempt (thanks for lovely shoots from Mark)
Map from virtualparks.gov

Labels: ,

Friday, October 27, 2006

Wanita-wanita Gunung Yang Perkasa


Sudah beberapa kali saya mencoba membuat diary dengan audio setiap kali melakukan perjalanan. Ternyata dalam situasi yang ekstrem dimana kertas dan pena sangat sulit maka audio adalah media yang paling pas. Ketika saya mendengar bahwa tape recorder Julie Tullis -pendaki wanita dari UK pertama yang menaklukan K2 ditemukan setahun lalu saya serta merta penasaran ingin mendengar. Saat itu saya denger lewat program BBC Radio 4 : It's My Story yang disiarkan 27 October 2006 bersama dengan upaya keluarga Tullis untuk menelusuri kembali jejak ibu dan nenek mereka yang hilang duapuluh tahun lalu.

Yang menakjubkan adalah kualitas rekaman yang bening dan tidak rusak yang menunjukkan catatan terakhir sebelum Julie Tullis menghilang. Seperti halnya rekan pendaki British Alison Hargreaves, kedua wanita ini adalah seorang ibu dan wanita rumah tangga. Julie memulai karir ketika kedua anaknya menginjak remaja. Alison bahkan membuat dunia climbing tergetar karena keberaniannya memanjat di bagian rute sulit North Face Mt Eiger ketika sedang hamil 5 bulan ! Seperti Julie, Alison juga hilang di K2 diterjang angin kencang begitu turun dari puncak.



Cerita mereka saya baca di buku Savage Mountain : The Life and Death of the First Women of K2 oleh Jennifer Jordan memberikan wacana bagaimana kecintaan perempuan-perempuan ini terhadap gunung. Seperti yang diketahui K2 adalah gunung paling ditakuti karena memerlukan kemampuan teknis diatas rata-rata. Terjun ke arena mountaineering yang sepenuhnya "male-centered" adalah sebuah tanggung jawab logis. Yang pasti mereka mempunyai semangat untuk membuktikan bahwa gunung bukanlah monopoli laki-laki. Buku Alison yang berjudul A Hard Day's Summer adalah buku catatan kecil tentang keberhasilannya menaklukan semua puncak Alps dalam satu musim. Sebuah prestasi yang belum bisa disamai oleh rekan climber yang lain. Dan yang mengharukan dalam pendakian itu ia membawa kedua anaknya untuk menikmati keindahan Alps ketika sang ibu sibuk memanjat.

Sayang sekali Alison tidak meninggalkan diary suara seperti halnya Tullis. Ia lebih suka mencatat dalam lembar kertas yang sungguh sangat susah untuk dijaga. Anyway sebagai wanita mereka patut dikenang.

In memorium of K2:
  • Wanda Rutkiewicz (born 1943) Polish. Summited 1986. Died on Kangchenjunga in 1992.
  • Liliane Barrard (born 1948) French. Summited 1986. Died while descending.
  • Julie Tullis (born 1939) British. Summited 1986. Died while descending.
  • Chantal Mauduit (born 1964) French. Summited 1992. Died on Dhaulagiri in 1998.
  • Alison Hargreaves (born 1962) British. Summited 1995. Died while descending.

Labels:

Monday, October 23, 2006

Mountain Patrol Kekexili : Ketika Harmoni Dengan Alam Terusik


Saya nonton film ini ngg sengaja gara-gara ngg bisa tidur dalam perjalanan menuju Sunnyvale. Yang pertama mengusik adalah tema yang begitu tidak biasa yakni perjuangan melawan pemburu liar dengan mengusung bahasa ibu yakni China dan Tibet. Terlebih sesungguhnya film ini adalah produksi tahun 2004 yang kemudian peredarannya diambil alih oleh National Geoghraphic World Film, Colombia Pictures dan Samuel Goldwyn Film untuk diputar di bioskop2 dunia September lalu.

Film ini adalah semi dokumenter dengan lokasi yang sepenuhnya diambil di pegunungan Himalaya tepatnya di Kekexili Nature Reserve. Sebuah tempat yang tidak ramah di belahan bumi ini di ketinggian diatas 5,000m. Antara Germu, Wudaoliang hingga ke Gunung Kunlun untuk bercerita tentang kisah harmoni alam yang terusik. Kekexili dianugerahi binatang antelope (chiru) yang terancam keberadaannya oleh pemburu liar. Dalam waktu kurang dari 10 tahun populasi antelope berkurang dari 1 juta menjadi hanya 10ribu karena diburu untuk diambil kulitnya sebagai pashima atau kain wool

Karena tidak mampu mendapat dukungan dari pemerintah China akhirnya sekelompok penduduk membentuk tim sukarela untuk melawan para pemburu liar demi menjaga keberadaan binatang ini. Mereka bekerja keras ditengah alam yang keras, suhu yang rendah, dan terkadang harus dibayar nyawa.

Cerita diawali dengan kedatangan seorang photografer dari Beijing bernama Ga Yu (Zhang Lei) untuk meliput tentang meninggalnya seorang anggota patroli di Kekexili ini. Ri tai (Duo Bujie) sang komandan patroli menerima Ga Yu dengan tangan terbuka dan mengajaknya untuk melakukan patroli bersama selama 17hari. Ini tercatat sebagai patroli terakhir dan paling berdarah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemandangan alam Tibet adalah kekuatan film ini, tapi sebenarnya yang menjadi sisi lain adalah kemampuan sutradara untuk memainkan karakter individu dengan sangat dinamis dengan pergulatan emosional yang sangat dalam. Sutradara muda Lu Chuan memilih untuk tetap mengambil lokasi sesuai dengan cerita sebenarnya walaupun harus dibayar dengan mountain sickness yang dialami hampir semua crew. Bahkan suatu saat ia tidak mampu berkata, memberi perintah untuk meneruskan pengambilan gambar.

Film ini bukan untuk mengambil simpati atau bercengeng ria. Namun sebuah pelajaran berharga tentang kekuatan survival dan keteguhan untuk mempertahankan alam. Beberapa bagian film ini begitu menampar saya tentang kerasnya kehidupan Himalaya. Ketika seorang anggota patroli mengejar pemburu liar ia harus berakhir dengan AMS (acute mountain sickness) ditandai berhentinya detak jantung. Salah seorang terjatuh dengan darah keluar dari mulut dan telinga.

Atau seorang patroli Gua Liang yang berakhir dengan begitu mengenaskan ditelan keganasan pasir (quicksand) tertelan hidup-hidup di tengah padang tak bertuan. Jelas film ini menawarkan kekerasan namun tidak seperti kekerasan mafia. Ini adalah kombinasi kekerasan manusia dan alam. Sebuah ajakan untuk merenung bahwa manusia mempunyai tenaga destruktif yang luar biasa.

Film ini meraih berbagai penghargaan termasuk 2004 Golden Horse Award Taiwan, 2004 Special Jury di Tokyo dan salah satu nominasi 2005 Sundance Film Festival -sebuah festival film independent ternama di jajaran film US. Jadi memang pantas untuk dinikmati.

Links :
  1. Untuk melihat production diary bagaimana film ini dibuat dengan perjuangan para kru dan aktor silakan klik disini
  2. Review menarik dari New York Times disini
  3. Kekexili di Movie Data Base disini
  4. Save the Chiru

Labels:

Friday, October 20, 2006

Mudik Tidak Mudik : Renungan Tentang Rumah


Ini mungkin Lebaran paling sepi yang saya rasakan. Iyah sejak Bapak meninggal bulan lalu tidak ada keceriaan bulan puasa seperti yang kami rasakan. Saya rindu makan sahur dan buka bersama keluarga di meja makan. Menu seadanya, cukup nasi hangat yang dimasak saat itu.

Sejak di UK lima tahun lalu saya selalu berlebaran di Birmingham. Saya beruntung dulu sharing dengan keluarga muslim dan tinggal di ghetto Perry Barr yang dekat masjid dan banyak toko halal. Saya juga berlebaran dengan kawan2 dari Malaysia lengkap dengan upeti ayam opor dan ketupat. Tapi kali ini tidak ada lagi.

Hari Kamis lalu saya ke Sunnyvale, CA sebuah tempat yang terpisah 10 jam terbang dari UK. Kami akan tinggal disini hingga waktu yang belum ditentukan. Jadi kalau dibilang ini seperti mudik yah mungkin bisa dikatakan mudik. Bedanya saya tidak pulang hanya pindah tempat (lagi). Mudik adalah sebuah relasi untuk kembali ke keluarga. Tapi semenjak saya kelayaban kemana-mana, pulang ke rumah adalah sebuah kemewahan. Apalagi istilah "rumah" adalah sungguh sangat absurd. Tidak ada rumah yang definitif untuk kami. Rumah adalah tempat kami tidur. Bisa di hotel, B&B (Bed and Breakfast), kost2an, pinggir jalan, tenda, bahkan dimanapun. Home atau house adalah dua kata yang beda. Home adalah rumah sebagai rumah, dan house adalah rumah sebagai benda. Kami tidak punya kedua-duanya.

Terkadang kami tertawa kalau bilang, "Let's go home". Ketika akhirnya kami sadar 'rumah' adalah tempat kami menyewa, bukan house yang kita punya. Jadi saya bisa memaklumi kerinduan akan rumah sebagai home adalah rumah berisi kehangatan keluarga dan juga interaksi didalamnya.

Saya bisa memaklumi bagaimana jalur kereta di jawa menjadi begitu tidak manusiawi, bagaimana pesawat seperti truk berisi orang hendak ke pasar, bagaimana bis-bis berisi pekerja dari kota ke gunungkidul. Dengan cara apapun saya akan pulang, bahkan dengan biaya berapapun.

Selamat mudik. Selamat Lebaran. Selamat pulang ke rumah. Mohon maaf lahir batin.

Pict : One of corner of Sunnyvale from Google Earth

Labels: ,

Tuesday, October 17, 2006

Jejak Si Dino






































Saya tinggal di pantai selatan Inggris atau di wilayah Dorset, ngg jauh dari Wyke Regis yang terkenal di dunis sebagai Jurassic Coast. Iyah betul pantai ini bekas peninggalan jaman Jurassic ditandai dengan kekayaan peninggalan geologis. Jurassic Coast ini dinobatkan sebagai salah satu World Heritage Unesco di Inggris. Tempat2 lain yang kemungkinan mengandung nilai geologis adalah Durdle Door (foto album disini) dan Chesil Beach (foto disini)

Beberapa minggu lalu saya diajak jalan-jalan lagi. Kali ini ke sebuah penambangan batu Portland tak jauh dari rumah. Tapi karena jalan kaki yah lumayanlah bikin pegel. Nah di tambang ini saya bersama seorang ahli geologi lokal menunjukkan peninggalan kaki Dinosaurus. Anehnya jejak kaki ini dibiarkan saja tergeletak di sana tanpa ada upaya konservasi. Saya juga liat beberapa jejak sudah diambili orang untuk buah tangan.

Penemuan jejak ini juga secara kebetulan karena batu2 yang ditumpuk ini dulu dianggap enggak bisa dijual karena ada tanda 'aneh' . Akhirnya beberapa tahun lalu seseorang menyadari bahwa inilah jejak kaki si dino. Jangan dibayangkan seperti T-rex yang buas dan gede yah, karena ternyata kemungkinan dino ini adalah pemakan tanaman dengan besar seperti burung. Dugaan awalnya sih adalah sejenis leher panjang.

Ohya Jurassic Coach ini asyik banget kalau buat kemping dan trekking. Jadi kalau mau susur pantai atau coast to coast, ayuksss.....

Labels:

Sunday, October 15, 2006

Maya Raya Daya : Woman's Beauty Not Always Woman's Power




I was fortunated enough to watching four short movies about Indonesia's women in national televison few weeks ago. The projects were part of campaign program by one of the bigest beauty product bringing a theme "Your Beauty is Your Power"

The four were great and enpowering -if that the producers wants, but for my view I choose the third movie : Maya Raya Daya. For under 10 minutes this movie gave a strong massage about Indonesia women. I'm rather say this movie is disturbing, brutally honest and dilligently done.

The story in this movie about three women in different time setting. Maya is a pretty girl who bringing up among feodal high caste Javanese family in 18th century. The tradition said that she will marry a noble man from same caste of her's -a man that already married with three kids. Then she faced the fact that she obliged to say nothing for what she feeling.

Then time changed into 1945's when Indonesia declared it's independence from Dutch and Japanese colonialsm. An attractive girl named Raya was facing reality that she can not joint her friends in Indonesian political movement which mushroomed during World War II. She was proposed to marry againts her will. She began experiencing physical abused that led her into desperation. She couldn't do anything only whispering 'tidak' (No) with a painful tone.

The lady number three is Daya -a girl who lives in present time. Again the physical abuse were brought up into light, even now we have got clear picture about what the movie try to say. Yes the pictures there were disturbing, you will watching her pretty face became in ruins with fist mark. You will see how she changed from a bubbly young lady into a vulnerable woman.

I must to say that after watching this short movie I remembered The Hours (2002) -a great movie about three women which received tremendous critics and awards. The pattern was the same that the ladies separated by time although they connected by a piece of Mrs Dalloway's novel. In this movie Nicole Kidman granted her first Oscar as writer Virginia Wolf who portrayed in mental instability then lead her in suicide.

Maya Raya Daya project produced by a high acclaimed Indonesia woman's director Mira Lesmana. She's been producing great numbers of movies since Indonesia struggling with their own audiences. While Nan Achnas wrote the script the three characters on the movie done beautifully by a young actress Luna Maya.

I loves the cinematography of Maya Raya Daya which containing symbolic accounts of the events. From the savanna field into cold floor of traditional javanese's house. The camera recorded Luna Maya acts with several different moments of situation led you into the substantial changing.

The music was great with a solo piano in the background just filling atmosphere sort of emptiness. The only thing that I found little bit annoying was the sound which being taken direct from the actress's source. I can hear buzzing of traffic when I was hoping there was only Luna Maya's voice. I knew that this is technically not difficult to 'extract' the unwanted background sound. Anyway I like the way they chose a contemporary themes rather than a traditional rhythm (say javanese gamelan). It was a right decision.

I also praised Mira and Nan to avoid religious issue in this story. I knew it was hard not to put circumstances in the movie but by disguising behind cultural issue I have to admit it is a great escape. Even for me who grew up in Javanese family I can understand the pressure of the culture-based of marriage or relationship.By putting on the screen it's also give a strong impression that as a woman beauty means a power to make a decision, to make a choice.

It's a power of strong will to pass the cultural burden that engraved Indonesian woman not to speak about domestic violence. It's not about domestic anymore, it's about a crime.

Labels:

Friday, October 13, 2006

Cartensz Pyramid : Long Reach !



I am writing this because as an Indonesian I'm concern about one of natural wonder lied in the Papua island next to New Guinea. It is NOT because I want to go but in fact because I CAN NOT go there.

When Reinhold Messner crowned Cartens Pyramid or Puncak Jaya became one known as Seven Summit, climbers all around the world were in racing to conquer it. The consequences is the price to climb hiked as much as $18,000 ! It's getting an conflict of interest when the only access (say legally) is from Jakarta. Why? Because Cartensz is within the area of the copper mine held by Freeport. And the company notoriously using military to protect their teritory. To hand a permit to climb the beautiful wall in highest peak austonesia you've got the permit from BAIS (inteligent body in Indonesia like FBI), army, minister of tourism, ministry of foreign affair etc etc. Yes ..it's a long process.

Is that apply for me -an ordinary woman from Indonesia as well? Oh definitely yes because the lacked of access made the Cartensz even harder than should be. The only thing I can do is try to contact local agent ask about the price -for sake's of my coriousity. They even DID NOT repply my email for second time, totally ignored me. But when a colleage -he is a foreigner sent email he've got repplied in instantly. He even got updating 'expedition' to climb Cartensz while he keep saying that it's ridicilous for him to give a short notice about the expedition. Can you prepare an expedition in just 4 weeks? Naaaayy....not for him and phisical ability. So being Indonesian means you are a poor and can not afford the amount of money.

Most of climber regarded Cartensz not so easy but it does not mean difficult. I was pittying my self that as Indonesian is not guarantee that you can climb mountain in your own country. Shame....

Note :
A good source about Cartensz from climbing guide Ptr Jahoda here
Picture from Wiki and Google Earth




Labels:

Monday, October 9, 2006

Artikel tentang Kematian David Sharp di Everest

Saya membaca artikel ini sekitar seminggu yang lalu di sebuah majalah mingguan edisi cetak The Sunday Times Magazine yang terbit 24/09/06. Saya berpikir bahwa banyak sekali pesan moral dari cerita ini.

Ceritanya agak panjang tapi membahas tentang kontroversi kematian David Sharp di Everest tahun ini (May 2006). Di dunia mountaineering kematiannya begitu diperdebatkan karena sepertinya ia ditinggalkan begitu saja. Namun dari artikel ini akan digambarkan kondisi dalam
pendakian yang terkadang harus membuat keputusan yang berat.

Silakan download pdf file hasil terjemahan bebas di Multiplay

Labels:

Wednesday, October 4, 2006

Banner Travelling Series



























Quick peek new banner collection from Cerita Ambar Blog

Banner 1:
Taken from the beach in Sirombu Nias island when I did volunteering job on the earthquake aftermath. The guy who stood there waving his hands is a good surfer !

Banner 2 :
Taken from side of Gunung Api at Mulu National Park Malaysia. It was a day trekking but soo exhausted for me. To go there you need an ability of scrambling or basic climbing since they put iron ladder in several places. It was tougher than Mt Kinabalu !

Banner 3:
Taken from Kecak performance in Pura Agung Ubud Bali at night when Bali Bombing II. It was raining that night so the performance moved into inside of Pura. This picture taken by Mark, while I recorded on my video. Unforgettable evening !

Labels: , , , ,