Wednesday, June 29, 2005

Hitchhiker Guide To The Jungle



Day six (Thur 26/05/05 Miri-Lambir Hills National Park)

Lambir Hills ini hanya sebagai hiburan setelah capek trekking selama 5 hari di Gunung Mulu. Setiba kembali di Miri dari penerbangan pendek 40 menit dari Limbang kami dipesankan hotel oleh guide kami Richard. Hotel Miri terletak ngga jauh dari tempat nginap kami di malam pertama. Taripnya RM65 dengan fasilitas yang lumayan. Maksudnya ada air panas, TV nyala dan dekat laundry. Maklum baju2 kami bau hutan plus beberapa basah karena kehujanan. Repotnya laundry diitung dalam kg, jadi kebayang baju basah bisa dua kali berat kering. It cost nearly RM40. Hahh !!!

Secara kebetulan kami ditawari mampir ke penginapan backpacker oleh pilot MAS kewarganegaraan New Zealand. Si Kiwi ini mempromosikan lounge backpackernya The Highlander yang ternyata oke banget. Ada komputer untuk download gambar, internet, laundry kapasitas besar (duh telat taunya !). Sayangnya pas disana semua akomodasi penuh. Jadilah kami ngobrol dengan sesama backpacker di warung minumnya tepat dibawah hostel. Dari tips melawan pacet hingga tempat2 menarik lainnya. Ia juga menawarkan "paket stag mad". Gambarannya begini: kalian yang cowok kudu dandan ala Dayak Kelabit (hmmm telanjang dada cuma pake celana pendek dengan hiasan kepala), trus arung jeram di sungai Mendalam dengan rakit bamboo sampai pos Park Ranger. Edan, lucu tapi juga seru !

Lambir Hills ditempuh sekitar 45 menit dari Miri. Setelah bertanya ke Tourist Information Centre kami dirujuk bis arah Bintulu. Ngendon di bus stop seorang laki2 tua berambut putih bersama seorang anak muda enerjik datang menghampiri. Menawarkan mengantar ke Lambir dengan RM25 one way. Oke kami segera naik 4wheel drivenya menuju Lambir.

Ada beberapa trek menarik, tapi saat kami kesana hampir separuh Taman Negara ditutup untuk maintanance. Dalam ati aku ngucap syukur juga. Soalnya kaki masih pegel buanget dan efek salonpas ternyata butuh lebih lama. Untungnya kami banyak menemukan object photo menarik terutama satwa. Walaupun hutannya ngga serapat seperti pedalaman Serawak tapi banyak menyimpan keunikan. Jamur merah ini misalnya kami temukan banyak sekali, sedang cicadas di pohon (yang seperti jangkrik ini) sebenarnya adalah kulit yang ditinggal ketika ia merambat dari tanah dan berubah dewasa.

Untuk balik ke Miri, nah ini yang jadi problem. Soalnya bis jarang banget. Adanya juga jam2 tertentu. Dari jadual tertera, bis akan lewat sekitar 430 sore. Yang agak menguntungkan adalah letak Lambir Park ini di pinggiran jalan Miri-Bintulu. Jadi ngga jauh2 amat. Tak tahan dengan penantian membuat aku bersiasat. Hmmm gimana ya klo hitchiker aja.... Soalnya mobil2 yang lewat ini paling juga berpenumpang 1-2 orang.

Oke langsung pasang badan. Jangan lupa acung thumb keatas. Dan smile yang muanissssss. Wuuusssss....sebuah truk lewat cuma ngedim tanpa mengurangi kecepatan. Wowwww buangs***. Awas lo ya... Beberapa mobil menyalakan klakson, sedang beberapa penumpang menengok sambil senyum. Seorang sopir bis berisi para pekerja ladang sawit dengan gentle melambai tangan. Aduhhhh uncle..please....please....please.

Tak lama sebuah mobil Wira warna merah tua berhenti. Wawww berhasil juga neh. Aku duduk manis dibelakang sembari memangku trimmer ( itu loh buwat motong rumput). Sang pengemudi seorang devotee chatolic yang banyak memberikan cerita latar belakang agama2 di Serawak. Ia harus pulang balik seminggu dua kali ke Bintulu untuk bekerja. Jangan dikira mobilnya bersih dan mulus. Yang ini malah penuh serpihan rumput dan bensin untuk bahan bakar trimmer. Yang penting kan nyampe juga....

To be Continued (Batu Niah National Park melihat lukisan kuno di dinding gua)

Labels: ,

Thursday, June 23, 2005

Pulau Tioman : Menikmati Sisa-sisa Keindahan Bawah Laut



“Lho mana bisnya?” dengan panik aku jelalatan mengelilingi Newton Circus. Jam menunjukkan 0620 pagi, seharusnya bis sudah nongol. Kasak kusuk ternyata ada beberapa orang yang satu tujuan. Kali ini ke Mersing, pintu gerbang menuju Pulau Tioman. Lima buah bis besar yang parkir ternyata adalah carteran. Sedang bis kami ?
Seorang laki2 muda kurus menghampiri. Oh ternyata ini sopirnya toh. Tapi ya’ ampun, bukannya bis tapi cuma colt mini. Bersama kami adalah dua keluarga kecil yang telah mengantongi booking card. Sekali lagi ini menunjukkan ketololanku.

Ternyata untuk pesan apapun disini musti lewat travel agent. Menjengkelkan sekali. Apalagi deal dengan yang di Malaysia. Sama sekali ngga ada customer priority. Serasa ngga butuh. Akhirnya nekad berangkat dengan keyakinan penuh. Ngga bakalan ditendang. Pokoknya everything bisa diatur…

Satu2nya yang menghibur adalah JB checkpoint. Hah ! sepi sekaleeee. Ngga ada sebiji-pun di konter untuk paspor asing. Bandingkan dengan pengalaman ke Miri dulu yang berdesakan diantara ribuan orang di sebuah ruangan sempit tanpa AC selama 2.5 jam. Di JB pula kami diminta uang untuk bayar transport yang ternyata SGD25 (sekali lagi kami kena palak).

Keinginan untuk menikmati Tioman terlintas mungkin karena di tahun 1970an Pulau Tioman dinobatkan majalah Time sebagai salah satu dari 10 pulau tercantik didunia. Jadi pengen tahu se-bagus apa sih klas dunia itu. Dari sini kami naik speedboat selama sekitar 2 jam. Secara kebetulan kami membeli tiket di travel agent di dekat terminal bis. Dengan harga RM30 perorang one way speedboat ini lebih cepat ketimbang ferry yang hampir tiga jam.

Aku putuskan tinggal di desa Salang, paling ujung utara Tioman. Speedboat akan berhenti di tiap jetty point hingga desa terakhir. Yang paling populer adalah desa Tekek yang letaknya ditengah. Dengan fasilitas Berjaya Hotel dan Resort plus monopoli flight lengkap sudah kemewahan yang ditawarkan di desa ini.

Di Salang dengan sok yakin aku menghadap ke resepsionis Salang Pusaka Resort alias Khalid’s Place. Seorang lelaki overweight datang menghampiri. Nasib lagi berpihak ke kami. Ada chalet kosong walau cuma pake fan dengan tarip RM45 permalam. Ok ! Now what ? Ngapain ya…
Ternyata ada jalur trek ke Monkey Bay. Jalurnya tidak terlalu bagus dan memang dibuat mengikuti kabel listrik dari Tekek. Jalur darat di Pulau Tioman tidak terlalu tertata. Hampir semua lokasi diakses dengan kapal. Termasuk desa Juara yang letaknya disebelah barat. Sekitar satu jam perjalanan naik turun bukit termasuk menikmati monyet-monyet sampai juga ke Monkey Bay. Pantainya kecil dan bersih, juga sunyi. Selanjutnya :

Yes snorkelling. Ini adalah pengalaman pertama. Terinspirasi testimonialnya Nefran membuat aku yang phobi air yang dalam nekad mencoba. Kali ini dibantu wet suit, tapi memang tidak terlalu mengambang. Tapi okelah. Pelajaran snorkelling dimulai. Bla…bla…gimana harus balik…gimana ngeluarin air….gimana posisi duduk…ngga boleh nginjak coral walau apapun yang terjadi…bla…bla..bla. Tapi wadowww koq masih tenggelam juga. Balik ke pantai :

“Lho mana kacamataku?” panik aku cari kemana-mana. Terlihat jejak kecil di pasir menuju pepohonan tak jauh disitu. Aku lemas. Wes sial bener. Koq ya dimaling monyet ! Ini kabar ngga enak. Pertama harus melambai-lambai ke kapal untuk minta diseberangin balik ke Salang dan kedua tentu saja menghabiskan sisa hari tanpa kacamata. Ini bencana. Untung sebuah kapal menghampiri. Bargain kami menawar RM20. Deal ! Tapi dengan sampan kecil begini dengan mulut yang selalu mengangkat menerjang ombak, yah ngeri juga…

Hari selanjutnya: pelajaran snorkelling babak kedua. Kali ini hanya di pantai Salang di dekat jetty point. Sempat panic attack ketika secara tak sengaja terlintas ikan yang sangat besar dengan muka buruknya. Lainnya mengikuti dan tak terasa menjadi serombongan ikan2 yang besar berlalu lalang. Untuk menarik perhatian ikan, sesuai resep tentor aku memakai apel. Dipotong-potong, dimasukkan wet suit. Paling bagus sebenarnya pisang. Tapi kami tidak menemukan toko yang menjual pisang. Roti memang bisa, tapi kata si tentor lebih baik adalah dari sumber alami.

Tibalah hari H. Ini acara tur beneran. Dengan RM50 kami memesan untuk mengikuti snorkelling di tiga tempat. Diorganisir oleh Salang Sayang Resort yang punya toko menghadap pantai. Kali ini memakai life jacket yang ternyata cukup membantu mengatasi faktor ketenggelaman. Coral Reef di dekat Pulai Tulai adalah yang pertama. Aku betul2 nervous. Apalagi sepertinya 4 cowok Malaysia dan dua orang Belanda yang barengan kami lebih berpengalaman. Mereka langsung nyebur kelaut. Sedang aku ? Harus mengikuti komando si tentor : pasang fin di bibir perahu, pasang mask dan snorkel, balikkan badan arah laut, terjunnnnnn……..

Blep..blep..blep…. oke aku ngambang. Si tentor masih sibuk mengoceh. Melihat kedalaman air, sempat ngeri juga tapi akhirnya lupa. Aku sibuk menikmati keindahan dibawah air. Memang cantik. Terumbu karang beraneka warna, gatal sekali tangan ini dengan kamera. Sayangnya kami hanya diperbolehkan setenggah jam saja. Selepas itu diantar ke pantai di Pulau Tulai. Disini kami ditinggalkan sekitar satu setengah jam.

Pantainya sendiri berpasir bersih, sayangnya walau terdapat tong sampah tetap saja menemukan bekas makanan dan minuman berserakan. Nampak diselipkan diatara rimbunnya pepohonan dan batuan. Kami memilih snorkelling sebelah utara pantai. Benar saja disini kedalaman air mencapai 7m tapi tentu saja coralnya lebih indah. Hampir semua coral di bibir pantai mengalami bleaching atau ditinggalkan organisme yang hidup diatasnya. Sayang sekali. Padahal disini kami bisa menemukan anemone yang sangat susah dicari di pantai Salang.

Terakhir kami menuju Monkey Bay. Tapi kapal stationeer di sekitar 40m dari bibir pantai. Ternyata struktur geologi bawah air –nya lebih menarik. Disini terdapat bibir coral menuju laut dalam. Jadi inget fim-nya Nemo. Waktu itu dia bilang : “touching the butt” ketika harus membuktikan keberaniannya berdiri di bibir Great Barrier Reef yang seolah entah berantah. Jadi bisa merasakan ketakutan tapi juga keingintahuan. Tempat ini menjadi tempat favorite untuk berlatih diving karena sangat tenang dan tidak terlalu dalam.

Kami balik sekitar pukul 1500 sembari kembali menikmati makan siang dan siesta menanti sunset. Barulah terasa bahwa hari ini adalah Ahad. Seolah terjadi kesepakatan diatara penduduk Salang, bahwa ini hari kerja bakti. Sungai dibersihkan, pohon dipotong, pasir disapu, rumput ditata. Bahkan seorang muda sukarela menggali pasir untuk mengalirkan sungai menuju laut yang sempat mampat.

Aku jadi teringat kotoran di Pulau Tulai dan beberapa kaleng minuman yang dilempar di coral. Ini semua mengubah semua pendapat tentang turisme. Bahwa turis-lah sebenarnya yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan. Lihatlah disini. Orang-orang Salang menyadari sumber pendapatan mereka hampir sepenuhnya dari wisatawan. Dan mereka benar-benar menjaga citra itu. Menjadi responsible tourist sebenarnya membantu mereka melanjutkan hidup dan juga memelihara kelangsungan keindahan terumbu karang.

Details biaya:

Singapore-Mersing SGD25
Mersing-JB RM8.80
JB-Singapore SGD2.40
Speedboat Mersing-Tioman RM35
Speedboat Tioman-Mersing RM30
Sea taxi Monkey Bay-Salang RM20
Chalet for two with fan RM40 pernight
Rent life jacket RM5 perhour
Rent sea kayak RM15 perhour
Snorkelling tour RM50
Kodak Underwater single use camera RM50
Dinner Seafood BBQ for two around RM35 plus drink
Seeing coral reef : priceless !!

Labels: ,

Wednesday, June 22, 2005

Down the Mountain-third vblog



Click here to view


Third v-blog. I become junkies of it. With size 5.5MB won't take very long for upload into ourmedia.org. Only 1.09 minutes long of last year climbing at Nevis Range in Scotland with buddies : Mark, Debbie and Jon. Learn how to stop sliding from top of the mountain. Fun though...

Soundtrack : Flat Bottomed Girls from yesss the Queen !!

Wednesday, June 15, 2005

Sarawak Borneo May 2005 The Longhouse


veranda of longhouse at the bank of Mentawai River
(picture by ambar)

Day 5 Wed 25/05/05 Longhouse-Nanga Medamit-Limbang

Lagu ini dinyanyikan orang Iban untuk mengawali sampi kena mantap sebuah upacara membersihkan bilek sebagai awal dimulainya musim tanam padi. Renungan yang sangat dalam tentang penghormatan leluhur dan alam.

O, ni kita
Petara aki
Petara ini?
Ti dulu kalia ke dulu nubah,
tanah mungkal menoa tu.
Kita ka dulu berumpang,
besawang
berimba,
ngaga temuda dulu kalia?
Kami tu anak,
telesak,
uchu ambu kita,
Deka bumai dalam memoa tu,
Nganti tulong urat
kita ka dulu menya
Nya alai kita enda tau enda
Ngemata lalu ngintu pengawa ka

Laban kami tu meh uchu
ambu kita,
Darah getah kita,
nampong nerujong,
Ngintu bilik penaik kita.
Nya alai kita enda tau enda
nulomg nukong aku dalam
umai tu.

O, where are you
Spirits of our grandfathers
Spirits of our grandmothers?
You who long ago opened the
bountiful land of this domain.
You who first felled the jungle,
Cleared the land,
Cut down the virgin forest,
Who first created as estate of farmland?
We are your children,
Your offspring,
Your favorite descendants,
Who wish to farm this land.
We take your place,
You who have long ago gone before us,
We attend with care to the work
Which you have entrusted to us,

Because we are your beloved
Grand children,
Your flesh and blood,
your true descendants,
We carefully look after your legacy.
Therefore help us so that I do
Not suffer unhappiness while I
Work this farm

(recorded and translated by Sather 1984)


Pak Payong Sabit dan Ibu Sally mempunyai 9 anak. Empat diantaranya perempuan. Salah seorang putrinya menikah dengan cina dan saat ini menetap di Canada. Sedang kedua putri lainnnya tinggal di Kutching yang salah satunya masih sekolah. Saya bahkan dipersilakan melihat setumpuk album keluarga yang berisi kisah sukses anak-anak Pak Payong.

Bagi suku Dayak, perkawinan antar etnis memang tidak terlalu bermasalah. Bahkan ibu Sally mengatakan sejumlah orang Jawa dan Bandung banyak yang menetap dan membuka usaha di daerah ini dengan menikahi perempuan Dayak. Hanya saja kecendurangan laki2 Dayak untuk menunda pernikahan. Richard guide saya, berjanji menikah jika semua anak perempuan dalam keluarganya bersuami. Ini bukan ketentuan, tapi katanya “hanya sebuah sikap pribadi”. Padahal umurnya diatas 35an.

Bilek Pak Payong terbagi atas beberapa ruang. Yang terdepan sebagai tempat tidur kami ini sangat lapang, hanya terdapat meja sudut yang berisi foto2 dan souvenir dari Canada. Sebuah ruang keluarga dengan TV dan kursi tak jauh dari situ. Barulah dapur dan ruang makan yang mampu menampung 10-15 orang. Di dapur banyak ditemui peralatan modern seperti freezer (bukan kulkas), kompor gas dan alat bantu lainnya. Bercampur dengan blowpipe, senjata buru (biasanya menembak monyet atau burung), alat instrument seperti gitar dan berbagai sertificate pelatihan untuk keselamatan tranportasi sungai.

Malam ini kami dihidangkan nasi beserta lauk pauknya. Disini baru aku tahu bahwa “makanan aneh” yang kami makan di Miri adalah daun pakis muda. Ditumis hanya dengan bawang putih dan kecap, tapi rasanya ……mantap oiiii. Menurut ibu Sally pakis ini didapatnya dari pinggiran sungai atau sedikit masuk kedalam hutan. Di pasar, katanya bahkan dijual dengan sangat murah. Terakhir sebagai teman ngobrol malam ini : hmmm rice wine alias tuak . Untuk brewing, membutuhkan paling tidak dua minggu hingga menghasilkan kualitas yang lumayan. Klo mau lebih keras yah simpan aja sampai bertahun-tahun. Rasanya seperti alkohol dari tape ketan yang biasanya dijual di Magelang itu. Mungkin kalah keras dari tape malah. Jadi ngga ngefek sama sekali.

Sebelumnya aku sempat ditanya beberapa laki2 yang kebetulan sliweran. Agak susah juga berkomunikasi dengan bahasa Melayu, walau beberapa masih bisa dipahami. Lama-lama ngomongnya ngelantur ngga karuan. Barulah aku sadar ketika tercium bau alkohol dari mulutnya. Wah pantesan ini orang2 pada mabuk tuak. Untung aku bisa kabur.

Keesokan harinya kami meninggalkan rumah panjang menuju Nanga Medamit. Sungai Mentawai yang kami lalui ini sudah termasuk hilir dan lumayan lebar. Dari hujan deras kemaren permukaan air masih saja tinggi. Tidak terlalu bergelombang bahkan sangat tenang. Sejam kami lewati sungai legendaris ini dengan kesan yang dalam tentang kampung suku Iban. Hingga tampaklah asap mengepul dari bahan bakar diesel alat2 berat logging. Oooo jadi ini toh logging. Walau yang ini legal. Sebuah perahu geret yang besar hampir penuh sedang alat berat lainnya untuk memindahkan kayu2 gelondongan dengan cengkeramannya yang kuat.

Nanga Medamit ini lebih tepatnya seperti mini kota. Karena kegiatan logging rame disini, maka muncul pasar yang merupakan arena pertemuan orang Dayaks dan pedagang kota. Ngga heran saya nemu penjual semen ataupun bahan berat lainnya disini. Dan semuanya diangkut dengan perahu !!! Dari sinilah kembali akses lewat jalan. Jalanan trans limbang ini baru dibuka dan setengah beraspal. Jadi kebayang nikmatnya. Lagipula ini hari terakhir, dan timbul rasa asing ketika kembali ke peradaban.

To be continued (wah kapan selesainya ya….)

Labels: ,

Monday, June 13, 2005

Three things that Singaporean obsessed about

Sekitar tiga bulan hidup di negara ini muncul sebuah kesimpulan tentang gaya hidup warga S'pore yang menurut aku rada ridicilious (atau lebih tepatnya "obsessed"). Rangkuman ini hasil dari ngobrol dengan pengamat Singapura terkenal Jeng Hany.

[1] How to be "white"
Putih ini adalah artian harfiah : bagaimana menjadikan kulit seputih salju.
Survey menunjukkan peningkatan produk dan jasa spa yang menawarkan upaya whitening di negara Asia. Gejala psikologi lainnya adalah pemujaan terhadap produk orang kulit putih. Anything from foreign is the best. Dan cita2 untuk menjadi negara maju ala Western sebagai tujuan akhir.

[2] How to be slim
Ini nggak cuma problem cewek. Semua orang. Beberapa waktu lalu The Straits Times koran berbahasa Inggris di S'pore membuat headline tentang perbedaan Body Mass Index BMI orang Asia dengan Caucasian. Sebuah gegap gempita yang menjadi bahan tertawaan saya. Klo anda berjalan di Orchard Rd cobalah anda hitung berapa orang yang menurut anda overweight. Mungkin hanya 2 hingga 5 orang saja. Lainnya adalah cewek2 dengan body sangat-sangat tipis. Tapi jika anda di negara Inggris, angka ini bisa jadi sekitar 10 hingga 15. Hitungan ini juga termasuk anak-anak. Ingin tahu apakah anda overweight berdasar BMI ?

[3] How to be rich
Sepertinya ini memang konsekuensi kapitalism. Tercatat Singapore adalah negara terkaya kedua seAsia setelah Jepang. Dengan GDP $24,389 Singapore menikmati posisi strategisnya. Ketika The Straits Times minggu lalu memuat artikel bahwa tentang jumlah orang Singapore yang mempunyai $1 million, maka makin jelaslah obesesi ini. Mau tahu skalanya. Dari berapa mobil mewah yang seliweran di jalanan. Payah..

Labels:

Saturday, June 11, 2005

Bats of Borneo in v-blog


Click here to view

This is our second v-blog, with music add on. I am still working on the text etc. I thought I put the title already but definetly I forgot to update the setting (ups..!). I combined with pictures to get more details of the Deer Cave of Borneo with soundtrack "Mirage" from Kitaro. For pictures we used Nikon DSLR D70 and old camera Pentax Optio 330GS. For video recording we set the Pentax for about less than a minute without sound. As a note : we don't have a videocam !!!

So you would be able to see the quality little bit flawed compared with our first v-blog - Jaipong dancer. That was using Nikon Coolpix 5700 which has video record and sound. It was superb with movement of the dancer so fast that on my screen looked great. I created QT with iMovie and Internet Archive for storing. With size of 4.8M it took at least 15 minutes to store in remote cluster. Any comments welcome, specially from PC users !

Labels: ,

Thursday, June 9, 2005

Serawak Borneo May 2005 Headhunter Trail


skull hanging in their longhouses (sources: takumedia.com)

Day 4 Tues 25/05/05 Headhunter’s Trail

Waktu itu sekitar abad 18an suku Iban yang aslinya tinggal di muara sungai Kapuas bermigrasi ke wilayah hulu Borneo. Ini menghasilkan tentangan dari beberapa suku yang telah menetap di tepian sungai. Terjadi perang suku yang dasyat yang digambarkan sebagai “sungai menjadi merah oleh darah”. Ini juga menjadi awal tradisi yang ditakuti : headhunter alias memburu kepala.

The headhunters trail sekarang adalah jalur trek yang dulunya dipakai suku Kayan untuk menyergap orang Iban dan suku-suku lain yang hidup di sekitar Limbang. Jalur ini kemudian berkembang menjadi jalur perdagangan bagi warga yang tinggal di pegunungan ataupun yang ingin memasuki Indonesia. Perang suku yang panjang inilah yang menjadikan suku Iban jatuh ke tangan White Rajah James Brooke di tahun 1835.

Hari ini hanya kami yang melakukan trekking hingga Kuala Terikan. Tim-tim lain memilih balik ke Miri dan sebagian meneruskan ke Sabah untuk mendaki Mt. Kinabalu. Kami berangkat sekitar 0800am. Richard –sang guide sudah mengingatkan bahwa trek ini terkenal akan keganasan pacet-nya. Waaaaa jadi yang kemaren itu belum ada apa2nya toh ????

Menurut dia ada dua tipe pacet.
Ground leech bentuknya seperti cacing, berwarna kecoklatan, bergerak mirip dengan ulat (pake perut). Biasanya mengenai kaki ketika kita berjalan di belukar. Sedang Tiger leech (Hassiphonia Species), Bentuknya tidak panjang, warna kehitaman, terasa klo mengigit, dan suka menyerang badan keatas. Perilaku yang lain adalah pacet tipe ini menghasilkan enzym yang membuat darah berhenti membeku. Jadi sekali kena bisa berdarah-darah sampe setengah jam. Aku juga mengamati bahwa pacet suka memilih lekukan tubuh yang mempunyai pembuluh darah lunak seperti paha, perut dan pinggang (hmmm yummy…)

Sadar dengan bahaya kami eksperiment taktik baru. Pake celana sengaja kepanjangan, kaos kaki wol tinggi dan gaiter disemprot dengan insect repellent dulu. Si Richard ngetawain aja. Dia memilih celana pendek, kaos lengan pendek dan cuma sandal gunung !! Bah….ini namanya mengorbankan diri.

Trek ini berjarak 11.3 km cenderung rata. Vegetasi juga lebih rimbun dengan pepohonan yang tinggi. Sinar matahari hanya kadang2 menyelip diantara pepohonan yang ditebang khusu untuk pemeliharaan trek. Beberapa kali kami memergoki hasil perbuatan pemburu hutan yang mengambil rebung bamboo ataupun tanaman lainnya. Jalur ini juga dipakai orang China di awal perdagangannya dengan suku Dayak. Kami santai saja hari ini dan kebetulan cuaca sangat membantu. Bunyi cicadas ngga henti-hentinya terdengar, kadang terdengar aneh. Burung-burung pun bergantian menghasilkan konser alam yang indah. Kami sempat memergoki seekor burung yang mempunyai ekor sangat panjang (eee lupa namanya, liat di foto aja). Kami musti mengendap-endap dan mengamati dalam jarak 20m.

Guide kami ini juga menunjukkan daun kayu api (ngga pasti namanya). Daunnya jika dibakar akan menghasilkan suara letusan seperti petasan. Mereka percaya dengan membakarnya akan mengusir ruh jahat. Biasanya dilakukan jika turun gunung atau ketika seseorang meninggal. Tapi dasar anak2 biasanya dinikmati karena suaranya yang riuh. Jalur trek ini lumayan rapi, walau kadang hilang disana-sini. Juga terdapat plank kayu jika trek melewati rawa atau sungai dangkal. Oya kami banyak menemui sungai berwarna coklat seperti teh karena tanah sekitanya yang bergambut (peat).

Setelah sekitar 4 jam kami sampai di sungai Terikan. Disini terdapat jembatan tali untuk menyeberang. Asyik juga melewatinya. Terutama karena diikatkan di pepohonan di kedua ujungnya dan tali tambahan untuk mengurangi efek ayunan. Usai menyebrang terdapat sebuah tempat peristirahatan kecil tak jauh dari sungai. Kami berhenti dan kembali melancarkan aksi “leech operation”. Kali ini hanya dua tiger leech di perut dan beberapa nempel di gaiter dan rucksack. Sedang Richard- hmm harus menerima konsekuensi bersandal gunung. Tiga gigitan ganas mengenai kakinya. Aku juga menemukan fakta menarik bahwa rucksack-ku yang berwana lebih gelap ternyata sangat digemari pacet. Terbukti eksperiment lumayan berhasil walau tidak memuaskan. Pacet cuma nemplok di tangan dan segera dibuang sebelum menancapkan giginya.

Tak lama seorang laki-laki paru baya datang menghampiri. Ternyata beliau ini Pak Payong, penghulu Sigah yang akan membawa kami dengan perahu untuk tinggal di rumah panjangnya di tepi sungai Mentawai. Di keranjang khasnya telah tersedia makan siang buat kami. Wah nikmat apalagi sehabis cibang-cibung di sungai. Kali ini rucksack dan semua peralatan kamera terpaksa dimasukkan dalam tas waterproff. Karena sungai Mendalam yang akan kami lalui ini terkenal arus derasnya.Juga melihat cuaca kayaknya hujan segera tiba.

Benar saja tak ada 20 menit kami tinggalkan Kuala Terikan, hujan mengguyur dengan derasnya. Benar- benar seperti tercurah dari langit. Beberapa kali kami harus melewati arus yang mendebarkan. Aku cengar-cengir aja, terkadang rada gelagapan. Pak Payong dengan sigap mengendalikan perahunya.

Walau hujan kami menikmati 2 jam perjalanan berperahu. Bahkan sempat terbuai dengan suasana. Hingga sampai juga kami di rumah Pak Payong. Rumah panjang yang dihuni hampir 23 keluarga ini cukup rapi. Aku lihat beberapa jala disangkut didepan rumah. Sebagai penghulu, Pak Payong hidup diatas rata2 orang Dayak. Akan sangat mudah ditemui freezer atau toaster disini. Bahkan demi kenyamanan turis, sebuah toilet duduk dan shower siap sedia. Walau tentu saja air-nya dari ember.

To be continued (menuju Limbang dan makan malam dengan pakis hutan yang lezat)

Labels: ,

Sunday, June 5, 2005

An Unforgettable Evening


Dr Sylvia Earle

Kesempatan unik ini adalah bagian dari serangkaian Celebrate The Sea 2005 di Singapura. Sebuah kegiatan expo di bidang eco adventure kelautan untuk kawasan Asia Pacific yang digelar 3-5 Juni 2005 yang lalu. Tiga pembicara yang diundang adalah Dr Sylvia Earle-top marine biologist scientist dengan Dr Phil Nuytten –orang yang bertanggung jawab atas penemuan teknologi terbaru deep water diving. Sedang David Doubilet –photographer kawakan NG yang menghasilkan lebih dari 60 stories. Dengan peserta terbatas kayaknya event ini layak ditunggu.

Sebelumnya aku jalan-jalan dulu ke Expo. Kebetulan banyak juga dari Indonesia. Sebagian besar menawarkan paket diving ke beberapa pulau di Bali dan Manado serta pulau-pulau kecil disekitarnya. Tapi ada satu yang unik yakni di Pulau Les Bali. Sebuah project tentang penanaman terumbu karang yang dilakukan penduduk setempat. Teknik yang dipakai berbeda dengan di Pulau Pemuteran yang menggunakan Biorock-pyramid kawat baja yang dialiri listrik. Di Pulau Les ini menggunakan balok semen yang penanamannya seperti tranplantasi bunga. Sebuah upaya konservasi yang luar biasa terutama merubah perilaku penangkapan ikan oleh nelayan yang sebelumnya memakai bom dan sianida (yep….racun mematikan itu).



Dr Phil Nuyteen

Acaranya dimulai pukul 1900 dengan iringan music Eric Bettens yang menjadi komposer theme dari Celebrate The Sea, lantas sebuah presentasi singkat tentang pemenang karya foto bawah laut katagori print. Barulah kemudian tampil Dr Sylvia Earle. Presentasinya mengambil tema Sustainable Seas, The Vision, The Reality” berusaha menyadarkan bahwa laut adalah sumber alam yang suatu saat akan habis jika kita tidak melakukan sesuatu. Video clip project-nya dengan NG tentang tuna (soon will be release) juga risetnya di pulau Malpelo Colombia perihal mulai hilangnya hiu akibat fishing dalam waktu kurang dari dua tahun. Mantan chief scientist di National Oceanographic and Atmospheric Administration USA ini menegaskan bahwa ada dua penemuan penting. Pertama bahwa hampir 95% pengetahuan kita tentang laut perlu digali, kedua bahwa manusia mempunyai kendali atas berlangsungnya kehidupan laut.

Setelah coffe break, lantas sessi kedua dari Dr Phil Nuyteen dengan video presentasi “Journeying Down”. Ilmuwan dan inventor ini menceritakan perjalanan penemuan2 nya yang menghasilkan JIM (atmosphere diving) dan yang paling terkenal adalah Newtsuit (untuk deep ocean seperti astronout). Salah satu karyanya dipakai dalam film the Abyss (1989). Ia juga memberikan gambaran commersial divers seperti mengangkat roket NASA yang jatuh di Atlantik ataupun memperbaiki oil rigs.

Sedang sessi ketiga yang paling aku tunggu adalah David Doubilet. Kali ini ia membawakan photo presentasi “The Okavango Delta, Africa’s Miracle Waters”. Salah satu assignment-nya di gurun Kalahari dengan NG ini disamakan dengan ide gila. Okavango Delta memulai kehidupannya dari curahan hujan di pegunungann Angola mengalir menjadi sungai di Namibia hingga melalui batuan Bostwana. Kehidupan wildlife-nya sangat unik karena kekayaan algae dan tumbuhan menjadikan sungai seperti belantara. Dan yang mengiris adalah deretan buaya dan hipo (badak laut) yang siap menerkam kapan saja. David juga menggambarkan upaya menangkap moment serombongan gajah yang melewati sungai dengan kamera remote control-nya. Salah satu yang aku kagumi adalah disaat kameranya merekam elang yang menerjang sungai menggapai ikan. Beberapa karya rekan sejawat Jennifer Hayes juga ditampilkan dalam assignment bareng. Terutama tentang kehidupan suku Bayei dan cara menangkap ikan dengan menggunakan keranjang. Caranya : berdiri di sungai, ngubek-ubek air trus dijaring pake keranjang yang mulutnya lebar. Unik banget…

Puas deh pokoknya….

Labels:

Thursday, June 2, 2005

Sarawak Borneo May 2005 The Pinnacles


we made into The Pinnacles

Day 3 Mon 24/05/05 The Pinnacles (Gn Api)


Ada sekitar 4 groups yang akan mengadakan pendakian hari ini. Dari Singapore, rombongan besar dari Malaysia dengan film crew, lima orang turis asing dan kami. Kebanyakan tim sekitar 5 hingga 10 orang. Cuma group kami yang berdua plus guide. Richard sudah memberi tahu bahwa kami akan berangkat pagi sekitar pukul 700.

Selesai mengepak kami set off ke jalan setapak tak jauh dari camp 5. Perasaan-ku ngga mood pagi ini. Mungkin karena kurang tidur semalam. Hujan lebat cukup membuat atap seng jadi riuh dan entah kenapa sulit sekali menutup mata untuk tidur. Jalanan langsung menanjak dengan grade yang lumayan. Perutku jadi mulas. Benar saja belum ada setengah jam mendaki aku muntah karena system pencernaan terlalu diforsir bekerja bersamaan dengan otot kaki. Anehnya sehabis muntah aku malah seger waras. Cuma agaknya perlu tambahan energi untuk menggantikan sarapan yang keluar.

Jalur trek lumayan bagus, disana-sini terkadang diberi tali. Terutama untuk turun karena licinnya batuan dan akar pepohonan. Teduh sekali karena rimbunnya pohon. Jarang banget mendapat sinar matahari langsung. Kalo diitung sebenarnya hanya 2.4 km tapi ini totally vertical. Dalam buku dikatakan paling tidak butuh 3-4 jam untuk sampai ke Pinnacles for fit people. Jarang ada jalur datarnya. Karena itu sangat essensial untuk membawa packing seminim mungkin. Aku lihat beberapa botol minuman di letakkan di tepian trek sebagai suplai kalo turun. Paling tidak perorang membawa dua liter, idealnya sekitar 3 liter. Ngga ada sumber air di sepanjang trek.

The Pinnacles adalah lapisan limestone yang mengalami erosi karena curahan hujan. Ini membuat bentukannya menjadi jeruji tajam. Bahkan tingginya bisa mencapai 30-40m . Letak Pinnacles adalah di lereng Gunung Api (1750m). Belum ada yang mencoba menaklukan puncak sesungguhnya. Sebuah gunung di sampingnya Gunung Benarat (1580m) meski pendek tapi juga belum terjamah. Satu2nya Gunung yang bisa didaki adalah Gunung Mulu (2376m) yang pertama ditaklukan oleh Lord Shackleton (anaknya Ernest Shackleton) di tahun 1932. Anyway bagi aku Pinnacles sudah lebih dari cukup.

Sekitar pukul 10an kami nyampe di sepertiga bagian terakhir (I called it : jalur besi). Di papan peringatan disebut bahwa paling ngga kita nyampe di tahap ini sebelum pukul 11 siang. Alasannya karena cuaca yang sering berubah, kabut dan mungkin hujan juga jalurnya sendiri lumayan berat. Terdapat sekitar 14 tangga besi dan beberapa jembatan penolong juga tali untuk melalui lapisan limestone yang keras. Disana-sini juga ditemui lubang dalam yang klo ngga ati2 bisa nyebur juga.

Trek berubah menjadi merayap, scrambling dan climbing. Menurut aku ini lebih menarik karena beberapa point betul2 memakan tenaga. Jadi jangan percaya dengan guide atau tour operator yang menyebut jalur ini “moderate”. Richard-guide kami malah menganggap the Pinnacles lebih berat ketimbang Mt Kinabalu di sisi tingkat kesulitan. Untung saja hari itu cukup cerah jadi jalur tidaklah terlalu licin.

Setelah total 4 jam pendakian, dengan basah kuyub keringat sampai juga kami ke the Pinnacles. Luar biasa ! Kebetulan kabut juga baru terangkat, jadi nampaklah gerombolan batuan runcing yang seakan menantang langit ini. Bersama kami adalah rombongan yang berangkat lebih dulu, dua orang Singaporean dan serombongan turis asing. Tempat untuk menikmati the Pinnacles juga sempit banget. Maksimal bisa nampung sekitar 10-15 orang dengan beberapa memanjat pohon. Ngga seperti lapangan bola.

Disini pula aku bisa ngobrol rame dengan salah satu turis. Gara-gara ia memakai kaos bertuliskan : Pemilu 2004 Pemilihan Miss Lucu Indonesia. Dari sini mengalir cerita tentang pengalamnnya 4 bulan di Indonesia. Dari mendaki Merapi, Semeru dan upayanya mencapai Rinjani. Juga salah satu trik-nya mengelabui petugas imigrasi untuk tinggal di Indonesia. Miss Lucu bilang bahwa Indonesia adalah tempat terindah yang dikunjunginya. Nah loooo……….asli ini ngga bosa-basi.

Makan siang kami habiskan di the Pinnacles. Terkadang kabut turun dengan cepat dan dalam sekejap hilang dalam gulungan putih. Setelah puas kami bersiap turun. Sekitar pukul 1300 kami meninggalkan lokasi. Untuk turun, ini yang lebih susah sebenarnya. Apalagi satu jam kemudian hujan turun walau tidak terlalu deras. Efeknya jalur menjadi sangat licin. Untung saja akar pohon yang kuat bisa dipergunakan untuk pegangan.

Jalur trek sebenarnya mudah diikuti karena ditandai dengan cat merah di pepohonan. Yang pasti jalur ini dijamin “pacet free”. Setelah berjuang turun (aduh…rasanya ngga gagah banget) tiba di kaki gunung. Richard mendahului karena mungkin ngga sabar karena kita lelet banget terutama aku yang kelelahan. Guide kami ini juga berbaik hati membantu anggota grup lain yang tidak bisa melanjutkan di “jalur besi”. Ada sekitar 3 orang dengan satu orang mengalami gagal sepatu yang mengharuskan guide turun dan naik kembali untuk mengambilkan sepatu. Sekitar pukul 5 sore kami kembali di camp 5 dengan suguhan teh hangat.

Disini sembari leyeh-leyeh aku kebali chatting ria dengan rombongan Miss Lucu dan secara kebetulan aku ketemu kembali dengan bapak separuh baya tambun berwarga negara Inggris yang selalu menyanyikan lagu Begadang. Dia pernah tinggal empat tahun di Indonesia di era 1970an. Bahkan mengaku kenal baik dengan Iswadi Idris (orang bola) dan Hetty Koes Endang (penyanyi). Bahkan ia dengan bangga menyanyikan lagu Indonesia lama yang lain. Kadang aku geli sendiri, tapi kadang terharu. Orang asing ini lebih menghargai budaya kami sendiri.

Makan malam dihidangkan secara komunal. Di dapur terdapat sekitar 7 orang yang memasak. Kebanyakan Park Ranger yang jadi guide. Jadi kita ngga perlu masak jikalau di camp 5. Aku berharap bisa tidur tenang malam ini. Setelah menenggak oralit plus banyak minum kami segera masuk peraduan. In total hari ini hanya sekitar 2 + 1/2 group yang bisa ke puncak. Satu tim dengan film crew balik kanan di setengah jam pertama mendaki. The Pinnacles bukan untuk orang yang gampang menyerah.

To be continued (trekking ke Kuala Terikan dan menyusuri sungai Mendalam yang bergelombang)

Labels: ,

Wednesday, June 1, 2005

Sarawak Borneo May 2005 Mulu Nat Park


Penan settlement with Mt Mulu as a background


Lanjutan day 2 Miri - Kuala Berar - Camp 5

Gunung Mulu National Park dibuka tahun 1996 1985, namun nama besarnya dikenal sebagai World Heritage oleh Unesco karena biodiversity dan kekayaan karst-nya. Untuk mengeksplorasi Mulu kita harus menggunakan jasa guides. Park HQ sendiri mempunyai Park Ranger yang siap sedia mengantar. Taripnya jelas, baik transport, biaya masuk juga retribusi untuk tinggal di camp. Untuk Pinnacles taripnya adalah RM400 (3D/2N per group), sedang Headhunters trail adalah RM160.

Dari sungai Melinau kami mampir ke Penan settlement. Suku ini secara tradisional adalah nomadic, tapi saat ini hanya sekitar 4% saja yang masih berburu dihutan. Lainnya menjadi petani padi, umbi atau sagu. Sedang kaum wanitanya membuat kerajinan yang dijual untuk turis. Umumnya mereka berbahasa Berawan, bahasa untuk Orang Ulu (tinggal di hulu sungai), tapi mereka bisa berkomunikasi dengan bahasa Malay. Satu cerita adalah umumnya orang Penan tidak bisa berenang, namun setelah settlement para generasi baru Penan mulai beradaptasi dengan kehidupan tepian sungai.

Rumah suku Penan yang saya datangi terdapat tiga longhouse yang terpisah. Menurut Richard-guide kami beberapa tahun lalu terjadi kebakaran besar sehingga diputuskan memisah longhouse. Disana-sini juga terdapat Bilek terpisah, yang masih dalam satu kompleks. Mereka memelihara ayam dan anjing juga monyet. Terdapat sebuah gereja tua yang dipakai untuk kegiatan ibadah. Suku-suku di Borneo memang menganut agama Kristen Catholic namun bukan berarti animisme ditinggalkan.

Saya sempat ngincer parang dan blowpipe yang merupakan ciri khas mereka. Tapi heksss…disadarkan ini bisa jadi masalah di imigrasi. Akhirnya mengagumi seruling bamboo yang ditiup melalui hidung. Juga semacam potongan bambu yang digetarkan dimulut menciptakan bunyi khas. Satu alat musik yang saya sukai adalah sepotong gitar yang dawainya diiris dari kulitnya.

Disini kami membutuhkan satu porter yang bersedia mengantarkan bekal ke camp 5. Seorang laki2 muda Penan dibangunkan dari tidur siangnya. Jadilah kami kembali berlima berperahu menuju Kuala Berar. Sebelumnya kami mampir di dua buah gua lagi yang hanya bisa diakses dengan perahu, yakni Clearwater cave dan Wind cave.

Wind cave hampir sama cantiknya dengan Lang cave. Yang langsung menjadi perhatian adalah lapisan karstnya yang nampak lebih muda juga terlihat kering. King Chamber yang menjadi point of view sangat menarik karena stalagtite lebih berupa jeruji yang menyambung dengan stalagmite. Sedang Clearwater cave mempunyai system yang panjang dengan sungai yang lumayan dalam. Dijamin airnya jernih sekali sesuai dengan namanya. Disini kami menemukan bentukan karst yang unik seperti layaknya stalagmite yang terpotong. Mereka menamakannya Adam and Eve karena sepasang.

Selepas makan siang kami melaju kembali dengan perahu. Sungai Melinau sebenarnya ngga dalem amat, bahkan beberapa kali mesinnya terantuk batuan. Cuma terkadang terdapat arus deras yang membuat Richard mengeluarkan dayungnya. Kami sempat mendorong perahu karena tersendat-sendat. Saya sih duduk manis saja…(anyway ini karena saya ngga mahir berenang).

Sekitar 1 jam kemudian kami tiba di Kuala Berar. Dari sini kami akan memulai trekking 8km menuju camp 5. Elevasinya datar aja, tapi karena ini hutan maka delapan kilo serasa dua kali lipatnya. Menurut petunjuk plangnya sih cuma dua jam tapi sekali lagi ini standard orang local. Si porter sudah berangkat duluan dengan keranjang anyaman yang dikaitkan di kepala dengan tanpa alas kaki. Sedang kami masih sibuk meramu “jungle mix” –campuran insect repellant dan sun cream. Saya sih no problem klo nyamuk tapi yang aku takuti adalah pacet.

Ketakutan –ku menjadi kenyataan setelah satu jam trekking mendadak hujan turun. Ini akan membuat serangan pacet bertambah ganas. Pacet menggunakan sensor panas untuk mencari mangsa. Disaat hujan temperature cenderung turun membuat mereka lebih mudah mengindetifikasi korban. Beberapa kali si imut ini nemplok di kaki dan sempat merayap wajah (karena ternyata nyangkut lewat ponco yang aku pake). Aku sempat ngga gubris sambil beberapa kali berhenti mengambil foto tumbuhan disana-sini. Setelah sekitar tiga jam trekking termasuk istirahat 1/2 jam nyampe juga kami di camp 5.

Acara selanjutnya adalah “leech operation”-buka baju dan sepatu. Hasilnya tiga pacet di kaki dengan sukses mengambil darahku sedang satu biji di belakang berdarah-darah hingga setengah jam. Agaknya beberapa nemplok melalui rucksack. Untuk melepasnya kami pake insect repellent dengan 100% deet alias sedikit semprot langsung wessssss tewas.

Camp 5 sendiri sangat nyaman. Terdapat 5 ruangan besar yang per ruang bisa untuk tidur sekitar 10 orang. Papan tidurnya dilengkapi pelapis busa yang menurut aku termasuk klas mewah (hiks…) Juga sebuah dapur umum dan kamar mandi yang bersih. Jika mulai gelap sebuah generator akan dinyalakan untuk memberi penerangan. Di atapnya berderet solar panel sebagai tambahan tenaga listrik. Disini kami akan tinggal selama dua malam untuk pendakian the Pinnacles keesokan harinya dan meneruskan trekking Headhunter’s trail ke Nanga Medamit.

To be continued (beratnya pendakian Pinnacles dan cerita tentang Miss Lucu)

Labels: , ,