Friday, October 16, 2015

Bertemu Ketut Liyer: Bukan Dukun dan Bukan Dokter



Pak Letut Liyer sedang diambil photonya ©ambarbriastuti2012

Sometimes to lose balance for love is part of living a balanced life. -Ketut Liyer

Saya putuskan untuk bertemu Ketut Liyer, Medicine Man dari novel Eat Pray Love ketika berkunjung ke Indonesia Juli 2012. Seperti dikisahkan dalam bukunya Elizabeth Gilbert, saya juga tengah mengalami persimpangan dan pergulatan tentang makna hidup. Beberapa bulan sebelumnya saya baru selesai rangkaian pengobatan penyakit kanker. Saya didiagnosa sakit ketika hamil tua. Jadi rencana kencan dengan si Smiling Ketut ini memang ada misi tersembunyi.


Sengaja saya datang pagi-pagi ke compund rumahnya di Pengosekan, Ubud Bali. Atas saran staf tempat saya menginap datang awal untuk mengambil nomor antrian. Begitu tiba di gerbang rumahnya, saya ditanya oleh anggota keluarganya. Apakah saya mewakili pribadi ataukah ‘tamu’? Oh jadi tampang saya memang pas jadi guide hehehe…


Kediaman Ketut Liter di Pengosekan, Ubud Bali. ©ambarbriastuti2012

Nomer togel saya hari itu adalah 5. Dua pasien sebelumnya didepan saya adalah dua orang perempuan bule Australia. Saya putuskan menunggu saja sambil jalan-jalan di taman rumahnya yang asri. Saya perhatikan memang entah Pak Ketut Liyer atau keluarganya ‘menjual’ publikasi Eat Pray Love itu. Ada poster film dengan mba Julia Robert disana. Entahlah ini rasanya seperti komersialisasi tukang obat. Saya sempat meragukan niat awal dan sekilas mau pergi saja. Tapi karena telanjur disini dan nampaknya nomer saya jatuh berikutnya.


Pak Ketut Liyer mengaku berumur 98 tahun berdasarkan penanggalan Bali/Saka tapi masih gesit dan cukup responsif. Sebelum mulai sesi, ia lebih dulu bercerita tentang pertemuannya dengan mba Gilbert dan menunjukkan catatan lusuhnya. Tak lupa ia menunjuk namanya di novel sambil berucap,”Ini nama saya disini.” (Saya mengiyakan walaupun saya tahu ia tidak bisa membaca). Bahasa inggrisnya patah dalam grammar khas percakapan. Tapi pesan yang disampaikan cukup dimegerti, terutama dua tamu didepan saya. Entahlah saya jadi il-fil begitu melihat para tamu yang antusias dengan Pak Ketut Liyer seperti layaknya selebriti. Saya merasa sedang menghadap dukun terkenal.


Poster film Eat Pray Love di kediaman Ketut Liyer ©ambarbriastuti2012

Yang saya tangkap kemudian memang Pak Ketut Liyer ini membuat semacam default komentar. Jadi urutannya sudah pakem, seperti halnya yang ada di novel itu. Persis. Jarang bervariasi, dan nampaknya karena ia menyadari itulah yang dicari konsumen. Sayangnya saat itu saya bukan berkunjung bukan seperti Elizabeth Gilbert.


Sebenarnya saya hanya ingin melihat sejauh mana ia bisa ‘membaca’ saya. Artinya membaca karakter dan kepribadian yang tentu dia lebih ahli. Tentang penyakit dsb, saya yakin ia tidak bisa bertindak lebih dari sekedar memberi saran. Ia hanya berlaku seperti seorang yang memberikan afirmasi. Tidak lebih dari itu.

Kalau ditanya apakah bertemu Ketut Liyer itu sepadan dengan apa yang diberikannya. Saya bilang itu tergantung dari mana anda mengukurnya. Ada sedikit sedih karena sepertinya ia begitu lelah. Dan orang-orang seperti saya ini mendesaknya untuk tetap tersenyum.

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home