Thursday, May 29, 2008

Merenung di kuburan Scott Fischer : Manisnya Kegagalan



Minggu, April 29th 2007

Dengan nafas terenggah-enggah saya sampai di sebuah padang. Matahari masih dengan ganasnya menerpa tengkuk dan muka. Saya kehausan. Tangan kanan meraih selang yang tergantung di kanan ransel. Seteguk cukup melegakan.

Beberapa jam lalu saya meninggalkan desa Pheriche. Saya lirik jam. Pukul 14:18. Rasanya jalan kehitaman di depan saya tidak ada akhirnya. Debu yang saya hirup makin menyesakkan dada. Saya buka slayer penutup mulut dan hidung. Di ketinggian diatas 4900m ini oksigen cukup tipis. Seperti ikan mulut saya buka tutup. Angin bertiup sepoi, memberikan sedikit kesejukan. Deretan gunung Taboche dan Ama Dablam masih terlihat dengan gagah. Sedikit awan bergantung disana. Selebihnya adalah biru langit dan terangnya putih salju. Mata saya mengerjap. Agak silau.

Di padang gersang ini berserakan batu-batu. Besar kecil, dengan warna kehitaman. Beberapa diantaranya dibentuk menjadi semacam stupa dengan jalinan diberi scarf warna kuning dari sutera. Di puncaknya dijalin tali dengan kertas warna-warni berisi tulisan doa. Bendera kecil itu berkibar-kibar diterpa angin semilir yang sesekali mengantarkan suara menderu. Sejauh mata memandang tumpukan batu itu dimulai dari sisi timur hingga arah barat tepat menghadap gunung Everest.

Mata saya menatap sebuah tumpukan batu sedikit diatas bukit. Ada nama terpatri disana. Diukir di batu paling bawah dan sebuah plakat dari logam dipuncaknya. Saya tertegun. Scott Fisher. Bukankah ia yang..? Saya baru menyadari. Saya tengah berada di kompleks chorten. Dalam bahasa Tibet, Chos rtan artinya tempat dharma. Digunakan sebagai penghormatan atas peninggalan seseorang. Chorten terdiri dari tiga elemen : dasar, tubuh dan mahkota. Tubuh berbentuk bulat dengan dasar yang datar seperti mangkok pendeta Buddha Tibet yang diletakkan terbalik. Sedang mahkota biasanya ditulisi Kalacakra. Didalamnya terkadang ada peninggalan berupa baju ataupun barang. Di chorten pendaki biasanya kampak es (ice axe) ataupun serpihan barang berharga.

Ketika seorang pendaki meninggal di Everest, tubuh fisiknya akan tetap tinggal di gunung. Terlalu berbahaya untuk membawa mayat hingga di tempat yang layak. Tercatat 203 mayat berserakan di kaki, sisi ataupun tepian Everest. Tertimbun salju abadi, beku dan menjadi mummi. Entah kapan akan ditemukan. Everest sepertinya adalah kuburan itu sendiri.

Hampir tak percaya saya menapak kaki mendekat. Betul disitu tertulis Scott Fischer. Nama yang melekat dalam ingatan hampir semua pengelana yang membaca kisah malapeta Into Thin Air yang dikisahkan Jon Krakauer. Pada hari Jumat 10 Mei 1996 Scott memimpin tim dari Mountain Madness meninggal diterpa badai ganas. Walaupun pemimpinnya tak kembali namun semua kliennya (delapan orang) berhasil diselamatkan berkat kegigihan Anatoli Boukreev yang menjadi guide. Tak menghiraukan diri sendiri, Boukreev kembali mendaki untuk menyelamatkan tiga orang : Sandy Pittman, Charlotte Fox dan Pete Madsen namun gagal membawa Scott Fischer.

Tak lama saya mendengar langkah kaki. Nanung rupanya berhasil menyusul saya. Saya masih mendengar suara batuknya. Terus-terang saya mengkhawatirkan keadaan dua kawan saya. Nanung terkena batuk karena ketinggian sejak memulai di Kathmandu. Debu dan partikel memenuhi saluran pernafasannya. Juga karena menyempitnya jalur pernafasan atau kemungkinan infeksi. Jika tidak dikontrol batuk yang berat bisa berakibat mematahkan tulang dada. Saya tidak bercanda. Batuk yang terus menerus bisa berujung High Altitude Bronchitis (HAB). Ingatan saya melayang pada seorang pendaki wanita dari Jepang yang ikut tim pembuatan film Imax Everest di tahun 1996. Ia gagal mendaki karena serangan batuk yang mengakibatkan tulang dadanya retak. Itu ketika ia masih di Base Camp, belum melakukan pendakian sesungguhnya.

Di Pheriche Nanung sempat menggunakan cara yang dianjurkan dokter di Rumah Sakit untuk bernafas di atas uap air panas. Menurut dokter ini akan membantu meningkatkan kelembaban di saluran nafasnya yang kotor karena debu. Juga membantu melancarkan sinus yang terhambat. Kalau bisa mengeluarkan riak warna hijau akan lebih baik lagi. Nanung mengaku sudah cukup sehat pagi tadi ketika berangkat. Saya meragukannya tapi tidak ingin menghalangi siapapun. Biarlah hanya dia yang tahu batas fisiknya.

Saya juga mengkhawatirkan Jeannie. Ia jelas menunjukkan gejala awal AMS. Terutama menurunnya stamina dan kemampuannya berorientasi dengan medan. Seperti penderita AMS tingkat awal lainnya, Jeannie bersikap denial atau menolak kenyataan bahwa ia mengalami sakit ketinggian. Dalam percakapan pribadi dengan dokter, kami sepakat Jeannie mengalami AMS yang mengharuskan ia untuk aklimatisasi lebih lama. Saya menawar apakah Jeannie cukup aman melanjutkan perjalanan. Dokter menyatakan bisa. Hanya saja harus secara perlahan-lahan. Artinya berhenti di Dughla -sebuah desa antara Pheriche dan Lobuche. Walaupun jaraknya tak jauh tapi dibatasi puncak yang lumayan terjal. Untuk mengurangi efek AMS Jeannie diberi obat Diamox atau Acetazolamide sebanyak satu strip. Porsinya cukup setengah sehari. Saya sedikit lega. Mungkin setelah istirahat di Pheriche Jeannie akan membaik.

Nanung yang menyusul saya berhenti sesaat. Saya menengok, untuk melihat kondisinya. Ia masih dalam semangat yang tinggi. Yang pasti ia juga tidak menyadari tempat kami berhenti. Saya membiarkannya mengambil nafas sebentar sebelum saya tunjukkan chorten dengan tongkat trekking saya.

“Nung, coba delokan kae,” 1) tuding saya ke arah chorten yang dimaksud. Nanung nampaknya belum paham juga. “Iku lho diwaca sing ning ngisor,” 2} kata saya makin menegaskan. Rupanya kacamata ski yang dipakainya memberikan warna oranye, membuat ia kesulitan mengenali.

Ia nampak membaca, tak lama kemudian matanya memandang saya. “Lha kae sing neng Everest mbak?”. Saya senyum. Saya yakin dia sudah membaca kisah Into Thin Air. Jadi saya ngga perlu panjang lebar. Bergegas Nanung melangkah ke Chorten, melihat dengan seksama. Mengambil photo dan berdiri lama seperti tertegun. Sesekali ia mengelilingi tumpukan batu. Sedang saya memilih melihatnya dari jauh. Biarpun itu sebuah memorial, senyatanya bukanlah sebuah kuburan. Mayat Scott Fischer ada di gunung sana, sedangkan chorten ini sebuah tempat untuk menyampaikan doa kedamaian bagi ruhnya.

The field full of chorten of people who died on their attemp to conquer Everest or
the mountain ranges (Pumori, Lhotse, Ama Dablam)


Saya tetap berdiri di tempat semula. Saya memilih mengambil photo beberapa chorten yang berserakan dengan latar belakang gunung yang menakjubkan tapi mematikan. Ada sekitar 50-60 chorten yang disusun dengan acak. Ada yang besar ada yang hanya setumpuk batu tak bernama. Terkadang ada plakat yang menerangkan nama pendaki dan ekspedisi berikut tahun meninggal atau hilang. Sebagian menyebutkan tanggal kelahiran. Saya bahkan mencoba menghitung usia mereka. Sangat beragam. Dari berbagai negara : China, Korea, Jepang, Inggris, New Zealand, Amerika Serikat, Perancis dll. Beberapa malah ditulis dengan bahasa dan huruf asal negara. Chorten Scott Fischer ini adalah yang paling besar dan gagah. Namun berada diantara berserakan ratusan batu, mungkin tak banyak yang bisa mengenali.

Tempat ini sungguh menciptakan aura yang sendu. Terlebih hanya saya dan Nanung yang terlihat. Deru angin di kejauhan kadang terdengar. Angin semilir itu membuat bendera warna-warni berisi doa untuk para arwah pendaki di puncak sana berkibar dengan kencang. Beberapa mengeluarkan bunyi hentakan. Seperti sebuah nyanyian doa. Mungkin akan tersampaikan. Menemani tidur mereka yang abadi. Saya sengaja tidak terlalu mendekat. Ada kemirisan tersendiri mengunjungi chorten

Ini sebenarnya adalah chorten yang kesekian yang kami lewati. Salah satu yang jauh lebih besar adalah tak jauh dari Namche. Sebuah memorial untuk Tenzing Norgay pendaki pertama Everest dengan Edmund Hilarry dan juga untuk para sherpa di Everest menggenapi 50th pendakian Everest. Stupa yang baru dibangun pada 2003 itu terlihat mewah dan megah dibandingkan dengan chorten disini. Dengan bantuan dana dari Rolex dan donatur Eropa, stupa dengan ukuran diameter hampir 4m ini menatap gagah pegunungan Himalaya. Berdiri di pojokan jalan menjadikannya tempat yang tak mungkin terlewatkan.

Beda sekali perasaan saya antara Chorten Tenzing dan Fischer. Ketika menapak chorten Tensing ada kesan ‘joy’ kemuliaan, kejayaan dan sebuah sukses yang manis. Stupa juga dicat warna putih yang begitu benderang di tengah udara yang cantik. Enam buah pilar dengan gagah berada di kanan dengan bendera doa dalam posisi vertical. Mahkota yang keemasan memantulkan cahaya matahari, memberikan sorot wibawa. Tapi di chorten Scott tak bakal ditemui kemewahan itu. Begitu sederhana dengan atmosphere yang sedih, memilukan bahkan gelap. Batu vulkanis hasil muntahan aktivitas Everest jutaan tahun yang lalu meninggalkan jejak hitam di tanah. Beberapa butir es saya temukan, namun menjelang siang meleleh karena ganasnya matahari.

Tahun 1996 mungkin akan diingat sebagai tahun yang hitam dalam sejarah Everest. Tahun 1953 juga akan diingat sebagai sebuah paradoks. Mengingatkan saya manisnya sebuah sukses dan pahitnya sebuah kegagalan. Tak banyak orang memperhatikan kegagalan dan mengambil hikmah darinya. Terlalu banyak orang memuja-muja kesuksesan dan lupa. Bahwa terkadang kesuksesan juga menghasilkan kepahitan dikemudian hari.


Memperingati keberhasilan Everest 55th yang lalu tepat 29 Mei 1953


Catatan :
[1] Nung, coba delokan kae, bahasa jawa : coba lihat sebelah sana
[2] Iku lho diwaca sing ning ngisor, bahasa jawa ; itu lho dibaca dibagian bawah
[3] Lha kae sing neng Everest mbak?, bahasa jawa : lha itu yang di Everest mbak?

Labels: , ,

Tuesday, May 27, 2008

Buy Me A Cup Coffee


Saya hanya ingin secangkir kopi arabica yang kental, earthy alias masih mambu gosong dan semangit. Ingatan masa kecil saya adalah membantu simbah Ti' ah menggoreng biji kopi di dapur belakang rumah dengan bahan bakar kayu. Sewajan besar biji kopi dari kebun sendiri dicampur dengan pasir sebagai elemen konduksi panas agar biji tergoreng merata. Biji yang telah dikeringkan seminggu lebih di bawah sinar matahari kini ada di penggorengan besar wajan berat yang tak kuat saya angkat. Tugas saya adalah mengaduk aduk dengan enthong kayu. Butuh berjam-jam merubah biji hijau menjadi kehitaman. Lengah sedikit biji akan terbakar dan mengeluarkan percikkan api kuning kemerahan.

Hasilnya kopi yang bau gosong dan setengah bau tanah. Selanjutnya kerja masih menunggu. Menumbuk biji kopi yang matang di alu dari kayu. Disendok dan disaring.

Setelah itu disimpan di lodhong plastik bekas waffer Nissin. Cukup untuk persediaan beberapa bulan. Perjalanan panjang untuk segelas kopi buatan sendiri. Hmmm.... bila ingat proses ini saya masih bisa membaui fine coffee.


Cara membelikan kopi buat obat kangen, klik disini
Gambar diambil dari kopi arabica kental di warung pinggir jalan di Saigon.

Sunday, May 25, 2008

Timeline Cartensz Pyramid Indonesia (4,884m)



1623 Navigator dari Belanda J Cartensz adalah orang pertama yang membawa kabar ke daratan Eropa tentang adanya puncak es di negara tropis di garis geografis equator Barat Papua Nugini. Hasil laporannya ditanggapi dengan gelak tawa oleh publik.

1913 Seorang naturalist (ahli dibidang botani dan zoology) asal Inggris A F R Wollaston berhasil mencapai hidung glasier di sisi Selatan Carstensz setelah melalui perjalanan melelahkan melewati hutan di pesisir selatan Papua. Ia membutuhkan 92 hari untuk mencapai 50km terakhir.

1936 Tim dari Belanda dipimpin Dr A h Colijn dengan bantuan pengamatan udara dan logistik berhasil mencapai gunung tetangga Ngga Pulu (4,860m). Ia gagal menaklukan Cartensz Pyramid dengan melalui sisi Timur dan dinding Utara namun menghasilkan peta yang amat berguna. Peta itu dipublikasikan bersamaan dengan foto aerial dalam berbagai sisi. Seorang ahli geologi yang ada di tim ini J V Dozy adalah orang pertama yang menemukan deposit tembaga di ‘gunung tembaga’ Grasberg

1961 P Temple memimpin tim beranggotakan 6 orang dari New Zealand menuju Carstensz Massif lewat Wamena dengan pesawat udara. Namun pengaturan logistik lewat droping melalui pesawat tidak pernah dikirimkan sehingga mereka tidak mampu mencapai puncak.

1962 Carstensz Pyramid pertama kali didaki oleh sebuah tim dari Austria H Herrer (bukunya Seven Years in Tibet) dengan guide P Temple. Dua anggota tim lainnya adalah seorang pegawai distrik dari Belanda A Huzenga dan R Kippax dari Australia. Suplai logistik dilakukan dengan pesawat udara. Mereka mendekati area Carstensz dari Illaga menuju Utara –sebuah jalur yang telah dibuka oleh kaum misionaris dengan pesawat ringan sejak PDII. Cara ini kemudian menjadi salah satu standar jalur dari Sisi Utara.

1971 R Messner dari Italia membuat percobaan menuju puncak untuk kedua kalinya dengan seorang klien dari Italia S Bigarella. Mereka mendaki bagian tajam sisi Timur gunung dan kembali ke Illaga dalam kondisi tanpa makanan selama lima hari.

1972 Sebuah ekspedisi dari Inggris D Isherwood, L Murray dan J Baines mendaki sisi utara Cartensz Pyramid dengan memakai jalur langsung menuju puncak Timur. Ini adalah rute pertama yang menggunakan jalur langsung melalui dindingnya. Isherwood melakukan climbing solo untuk pertama kali di Sisi Utara dari gunung tetangga Sunday Peak dari danau Larson.

1973 Cartensz didaki secara solo dengan rute baru untuk pertama kalinya oleh seorang anak muda dari Amerika B Carson. Tim-nya mendaki gunung ini 3kali dengan salah satunya adalah dengan orang Indonesia pertama E Wurjantoro

1978 P Boardman dan Hilarry Collins dari Inggris adalah orang pertama yang mendaki sisi Selatan Carstensz. Mereka turun melalui sisi utara (rute 1962) menjadikan prestasi melintasi gunung. Mereka juga adalah orang pertama yang mencoba sisi utara-barat. Hilary juga tercatat sebagai wanita pertama yang mendaki Carstenz.

Data : Buku World Mountaineering (The World's Great Mountains By the World's Great Mountaineers 2005)
Photo : halaman Wiki oleh Alfindra Primaldhi

Labels: ,

Friday, May 23, 2008

Stonehenge : the mystery continues

stonehenge

I visited Stonehenge one of World Heritage site on summer two years ago. It was mixed between disappointed and blessed. I am glad that finally I stood in the most mysterious ancient site in Europe but also discouraged by the way of managing visitor.

You've probably imagine standing in serene landscape, try to catch the enigma surrounding the stones. But the fact that Stonehenge lied between busy A303 and A344 roads obviously ruins the atmosphere. Not including scattered visitor cars and coaches that been direct to parking area like ditch with small registration office. You will not be able to touch the stone since there is special path created by circulating the henge with sort of barrier. The only guide is an electronics devices with earphone tells you specific point, background and stories behind it. Mr C who accompanied me said when he was visiting Stonehenge many decades ago, he even climbing on top of the henge!

Rest of the day, me and Mr C argued about what we should do for Stonehenge. As designer I will propose greater site to rescue the landscape. Visitor Center including parking and public services should be separated minimum 1 mile from the site. I defended my argument that visitor coming to Stonehenge expect the grand view, then we will give it to them. Means that visitor has to prepare to take a longer walk to the location. Mr C keep telling me that most of tourist were lazy (hmm... by looking coaches with so many Asian tourist?). They are not willing to walk in such distance. I will say, why not? let's create better site then.

It turned out that my idea similar with The Future of Stonehenge Project by English Heritage. They even have radical changes by building tunnel at road A303 and then removing A344. I thought that is brilliant idea. But yes it will cost a massive £67.5m!

Apart from that I am waiting for next program about Stonehenge Decoded by Nat Geo on 1st June 2008. I heard about extensive excavation in Stonehenge site by team of leading archaeologist in Britain. Even now still mystery why people built this site. Do not mention about UFO but I like Nigel Tufnel theories though...

Now, I am thinking to see Indiana Jones in action.

Labels: ,

Wednesday, May 21, 2008

Left for Dead : Miracle on Everest (Nat Geo)


Tahun 2006 di Everest ternyata meninggalkan banyak kisah drama manusia. Mungkin masih ingat kisah David Sharp yang sekarat tanpa memperoleh pertolongan dari sesama pendaki. Kisah yang menciptakan kontroversi terbesar dalam sejarah gunung tertinggi hingga Sir Hillary (alm) pun mengkritik pedas.

Namun di tahun yang sama dengan hanya berjarak 10 hari dari kematian David Sharp, sebuah keajaiban muncul. Seorang pendaki veteran dari Australia Lincoln Hall ditemukan masih hidup walaupun ditinggalkan oleh sherpa tanpa oksigen, tanpa makanan, minuman, sleeping bag dan tenda di ketinggian 8,000m. Lincoln Hall terserang cerebral oedema (otak yang meradang karena pengaruh ketinggian), tidak mampu bergerak, melawan sherpa yang berusaha menolongnya. Ia menghabiskan 12 jam tergeletak dan dinyatakan meninggal oleh pemimpin ekspedisi Alexander Abramov.

Pagi harinya, Hall ditemukan oleh sebuah tim dipimpin Dan Mazur (US). Demi melihat kondisi Hall yang terkena hypothermia berat tapi sepenuhnya sadar Dan Mazur membatalkan upayanya menuju puncak dan memberikan pertolongan pertama hingga selamat dibawa ke Advanced Base Camp.

Dibandingkan dengan David Sharp yang meninggal dengan menyedihkan, kasus Hall ini mempunyai urgensi yang berbeda. David Sharp mulai mendaki tanpa memberitahu rekan tim, tidak ditemani sherpa, berupaya tanpa oksigen, dan tanpa alat komunikasi. Sedangkan Hall ditemani 3 orang sherpa, peralatan komunikasi dan oksigen yang cukup. Walau Lincoln terkena cerebral oedema namun malam ketika ia ditinggalkan, cuaca mendung menutupi puncak menyebabkan suhu tidak mencapai ektrem. Menghindarinya dari mati beku.

Kisah Hall ini mengingatkan saya pada Beck Weathers, anggota ekspedisi Everest 1996 seperti yang digambarkan dalam Into Thin Air-nya Jon Krakauer. Walau jarang sekali disingggung di buku itu, kisah hidup kembalinya Beck seperti keajaiban. Berjalan menuju kemah seperti zombie, dibiarkan mengerang kesakitan di tenda tanpa ada yang menolong (episode ini dengan pedih malah diceritakan orang lain, tidak dalam bukunya Left for Dead) Ia kehilangan kedua tangannya serta sebagian hidung dan muka karena frostbite.

Saya nonton kisah Lincoln Hall dalam premiere film Left for Dead : Miracle on Everest tadi malam. Menurut si pembuat filmnya Jennifer Peedom, film ini hanya untuk memberikan gambaran peristiwa dengan detail. Termasuk mengundang sherpa untuk andil dalam rekonstruksi di pegunungan Remarkables di New Zealand. Untuk yang di Asia Pasific, ditunggu saja kisah ini. Lumayan kok daripada nonton sinetron.


Catatan : gambar diambil dari Nat Geo.

Books :
Left for Dead: My Journey Home from Everest (2000) oleh Beck Weathers
Into Thin Air : A Personal Account of the Mt. Everest Disaster (1996)
Dead Lucky : Life after Death on Mt Everest (2007) oleh Lincoln Hall > belum baca

Film TV :
Nat Geo Left for Dead : Miracle on Everest (premiere 20 Mei 2008); kisah dramatisasi Lincoln Hall
Eye to Eye on Everest (trailer di youtube), rekaman orisinil tim Lincoln Hall dan Thomas Weber

Links :
'Dead' Everest man safe at camp at BBC
Thomas Weber and Lincoln Hall lost, Abramov confirms
Everest climber 'found alive' : Sydney Morning Herald

Labels: ,

Tuesday, May 20, 2008

Mencoba hidup hijau




Benarkah manusia adalah penyumbang malapetaka bumi ini? Apakah kita harus menuding para pengambil hutan di belahan Indonesia, merubahnya menjadi ladang sawit dan kedelai? Lantas sebagai manusia biasa apa yang musti dilakukan?

Saya tidak tahu. Saya bukan penganjur lingkungan atau anggota kelompok lingkungan. Saya hanyalah ingin sedikit mengurangi tingkat konsumsi sehari-hari demi menjaga bumi. Kok?

Salah satunya adalah hidup hijau. Oh maksudnya bukan tiap hari makan rumput. Konsepnya sederhana saja, yakni membuat kita lebih self sufficient (mandiri) dan awas terhadap berbagai bentuk keinginan duniawi yang terkadang mengorbankan hutan, mengotori sungai, membolongi ozon.

Beberapa hal ringan yang saya lakukan :

1. Mengurangi pemakaian energi listrik pada hal2 yang tidak perlu. Memakai lampu CFL ( (compact fluorecent) ternyata mengurangi panas 75% dari lampu normal. Syukurlah kami diwarisi rumah dengan 40-50% dengan lampu CFL. Rencana-nya sedikit demi sedikit ganti.

2. Mengurangi penggunaan AC (air conditioning). Menggunakan fan (kipas angin) dengan jendela terbuka lebih menyenangkan ketimbang ruang tertutup di ruang AC yang dingin. Jika tidak bisa meninggalkan AC, coba setel suhu sekitar diatas 20C. Efek AC disamping menggunakan energi juga penyumbang karbon dioksida.

3. Mengurangi pemakaian kantong plastik. Saya akui malas sekali membawa tas kertas (recycle bag), sering lupa. Sedikit demi sedikit saya akhirnya menggunakan tas yang sama berulang kali sampai ngga bisa dipakai lagi. Intinya sih, kurangi penggunaan berlebihan.

4. Memisahkan sampah dapur antara organic dan non organic. Juga dipilah dalam katagori yang sama, misalnya : koran, gelas dan plastik. Dibersihkan sebelum diangkut tukang sampah. Sedang yang organic dipilih yang mana yang bisa dibuat kompos. Ada beberapa yang tidak boleh dimasukkan dalam tumpukan kompos :
  • daging
  • ikan
  • lemak (minyak)
  • kayu besar
  • majalah dengan halaman mengkilat
  • boks dengan penutup plastik
  • pohon pinus dan sebangsanya (yang susah dicerai)
  • tumbuhan liar
  • kotoran anjing dan kucing

Ohya sewaktu dulu ada tempat kompos besar, saya disarankan pipis disitu. Ternyata air seni mempercepat proses pembentukan kompos.

5. Mengurangi nyetir dan kepemilikan mobil. Susah juga untuk yang ini terutama jika harus komuter kerja/sekolah saban harinya. Saya mulai senang pakai public transport jika hanya dekat dan sebentar. DI negara kecil seperti Singapura, kami hidup 1.5 tahun hanya mengandalkan bis dan taksi. Sedang hidup di US ini agak susah diterapkan. Kami sepakat untuk hanya menggunakan 1 mobil, sedang keperluan kantor cukup jalan kaki atau nyepeda. Sehat kan?

6. Mengurangi konsumsi yang tidak diperlukan, misalnya baju dan bahan kosmetika. Saya termasuk agak impulsive untuk ini, terutama jika ada diskon. Hingga beberapa minggu lalu ketika pindahan saya menghitung berapa banyak kotak yang berisi baju. Jika dikumpulkan ada sekitar 3 kotak yang tidak terpakai karena ngga muat, usang atau ngga suka. Kosmetika dengan menggunakan bahan dasar kedelai mulai diperkenalkan untuk menggantikan petroleum. Karena desakan kebutuhan kedelai dunia, hutan2 di Amazon dirubah menjadi ladang kedelai.

7. Berusaha memanfaatkan halaman dengan menanam sayuran. Saat ini saya hanya menanam tumbuhan untuk dimasak, seperti tomat, lombok, aneka daun salad, herbs (sweet basil, kemangi, rosemary, chives). Tidak susah sekaligus berusaha mengisi tanah kosong. Dan membiasakan lebih mandiri untuk urusan makanan.

8. Menjemur cucian di bawah sinar matahari daripada menggunakan dryer. Biasanya yang saya jemur diluar adalah bahan tebal seperti jeans atau handuk.. Disamping gratis juga lebih cepet keringnya.

Ada hal yang belum bisa saya kurangi yakni memakai pesawat terbang. Tahun lalu kami menghitung emisi karbon dihasilkan dari puluhan rute yang kami lakukan mengilingi globe. Kalau dijumlah hampir sekitar 200tons antara kami berdua (angka itu kira-kira setelah ditambah beberapa penerbangan terakhir dan penerbanggan bisnis).
Kalau dihitung kasar saya harus membayar 200t X £8.8 menjadi £1760 atau sekitar 26 juta !

Saya sempat merasa berdosa bahkan membayar untuk menutupi rasa itu. Beberapa perusahaan penerbangan mulai menawarkan pembayaran emisi sukarela untu disumbangkan ke beberapa organisasi lingkungan atau proyek di negara berkembang. Saya akhirnya memilih tidak lagi melakukannya. Perasaan diekploitasi rupanya menghinggapi saya. Saya terbang karena harus, tuntutan kebutuhan. Kami sudah mencoba mengurangi dan syukurlah tahun ini saatnya kami lebih hijau.

Sempat terpikir untuk menggunakan tenaga matahari untuk pemanas di rumah. Tapi ternyata cukup mahal membuat kami berpikir dua kali. Rupanya mencoba hijau itu merujuk pada “perilaku” sehari-hari daripada gembar-gembor. Saya hanya ingin hidup lebih berkualitas.





Labels:

Thursday, May 15, 2008

Booking Garuda Airways and Airasia Outside Indonesia


If you plan to go to Indonesia (Jakarta, Bali, Solo, Surabaya) or transfer domestically city to city, Garuda Airways (government's run) is the only airlines I can recommend. Beside bad track record, Garuda got better service and widespread counter across nationwide. It's easy to book while you were in Indonesia but not in the other part of the world.

The Garuda website only allow you to book so called e-ticket through this number 0804 1 807807 (Indo) or +62 21 2351 9999 (outside Indo) using credit card. You can do online transaction using Indonesia's banks (BCA and Mandiri), not within Garuda website. Again this made restrictions for people who not lives in Indonesia or having bank's account there. Indeed the e-tickets Garuda tends to give you above prices compare if you book direct in their offices.

When I used to live in Singapore, booking Garuda Aiways is a breeze using Zuji - a respectful online portal in Asia but rather expensive. Otherwise you contact Garuda representative near you. Sometimes the prices can be unbelievable sky rocketing due the season's demands. You will not get good bargain specially during Iedul Fitr and bank holidays.


Airasia is better known in Malaysia while it has links to Indonesia and several major cities. I have to admit that Airasia got better website which allow you to book online even though you were not in Indonesia. You can use any credit card , paid in local currency (including handling, sometimes airport tax separated) which make you easy to estimate how much in your host country currency. The price based on availability. There are few reports concerning delay of flight in Airasia Indonesia. That's the price you pay for low cost flight specially in Indonesia.

Airasia also based on localities. I can book in Singapore, Malaysia, or Indonesia's site with different currencies. I have been try Thailand's site but can not read Thai :) so yes their site is a global including payment system.

Only recently I discovered alternativeairlines.com -a site based in UK that allow you to book both virtually outside Garuda and Airasia. It does give you right amount but you will be charge addition fee £10 per ticket. For people who want less hassle, this site might be good for you. But for you in tight budget, I will recommend try above methods or connect with local Indonesian (count me..aha!) Once you inside the country you might be amazed how easy to book using travel agent or just pick the phone.

Oh did I mention Lion Air?

Labels: , ,

Tuesday, May 6, 2008

Terlontar ke Negeri Para Satria : UMag May 2008

umag1


One of my traveling in New Zealand in end of last year was visiting Lord of The Ring Movie sites. When I suggested to write about it to the editor Umag -lifestyle magazine from Tempo, they said OK. Bring it on!

I am also greatful for being accompanied by Tolkien fan. I found different experience enjoying the movie and the book. Try to bring all characters and places into one is nearly impossible. Reading the book also give me great perspective of the background of the story.

The article came with wonderful illustration from movie set which give you better imagination. Applying real site into scene created by Allan Lee -original Tolkien's book illustrator is another obscure viewing. My big thanks to Editor Q for reshaping the text and art team who made the photos, drawing looks fabs.

Oh, my picture at Mt Cook not part of it. Umag decided to use other pictures at here rather than the three sent by cyberduck. Talk about quality photo, please pass me a comment. As I can not enjoy the print edition to evaluate the fine details. What do you think about all?

You can look at this album.

Labels: , ,