Friday, November 27, 2015

Ontheroad Peru 1: Visiting The Paddington Bear Origin



Pic01. Taking A Bear to see the darkest Peru


We arrived Lima about ten minutes past midnight on Thursday 26 November 2015. While the rest of North Americans celebrated Thanksgiving, we decided to go away down to the South. It was different season and environment. We live in California where practically used to be part of Spanish settlement. We set off from San Jose (SJC) through Los Angeles (LAX) to another 8.5 hours fly to Lima. Peru is somewhere we thought between our comfort zone. Kangpaijo went to Peru 14years ago so we used some of his recommendation of places to go. This holiday only prepared in four weeks including booking all train journey and permit to enter Manchu Picchu. (The details of booking process will post after the Ontheroad series).
Pic02. Dreamliners of LAN from LAX to LIM
We stayed at Javi’s room on the first night, only three miles from Aeropurto. The reason was because we’d like to catch the next flight to Cusco in the same day with LAN. It works well as we only spent the day sleeping and walking around the neighborhood. We found local market and wandering looking what vegetables and fruits in this region.
Most of vegs and fruits were similar in Indonesia. It’s very understandable that both countries are lies in the equator. Lots of mangoes, apples, bananas, papayas and other exotic fruits. The weather was warm and pleasant enough considering this is beginning of summer season/rainy season in Peru.
Javier was very prompt and helpful with his advices to enjoy Peru. Suddenly I missed backpacking around with all the basic needs and the friendly host. He did pick up and drop us from/to airport.
Our adventure with four years daughter down to Peru with a story that we do like to visit the origin of Paddington Bear. Down to the deepest jungle Amazon. She quite enjoyed it and make this adventure even more exciting to do. (to be continued).

Labels: ,

Tuesday, November 10, 2015

Pengalaman Suka Duka Share-Cost Backpacking

Sebagian peninggalan traveling backpacking sekian tahun. Koleksi ©2015ambaradventure

Gara-gara beresin ruang studi saya menemukan travel relics. Isinya kopian itinerary, boarding pass, kartu pos yg ngg sempet dikirim, nota-nota beli ini itu, jajan dsb. Saya memang hobi menyimpan, mungkin karena waktu itu kudu buat laporan pengeluaran atau karena share cost maka dokumentasi finansial itu perlu banget.


Sejak dulu saya selalu memakai prinsip share cost karena memang ngg mau jadi EO (Event Organizer).  Mungkin definisi sharing cost disini adalah berbagi biaya aktifitas ataupun seluruh rangkaian backpacking.  Tanggung jawab di jalan dan persiapan dibuat bersama. Tidak ada jabatan ketua, tetapi lebih sebagai koordinator.


Pada prakteknya, Koordinator ini sering harus melakukan hal-hal seperti EO seperti booking agen lokal, transport dan akomodasi. Nah kalau ini sih kesepakatannya gimana termasuk nantinya di lapangan.


Pengalaman share cost pertama adalah mendaki gunung Kinabalu di Malaysia dengan teman sendiri. Karena ia datang dari Inggris, maka dia hanya tag along alias nebeng dengan kita berdua. Seperti biasa saya menjadi tukang bikin itinerary plus kontak dengan Taman Nasional. Waktu itu sekitar tahun 2006, ijin dan akomodasi di TN Kinabalu bisa diurus langsung tanpa lewat travel agen lokal. Jauh lebih murah setelah saya bandingkan dengan harga yg diberikan agen konvensional. Kalau ini saya bisa bilang sebagai full share cost.


Enaknya dengan share-cost dengan teman yang tahu sense of traveling kita adalah kita bisa membuat itinerary yang sama karena suka tempat yg dituju. Kalau dengan teman yg belum dikenal, rasanya harus belajar dia dulu atau mengetahui keinginannya.


Keputusan untuk share-cost dengan orang baru itu banyak alasan. Yang jelas memang ongkos jadi murah kalau deal dengan agen lokal terutama untuk aktivitas adventure. Seperti trek di Everest Base Camp itu harga makin turun per individu jika bisa mendapatkan jumlah diatas 4 orang. Selain masalah logistik, juga urusan guiding akan lebih mudah. Saya mengatur dan deal dengan agen di Kathmandu dan kita membuat meeting point di Singapura.


Share cost juga bisa hanya satu seksi dari traveling. Ketika mengunjungi China, saya cari partner yg bersedia jalan bareng dari Chengdu ke Lhasa dengan kereta kemudian nyebrang darat ke Nepal. Jalur travel saya kemudian pisah dengan partner karena meneruskan Travel Manchurian Railway (Trans Siberian Rail dari China ke Moscow). Begitu sampai Kathmandu, habislah masa berbagi itu.


Trek di Everest Base Camp melewati sungai menuju Namche Bazaar tahun 2010. Koleksi ©2015ambaradventure



Ngg enaknya share cost adalah sekali komitmen, maka seharusnya konsekuen bayar. Karena cost adalah duit, maka sekali janjian bayar bareng ya harus dipenuhi. Biar ngedumel harga mahal tapi klo memang dapat manfaatnya ya sudah toh. Ada kalanya orang memang punya alasan untuk ngg nyawer, tapi sebaiknya jika sudah sepakat tepati dengan ksatria. Bukannya saling menyalahkan dan lempar dosa. Ini yang susah diprediksi jika jalan dengan orang baru. Lhah klo ketemu yg super pelit, nagihnya setengah mati.


Duka yang lain adalah jika ketemu tipe share-cost tapi serasa bayar paket. Semua harus dipenuhi sesuai keinginannya. Dalihnya adalah udah bayar mahal tapi ngg dapat spot cantik buat photo narsis. Marah-marah dan minta uang kembali. Well, makanya kalau ngg mau repot yah tinggal bayar aja sama travel trip. Beres kan?


Ngg salah jika Koordinator share cost ini bisa merubah diri menjadi EO dan membuat trip sendiri. Cuman buat backpacker klas tua seperti saya, tetep paling enjoy adalah mengurusi sendiri. Kebebasan menentukan pilihan dan keingintahuan adalah pendorongnya. Jadi siapkah untuk share cost atau cuma nebeng aja?

Labels: , ,

Monday, November 2, 2015

Bodie Ghost Adventures: Memberanikan Diri ke Kota Hantu (Bagian 2)


Bodie: Wild Wild West dan Diantara Derit Gedung Tua






Pertama kali saya membayangkan kota hantu Bodie sebagai kota yang banyak arwah atau semacam Friday the 13th itu. Tapi rupanyanya saya salah. Entahlah memang berhantu atau tidak, kota Bodie adalah kota mati. Mungkin tepatnya begitu.

Perjalanan ke kota Bodie sebenarnya hanya kebetulan. Beberapa tahun lalu (2010) kami mendaki Half Dome di Yosemite National Park di California. Lantas disambung ke Inyo National Forest. [1] Saya ngebet ke Bodie karena sebenarnya ngga jauh-jauh amat dari lokasi kemping. Yah semacam hiburan sedikit disela acara hiking yang melelahkan.

Untuk menuju Bodie lumayan berliku. Akses dengan kendaraan umum nyaris tidak ada. Apalagi tempatnya berbatasan dengan negara bagian Nevada. Agak-agak terpencil dan seperti berada entah berantah. Saya mencapai kota ini lewat Mono City atau di perbatasan Yosemite. Itupun lewat jalanan tak beraspal sebagian. Debu mengiringi kendaraan saya ketika melewati jalanan sepi.





Bodie sebenarnya adalah kota bekas tambang emas di tahun 1800an. Kalau anda membayangkan film koboi lengkap dengan bar dan saloon seperti itulah Bodie. Semula hanya dihuni 20 penambang kemudian berkembang menjadi 10 ribu penduduk di tahun 1880. Kota Bodie penuh dengan keluarga penambang, perampok, pemilik toko, preman, pekerja seksual, dan orang-orang yang berdatangan untuk mencari keberuntungan, termasuk imigran dari China.

Sebagai kota Wild Wild West, Bodie memiliki dua bank, pemadam kebakaran, satu grup band musik, beberapa surat kabar hingga sebuah penjara. Bahkan di masa jayanya, Bodie punya 65 saloon 
yang berjajar di Main St sepanjang 1mil. Dan yang pasti jalan ini dulunya penuh dengan pembunuhan, teriakan garang para pekerja tambang, atau perkelahian karena sengketa.

Setelah mencapai puncak di tahun 1880an itu, kota Bodie berangsur-angsur menyurut. Ini karena adanya kota-kota tambang emas yang lebih mudah diakses di negara bagian yang lain seperti Montana, Arizona atau Utah. Akibatnya para penambang mulai meninggalkan Bodie dan mencari keberuntungan di kota lain. Hingga di tahun 1913 secara resmi penambangan ditutup. Empat tahun kemudian jalur kereta api ditinggalkan dan rel-nya diambili. Di tahun itu populasi kota Bodie tercatat 'hanya' 120 orang. Hingga orang terakhir yang menghuni adalah di tahun 1940an.

Yang menarik disini adalah melihat bagaimana sebuah kota ditinggalkan penghuninya. Ada rumah yang tinggal kerangka dengan jendela kaca yang pecah. Dari sini kita bisa mengintip didalamnya yang nampak situasi seperti ditinggalkan. Atau penambangan yang dibiarkan terbengkalai begitu saja. Mobil dan kendaraan yang dibiarkan karatan menjadi saksi bisu peradaban manusia yang hilang.

Memotret kota mati meninggalkan kesan tersendiri. Ada kesedihan dan kengerian yang tiba-tiba muncul. Bisa dipastikan tempat ini dulu penuh manusia, tapi kemudian lenyap begitu saja 'hanya' beberapa dekade. Menyaksikan bangunan hancur seperti melihat ruh yang juga memudar. Menakutkan. Kota mati seperti ini membuat kuduk berdiri. Andai saya bisa kembali memutar waktu.


Nambah info:
[1] Rute saya waktu itu Yosemite-Inyo-Mono Lake dalam waktu 5hari4malam termasuk dayhiking di Half Dome. Kemping di Inyo dua malam go show (first come first serves basis). Bayar di tempat. Info lebih lanjut disini


Akses dan transportasi:
Lokasi Bodie ada di 
sebelah utara pegunungan Sierra Nevada, sekitar 21 km arah Timur Highway 395 di Central California. Ambil Hwy 395 ke Hwy 270 dan jalanan tak beraspal sepanjang 4.8km. Buka antara pukul 8 hingga 6 tergantung musim. Disarankan musim panas untuk berkunjung. Bayar US$7. Peta disini

Labels: ,

Tyneham Ghost Adventures: Memberanikan Diri ke Kota Hantu (Bagian 1)



Ini bukan mencari suster ngesot, gendruwo, big foot atau yetti. Tapi Ghost Adventure yang dimaksud adalah mengunjungi Ghost Town atau kota hantu. Ini juga bukan berarti kotanya berhantu atau banyak arwah gentayangan. Tapi adalah tempat yang ditinggalkan seluruh penghuninya karena kondisi sesuatu. Bangunan masih ada, rumah masih ada tapi suasana benar-benar sepi. Mencekam malahan. Itulah kenapa disebut kota hantu.

Ada dua kota hantu yang pernah saya kunjungi. Yang pertama adalah desa Tyneham (baca: tai nem) di Dorset, Inggris (2006) dan satunya adalah kota Bodie (baca: bodi) di perbatasan Negara bagian California dan Nevada di Amerika Serikat (2010).

Salah satu yang membuat saya ingin mengunjungi kota hantu adalah reputasinya yang menyebut lokasi ini begitu photogenic. Yang tadinya agak malas, jadi bersemangat. Kapan lagi melihat bagaimana kekuatan alam secara perlahan menghancurkan bangunan buatan manusia. Sedikit demi sedikit, hingga mungkin menghilang dari muka bumi.


Tyneham: Dipaksa Menjadi Desa Yang Ditinggalkan


Kalau ke Inggris Selatan di county Dorset, sempatlah mampir di Tyneham. Masih satu areal dengan Corfe Castle dan Durdle Door dengan sedikit jalan kaki ke lokasi. Tersebutlah sebuah desa yang hilang karena tidak ada penduduknya sama sekali.

Desa Tyneham sebenarnya hanya kecil saja. Terletak diantara bukit di Purbeck terdiri dari beberapa pondok, sebuah sekolah, satu gereja, satu peternakan dan satu rumah besar country. Tak jauh dari desa, terbentang teluk Worbarrow dengan view menawan.

Di bulan November 1943, sebagai persiapan Perang Dunia II pemerintah Inggris diwakili kabinet Winston Churchill memerintahkan penduduk di wilayah Tyneham untuk meninggalkan rumah dan desa mereka. [1] Tercatat 225 orang dari 102 rumah terpaksa angkat kaki. Deadline yang diberikan adalah 6 hari sebelum hari Natal. Ganti rugi tanah dan properti dihitung minimum. Bahkan ada yang hanya dihargai sebanyak hasil bumi dari pekarangan.

Dengan terpaksa, penduduk Tyneham meninggalkan tanah dan bangunan mereka dengan janji dari pemerintah bahwa setelah perang semua harta akan dikembalikan. Toh ternyata janji hanyalah janji. Karena letaknya yang strategis, Tyneham menjadi ajang latihan militer bagi tentara. Desa ini kemudian diambil alih pengelolaannya oleh MoD Ministry of Defence atau Menteri Pertahanan Inggris hingga sekarang.

Apakah penduduk merasa dikelabui? Tentu saja. Antara tahun 1960 hingga 1980 muncul gerakan untuk meminta desa ini kembali. Tapi rupanya pemerintah yang menang. Hanya yang tadinya desa ini tertutup sama sekali dari pengunjung akhirnya diperbolehkan. Akses diberikan selama akhir pekan pada bulan tertentu saja. Ini karena desa Tyneham masih digunakan oleh militer untuk latihan perang.

Begitu sampai di gerbang, sudah diberikan peringatan agar menuruti rute yang dianjurkan. Apalagi kalau bukan bahaya peluru nyasar. Wadooh!

Saya tiba di bagian utama desa yakni di kantor pos dan Gereja St. Mary. Terasa sekali kesunyian disini. Walau saya berbarengan dengan beberapa orang tapi bekas-bekas peninggalan manusia disana-sini. Pondok-pondok yang sudah runtuh atapnya. Jendela dan pintu yang dibiarkan melompomg, perapian yang mulai runtuh hingga berserakan di sekitarnya.

Saya mencoba menengok salah satu rumah, disebut The Gardener's House. Disini rumah terbuat dari batu dengan atap kayu. Dinding masih terlihat kokoh, namung rupanya struktur kayu termakan umur. Akibatnya rumah hanya nampak seperti 'kerangka' Di tiap rumah diberikan keterangan siapa yang tinggal disitu sebelumnya berikut riwayat keluarga. Hanya gereja yang masih dipertahankan dan direnovasi untuk dijadikan museum.

Tak jauh dari Gereja St. Mary adalah sekolah untuk anak-anak. Disini selain mengintip kehidupan desa tahun 1940an di Inggris, juga sekaligus melihat bagaimana Sekolah Dasar disana. Buku yang berdebu, buku teks yang dibiarkan terbuka, hingga papan tulis berisi pelajaran hari itu. Agak merinding juga melihat photo-photo koleksi di museum gereja. Bukan saja terlihat jelas para penghuni rumah, juga anak-anak yang sempat menikmati tinggal di desa Tyneham. Layaknya saya merasa mengunjungi kuburan saja. Sepi, sunyi tanpa ada kehidupan manusia.


Akses dan transportasi:
Hanya bisa dengan kendaraan pribadi atau ngeteng setelah Lulworth. Mobil menuju Wareham dengan jalan A352, kemudian arah East Lulworth dengan B3070. Gratis masuk, hanya dianjurkan donasi £2.



Labels: ,