Friday, January 28, 2005

Catatan Perjalanan : Ireland Spring 6th - 11th May 2003


Photos bisa dilihat disini called IrelandSpring2003
www.photobox.co.uk/ambar_briastuti@yahoo.co.uk

Dibilang inilah liburan seminggu yang paling solid. Dalam 6 hari melakukan 3 hari pendakian dengan satu diantaranya gunung tertinggi di Ireland, Carrauntoohil. Kami berhasil menaklukan 10 puncak dengan rata2 ketinggian 1000m. Pendakian dilakukan di awal musim semi dengan masih ada sisa salju di beberapa puncak gunung. Cuaca cukup bervariasi dari cerah hingga hujan salju ataupun hujan es (gales).

Day 1 Monday

Cork adalah tujuan utama. Letaknya sebelah tengah selatan Ireland Saya memakai flybe.com yang jadual frekuensi terbangnya lumayan dan murah!!! (catatan: sebelum pergi anda perlu visa ireland tapi bukan schengen visa ). Saya terbang dari Birmingham hari Senin bank holiday sekitar pukul 12.30 dan sampai disana 13.30 setelah hampir 2,5 jam perjalanan ngebut dari Peak District. Setelah urusan imigrasi beres (ternyata tidak seketat di Dublin) segera menyewa mobil untuk menuju County Kerry yang ditempuh sekitar 3 jam.

Berbeda dengan England, Ireland lebih traditional dengan kultur yang sangat kuat. Highway tidak seramai dan se-chaos England. Bahkan dengan sistem toll berbiaya rendah memungkinkan perjalanan makin cepat Sekitar pukul 16.30 sampai ke holiday house yang disewa bersama-sama dengan 6 kawan lainnya –Jeremy and Sue, Jon and Debbie, Martin, me and Mark. Saya belum pernah bertemu mereka kecuali Martin dan Mark tentu saja. Biaya sewa holiday house lebih murah untuk satu minggu cuma bayar £70 per orang. Lokasinya sangat bagus dengan Gunung Carontahill (tertinggi se Ireland) di kejauhan. Tampak salju masih menutupi puncaknya dengan awan tebal berakibat hujan deras di sekelilingnya.

Day 2 Tuesday

Diputuskan untuk naik gunung hari ini. Saya, Mark, Jeremy Jon dan Martin. Debbie tidak bisa ikut karena injury pada pinggang. Disadari kemudian bahwa jaket anti hujan saya (made in Indonesia) dipandang tidak bakal mampu menandingi cuaca hari ini. Setelah breakfast saya bergegas mencari toko outdoor disekitar. Jangan bandingkan dengan Peak District yang toko oudoor tersebar dimana-mana saya harus menajamkan pandangan mencari toko terdekat. Secara kebetulan saya menemukan toko sepeda plus outdoor equipment (what a lucky day!!!).

Kami set off dari rumah sekitar pukul 10.30. Menuju lokasi sekitar 11.30an. Sue (with baby) and Debbie menemani kami hingga tahap sebelum pendakian. Setelah itu kami segera mendaki dengan speed yang lumayan. Rute pertama adalah sekitar 150m vertikal dengan kondisi zig-zag- lumayan buat pemanasan. Setelah itu sampai di lembah berlumpur yang lurus menuju puncak. Kami harus berjalan lebih dari 2 miles dengan berdansa (maksudnya menghindari lubang). Terpikir untuk memakai gaiter (pelapis boots) yang seharga £12 karena selepas dari lumpur, celana dan boots kotornya minta ampun.

Kami break untuk lunch sebelum meneruskan perjalanan. Kami kemudian meneruskan perjalanan melewati batuan dengan sedikit merayap. Suhu juga makin turun memaksa kami mulai memakai jaket. Sempat kehilangan jejak terutama karena kabut tebal dan hujan serta angin dingin yang membuat tangan saya nyaris beku padahal sudah berkaos tangan. Pipi saya mengeras dengan muka makin pucat. Kami confidence meneruskan foot path yang makin tidak jelas arahnya. Nampak jurang membelah di samping kiri dan kanan memaksa mata untuk selalu waspada.

Di ketinggian 900 an kami kehilangan arah, dan lebih parahnya kehilangan Martin. Rupanya ia memilih jalan ke bawah daripada memanjat bebatuan yang membutuhkan stamina lebih. Kami berhenti dan Jeremy sebagai leader mengecek peta dan GPS-nya. Jon sukarela mencari Martin dengan menelusuri jejak awalnya. Jeremy kemudian menyusul. Sedang saya duduk manis sambil bersembunyi di bebatuan menghindari angin. Cuaca makin buruk dan kabut makin tebal. Hujan juga membuat kami harus bertahan.

Tak lama kami lihat shiloute Jon yang menemukan jejak Martin tak jauh dari awal junction. Kami meneruskan langkah dengan pertimbangan Jer pasti bertemu Martin. Dugaan itu benar dan saya bisa bernafas lega melihat Martin sehat hanya nampak sedikit letih.
Dengan sisa tenaga kami kemudian meneruskan langkah ke puncak. Gumpalan2 es di sepanjang jalan menunjukkan kami sudah cukup dekat dengan puncak. Sekitar pukul 3pm kami sampai titik tertinggi ditandai dengan windbreak. Kami menghabiskan waktu kurang dari ½ jam di puncak karena cuaca yang tidak memungkinkan. Sempat tergoda ke Carrauntoohil karena sebenarnya puncaknya tidak terlalu jauh. Tapi Jer dan Jon sudah melakukannya tahun lalu. Dan dengan alasan cuaca aku menelan keinginan ini.

Bergegas kami mencari rute desent yang di peta cukup jelas. Rute turun cukup dramatis karena lumayan vertikal dengan salju dan kerikil yang lumayan menghadang. Setelah decent kurang lebih 2,5 jam kami bertemu danau di ketinggian berkisar 600an kemudian melanjutkan dengan jalan kampung yang lumayan lebar di tepian sungai.

Herannya disini cuaca bersih ditandai langit biru. Ketika aku berbalik arah ke gunung ternyata masih diselimuti kabut dan awan tebal di sekitar ketinggian 700an. Kami masih menemui beberapa orang yang naik dengan rute decent (mungkin karena lebih pendek yang pasti lumayan susah ).Total perjalanan sekitar 7,5 jam dengan melalui 4 puncak. Lumayan capek !!!!

Day 3 Wednesday

Tidak ada kegiatan menarik. Intinya hanya istirahat. Kami semua jalan-jalan ke pantai di saat angin sangat kencang. Endingnya lumayan asik karena makan pizza di Settle.

Day 4 Thursday

Yes naik gunung lagi !!!! Rencananya ke Brandon Tidak terlalu tinggi (tertinggi ke2) tapi menantang. Menurut buku panduan jalur ini termasuk “very hard” dengan total perjalanan 8,5 km . Kali ini Martin istirahat dan memutuskan untuk cukup sepedaan di sekitar cottage. Saya, Mark Jon dan Jer ditemani Debbie berangkat dari rumah sekitar 9am. Perkiraan bahwa gunung ini lebih jauh memaksa kami berangkat lebih awal. Setelah minta ijin dengan pemilik farmhouse kami segera naik. Tidak susah dan lebih sebagai awal decent yang mengasyikkan karena bunga di kanan kiri yang mulai tumbuh serta gemericik air di sungai.
Kami akhirnya sampai di sebuah danau dengan dinding bukit batu yang cukup menggiurkan. Debbie hanya mengantar Jon disini dan balik ke cottage sedang kami masih meneruskan “penderitaan” selanjutnya.

Awal acent sangat menarik dengan batuan yang memaksa sedikit climbing. Saya dan Mark terpisah dengan Jer dan Jon karena mereka menempuh rute ke arah bukit sedikit memutar ke kanan. Sedang kami memilih jalan lurus dengan batuan di depan. Anehnya batu tidak licin sehingga memudahkan kami menaikinya. Secara tiba-tiba langit menjadi gelap dan tak lama kemudian turun butiran es (disebut “gales”) memaksa aku bersembunyi di batuan sambil mengeluarkan jaket anti hujan. Ini hanya berlangsung sekitar 10 menit dan kemudian diiringi hujan rintik2. Lumayan dingin dengan temperature berkisar 12C dan angin yang dingin.
Saya dan Mark masih berjuang melewati rute ini ketika bertemu Jon. Ternyata Jeremy terlalu jauh kekanan dan Jon memisahkan diri. Toh akhirnya kami harus mengikuti arah Jer. Lumayan juga naik ke puncak dengan acent yang vertikal. Tidak bahaya hanya menanjak itu yang bikin pegel kaki.

Sampai di ketinggian 700an kami istirahat sambil mengambil gambar pantai di Dingle Peninsula. Kebetulan cuaca kembali cerah dan langit tampak sangat bersih. Kami kemudian meneruskan langkah dengan menyusuri tepian puncak /ridge hingga ke Brandon Mountain. Disini kami bertemu dengan kira 10an orang pendaki yang sebagian besar menempuh jalur peziarah. Jalur ini sebenarnya lebih mudah dan nampak seperti jalan raya bagi kami. Tidak menarik !!!

Suhu lumayan seperti ketika kita naik. Hanya angin yang bertiup sangat kencang dan dingin memaksa terus berjaket ria. Kami makan siang dan menikmati puncak dengan memandang alam sekitar. Kira 30 menit kemudian kami melanjutkan langkah ke Brandon Peak. Untuk menuju kesana kami harus melewati lagi sebuah puncak yang lumayan terjal memudahkan kami memanjat.

Saya dan Jon mengikuti foot path yang diyakini merupakan arah peziarah. Sedikit memutar tapi tingkat vertikal yang tidak terlalu terjal. Sedang Mark memilih langsung naik ke puncak dengan keterjalan yang lumayan. Di belakangnya Jeremy mencoba mengimbangi langkahnya.
Saya dan John sampai di tepian puncak Brandon sambil menunggu mereka dan melihat arah descent yang memungkinkan. Setelah tim lengkap dan istirahat 10 menit kami melanjutkan langkah untuk turun. Arah yang terlihat cukup menarik dengan memotong arah punggung gunung yang lumayan terbuka. Kami hanya memerlukan waktu kurang dari 1.5 jam untuk turun dan sampai di farm house yang ditinggalkan pemiliknya. Kami meneruskan langkah melalui jalan kampung kira 25 menit hingga sampai ke titik start. Total perjalanan hari itu sekitar 5,5 jam dengan melewati 3 puncak.Lebih cepat 1,5 jam dari rencana semula.

Day 5 Friday

Istirahat lagi !!! Hari diisi dengan acara individual. Jer dan Sue ke Dingle untuk melihat taman laut. John dan Debbie kembali ke pantai dan Martin bersama mereka. Sedang saya dan Mark walking ke arah air terjun dekat danau.

Kami berjalan lewat Taman National yang menawarkan garden yang indah dan memutar arah ke danau. Kami menghabiskan sekitar 3 jam di danau hingga ke air terjun. Didekat air terjun terdapat jalan setapak menuju puncak bukit. Mark bersikeras untuk naik ke puncak. Saya sempat menolak karena gelap oleh tumbuhan yang rimbun. Toh saya ngikut juga. Hingga sampailah di hutan yang entah berantah (karena jalan setapaknya tidak ada di peta-dan peta yang dibawa tidak terlalu detail).

Tak lama kami bertemu rusa liar merah yang termasuk langka di England. Kami terpaku melihatnya. Ini yang ketiga kalinya kami memergoki rusa ketika jalan2. Kami kemudian mencari arah turun yang saya yakini bagian dari hutan lindung ini. Bahkan menemukan rumah amat besar dan indah di tengah belantara hutan. Tak lama kami kembali menemukan jalan besar. Sebelum memutuskan kembali ke garden, tempat awal kami.

Day 6 Saturday

Hari terakhir bagi team dan kami harus meninggalkan holiday house sebelum pukul 11. Saya dan Mark merencanakan naik Carrauntoohill sedang lainnya Jon Debbie dan Martin balik ke England dengan kapal very. Jer dan Sue meneruskan liburan ke county lain.

Carrauntoohil Mountain di Macgillycuddy's Reeks Co.Kerry Ireland

Statistic :
Height: 1039m Maps: 78 Grid Reference: V 803844
Length : 7 miles - 11.5 km Ascent : 3500 ft - 1060 m
Duration : 5 hours Grade : Very Hard
Weather : greasy, cold wind, little bit shower
Temperature : 6-7C on the bottom, approx 2C on top

Carrauntoohil adalah puncak tertinggi di Ireland. Terletak di pegunungan Macgillycuddy's Reeks (Na Cruacha Dubha). yang 10 puncaknya diatas 1000m. Bisa dibayangkan keindahan yang bakal dirasakan jika anda bisa menaklukannya. Jalur ini boleh dibilang cukup berat (menurut tourist officer "extremly dangerous"), bekal pemahaman peta serta cuaca amat menentukan. Jalur ini bukan untuk pemula, karena terdapat beberapa bagian yang memerlukan scrambling dengan stamina yang kuat. Di buku panduan, untuk mendaki dan kembali diperlukan 5-6 jam.

Pagi itu udara cukup membantu. Setelah mempelajari peta dan mendapat masukan dari Jeremy dan Jon kami memulai pendakian north to south. Pertimbangannya karena ascent lebih terjal dan descent lebih panjang. Kami set off kira2 pukul 11 dengan arah danau. Kemudian langsung mendaki punggung gunung. Tidak ada arah yang definite saking banyaknya jejak. Standart track ke Carraun melalui Devils Ladder naik melalui dinding timur. Jika anda ingin menjajal tiga puncak dalam satu hari maka jalur barat adalah pilihan yang menarik. Jalur inilah yang saya pilih. Ini adalah pendakian ketiga setelah menaklukan tiga puncak Macgillycuddy's Reeks sebelumnya dan Brandon Mountain (kedua tertinggi di Ireland).

Cuaca cukup cerah ketika kami set off Lough Acoose sekitar 10am (Grid ref. 762857) menuju jalur memutar ke timur ke sebuah danau dan PLTA kecil.dengan dinding Carraun yang amat besar. Track langsung menanjak menuju tebing yang curam dengan jalur yang tidak eksistent memerlukan navigasi yang baik terutama dalam cuaca yang buruk. Beberapa memerlukan climbing namun tidak terlalu meletihkan. Sampailah di Caher Summit (1001m) menuju petak dinding gunung yang berliku-liku dengan jurang di kanan kiri. Punggung gunung kemudian makin melebar dan mengantar ke Carrauntoohil Summit (1041m).

Jalur turun menuju ke tepian tajam menuju Beenkeragh sekali lagi memerlukan navigasi, mencari jejak kembali sekitar 80 meter sebelum membelok ke selatan hingga menuju tebing yang mengecil dan makin tajam. Jalur turun ini gampang sekali terjatuh dengan jurang menganga di depan mata. Di cuaca yang buruk, kabut dan angin kencang sebaiknya dihindari. Akhirnya setelah melalui beberapa boulder scrambling menuju Beenkeragh.Summit (1010m). Punggung gunung makin melebar kembali sekitar 3/4 mile menuju puncak terakhir Skregmore (2790ft).

Jalur turun kembali dengan melewati beberapa boulder dan jalur kaki kembali ke Lough Accose dengan menerobos padang rumput yang basah dan berlumpur. Mempercepat waktu dan menghemat tenaga. Arah desent memakai punggung gunung yang terjal namun masih mudah dijalani. Kami turun sedikit santai sambil beberapa kali berhenti mengambil foto. Kemudian melanjutkan turun dengan kecepatan diatas rata-rata berpacu dengan Irish lads yang cerewetnya minta ampun. Setiba di ketinggian 400an Mark memutuskan ambil jalan pintas dengan memotong punggung bukit ke arah danau. Mamang lebih cepat dan aman !!!!
Sampailah kami de bawah dan turun kembali menuju kendaraan. Total waktu perjalanan sekitar 5 jam, katagori hiking “veryhard”

Salam petualang,
ambar




















Labels:

Pendakian Moel Siabod Winter 2005



Statistic:
Name : Moel Siabod (in Welsh)
Meaning : Barren Hill (in English)
Height : 2861 ft / 872 m
Starting Point : About a mile south-east of the village of Capel Curig
Distance : 6 miles /10km
Ascent : 2369 ft / 722 m
Grade : Hard
Day Date : Sunday 23 January 2005
Time :11.00-15.30 (4.5 hours)
Weather : Extremely very nice, clear sky
Temperature : 1C at bottom, approx -2C on top, win chill approx -5C


Photos bisa dilihat disini :
http://www.photobox.co.uk/ambar_briastuti@yahoo.co.uk

Ini perjalanan winter saya yang pertama di Snowdonia National Park. Saya beberapa kali naik gunung disini biasanya sekitar Spring atau Summer yang tentu nuasanya beda banget . Kami tinggal di desa Bewys-y-Coed (bacanya kira2 Bewis ai cood) yang merupakan desa tujuan utama turis di Snowdonia. Di desa ini bertebaran losmen dan hotel juga toko2 outdoor yang banyak menawarkan diskon. Oya disini penduduk menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Inggris.dan bahasa Welsh (yang aslinya dari bahasa Celtic- bahasa kuno Anglo Saxon).


Moel Siabod sendiri sebenarnya ngga terlalu tinggi dan bisa disebut bukit. Tapi di musim dingin tantangannya menjadi lumayan berat terutama jika mengambil arah punggung bukitnya yang dilakukan dengan merayap (scrambling). Belum lagi udara dingin dan angin kencang so lengkaplah tantangan untuk menjajal stamina.

Kami set off dari parkiran desa Capel Curig dan berjalan kaki menyeberang jembatan. Kebetulan sungai2 disini juga terkenal untuk kanoe. Jadilah nonton kanoer dulu sembari ngimpiin kapan nyobain yah....(dipaksa belajar berenang dulu..ampun masih keinget nyaris tenggelam pas caving ).

Jalan kemudian menanjak sekitar beberapa ratus meter melewati tanah pertanian dan kandang yang nyaris ambruk. Belok kiri melewati gate pertama lantas jalan lagi hingga gate kedua. Tujuan pembuatan gate ini adalah membatasi pergerakan kambing piaraan yang berbatasan langsung dengan track. Lantas dari sini track nampak jelas. Ada beberapa jalur yang bisa dipakai tapi karena posisi Moel Siabod yang terbuka so terserah kepada kita mo ambil dari mana.

Partner saya Mark menawarkan jalur yang mudah. Dua tahun lalu dia mendaki malam hari dan merayakan tahun baruan dipuncaknya. Hari itu cerah banget dan punggung gunung terlihat melambai-lambai ingin dicobain. So tawaran ditolak dan segera naik melalui ridge yang menantang banget...

Hari itu jalur Moel Siabod lumayan ramai, tapi terhitung hanya 6 orang lewat jalur kami, lainnya memilih lewat jalur samping yang kelihatan monoton. Tidak ada kesulitan berarti untuk katagori memanjat dan merayap. Cuma itu licin banget. Beberapa bagian adalah es yang disarankan ngga diinjak. Teknik dasarnya adalah mencari pijakan salju (bukan es) yang masih terlihat vegetasi (artinya saljunya ngga dalem2 amat). Terlihat butiran salju yang masih segar seperti butiran gula pasir.

Walau cuaca cerah bukan berati hangat. Sebaliknya dingin banget. Angin kencang yang menerpa dimulai dari dasar gunung sempat membuat badan pontang panting (speed kira kira 20m/h atau 35km/jam). Susahnya angin juga menerbangkan butiran salju dan bisa kena muka. Hidung dan pipi mulai terasa kaku. Beberapa point lumayan menarik. Soalnya kaki aku ini pendek banget, jadi terpaksa pake teknik meliuk untuk memanjat (he..he terkadang pake tongkat juga).

Kami juga berhenti di bagian tertentu untuk mengambil photo 360degre (masih dlm proses stitching dan editing ke Quicktime). Tak lama kemudian dengan sedikit "push" kami nyampe juga di puncak.Pemandangan sangat luar biasa. Terlihat Snowdon yang berdiri gagah di seberang. Tak jauh dari sana si Tryfan dengan bentuk puncaknya yang sangat eksotis.Juga danau Llyn Ogwen yang nampak biru. Kami ngga bisa berlama-lama karena angin masih saja membantai kami. So sepuluh menit minum plus makan coklat dan ambil photo langsung cabut. Lantas turun melewati jalur tenggara yang mudah banget.

Gara2 ngobrol kami jadi turun terlalu ke timur, akibatnya berakhir di sebuah hutan lindung dengan persimpangan jalan. Ngga jauh si cuma kudu ngecek peta lagi. Eh ketahuan si Mark ini belum pernah turun lewat jalur ini. Akhirnya kami menyusuri sungai menuju jembatan tempat awal kami pendakian. So total perjalanan 4.5 jam dengan kondisi santai (beberapa kali berhenti untuk photography sessions), dalam katagori ringan (standard kami).

Salam petualang,
ambar

Labels: ,

Monday, January 17, 2005

Shortstory : SURAT UNTUK IRA

Salam jumpa setelah sekian lama kita tak pernah bertukar sapa. Aku tidak tahu kenapa sulit sekali menghubungimu. Email dan telpon nampaknya kurang mujarab untuk menyembuhkan kangenku padamu. Setelah pertemuan terakhir kita di tempat kita dulu pertama bertemu, hari menjadi begitu panjang.

Aku menunggumu.
Kamu sedih nampak matamu memucat dan garis kecoklatan terlintas di samping kelopak membuat mukamu yang letih nampak makin pucat.


“Ada apa Ira?”
Kamu diam. Mengulum lidah, mebolak-balik tissue ditangan
Kusentuh tanganmu.
Kau menepis dengan anggun sembari mengusap bibir dengan tissue yang makin kumal

Aku mengeluh, memilih diam. Tapi…
“Bicaralah, aku bisa mati kalau melihatmu begini”
Matamu nyalang menatapku, mencari kebenaran. Dan kurasa getaran di bibir ingin berucap.
Tapi kamu tetap membisu.

“Kamu tidak apa-apa kan?”
Dan pecahlah tangismu. Tangisan tertahan dengan guncangan bahu yang hebat. Air mata yang nampak susah keluar, mungkin telah kering.
Tuhan… aku ingin memelukmu. Ingin mengusap rambutmu dan menyentuh pipimu yang makin merah.
“Aku akan pergi Bing”

Tampaan panas menerpa muka, menjalar ke telinga. Aku tak peduli lagi. Kuraih tanganmu dan kugenggam erat.
“Jangan”..
“Aku tidak bisa begini lagi”
“Kamu harus kuat”
“Aku bukan perempuan kuat Bing. Aku runtuh, hilang dan tak punya apa-apa. Aku terlalu bodoh untuk menyadarinya saat ini. Perempuan mungkin diciptakan untuk dimiliki, disayangi dan dilempar ke sudut ruangan jika tak dibutuhkan. Naïve memang tapi begitulah dunia. Aku belajar”

“Tapi itu bukan kamu
Aku yakin kamu bisa keluar dengan perjuanganmu sendiri.”
“Itu bukan perjuangan Bing. Itu sia-sia.”

Nampak sisa kekuatanmu hanya ditimpakan sesaat, lupa bahwa aku disini menawarkan kebodohan yang sama. Aku membenarkannya jauh di lubuk hatiku.

Sisa derai air mata mulai mengering menyisakan garis kemilau di pipimu. Kembali aku melihat Ira yang dulu. Rasional dan teguh, intanasi yang tertata. Yang membuatku makin terbuai.
“Penantianku layaknya derai daun jatuh beserakan, hilang di bawa lambaian angin. Sia-sia.
Semua orang menyaksikanku dengan takjub. Bintang ternama dengan deretan prestasi dan bayaran tak masuk akal. Hidup dalam keluarga bahagia. Suami kaya dan anak yang lucu. Apalagi yang kuinginkan ??? Tak ada yang tahu bahwa semua itu adalah bohong besar. Aku letih dengan ini semua Bing. Dengan kebohongan ini”
“Aku akan pergi Bing”
“Aku harus pergi…”

Aku diam, tanpa tahu untuk mencegahmu atau menyertaimu. Aku tahu kamu sungguh-sungguh saat ini. Sangat-sangat serius.
“Bolehkan aku bersamamu?” aku menggoda –bukan meminta
“Untuk apa?” datar dan dingin. “Toh kamu juga tidak akan merubah keadaan”.

Kamu benar aku memang tidak berguna.
Lima tahun persahabatan kita cukup untuk membuatku tahu bahwa akupun tak akan setegar dirimu. Lima tahun persahabatan kita cukup membuat aku memahami bahwa aku tak akan mampu menghalangimu.
Terlalu kuat untuk ditaklukan dan terlalu lemah untuk direngkuh. Saat ini……

Aku hanya ingin memelukmu. Sekali saja.
“Bing, aku ingin kamu berbuat sesuatu untukku”.

Kali ini kamu lebih hangat, menawarkan aura yang dulu membuatku terpesona. Matamu kembali bersinar. Bola hitam bermain riang, lupa disaat air mata mengalir melintasinya.
“Ya..apapun akan kulakukan. Untukmu Ira..”

Karena aku mencintaimu, sejak aku menemukan cinta di matamu.
“Bawa anakku pergi dari sini. Aku tidak mau ia menjadi bangsat seperti ayahnya. Dan aku tidak akan merelakan ia menjadi besar di lingkungan ayahnya. Aku tahu kamu akan menjadi ayah yang baik untuknya.
Aku tertegun. Tidak percaya apa yang kudengar. Aku ingin tuli saat ini.

Kamu tersadar.
“Oke, tunggu. Jangan bilang tidak dulu” .
Katamu sembari menutup mulutku yang siap mengajukan protes. Kamu mengulum lidah memulai ide gila ini. Tanganmu meremas dengan gelisah.

“Aku tahu betapa besar resiko ini, tapi ini satu-satunya jalan Bing. Suamiku tahu semua kawan dan keluargaku, kecuali kamu. Aku selalu mengatakan bahwa kita dalam hubungan profesional. Model dan photographer. Itu saja. Dia tidak tahu sejarah panjang persahabatan kita sejak awal karirku. Karena itu aku percaya padamu. Hidupku kupercayakan padamu”

Aku ingin bilang tidak. Tapi matamu memohon dan itu yang tak sanggup kutepis.
“Ira, kamu sadar dengan ini semua. Terlalu besar resiko yang akan dihadapi. Kamu mengorbankan dirimu. Kamu hanya..

“Tapi aku harus keluar saat ini Bing. Tekanan makin berat . Aku dan anakku harus dipisahkan. Dan aku rela mati untuk itu”
Aku ternganga. Aku memang mendengar rumor reputasi suamimu di kejahatan negeri ini tapi ini sudah terlalu jauh. Mati ?

“Maksudmu ??”
“Bing, tidakkah kamu heran selama ini kenapa aku tetap dalam rengkuhan suamiku. Itu bukan karena ia mencintaiku atau aku mencintainya. Tapi aku terlalu tahu bisnisnya. Membiarkanku jatuh ke tangan orang lain sama saja membunuh bisnisnya. Aku bisa mati kapan saja. Aku siap untuk itu, tapi tidak untuk anakku. Aku ingin melihatnya tumbuh seperti kamu. Sangat tradisional dengan etika yang teguh".

Aku diam terpaku menatap matamu untuk melihat kesungguhan itu. Ada kebahagian mengelus dadaku, pelan dan melegakan. Ternyata kamu mencintaku Ira…

Aku berpikir cepat. Menimbang semuanya dalam tempo sepersekian detik. Tapi rasanya otakku tidak secemerlang seperti biasanya. Hanya hatiku berkata aku harus melepaskanmu apapun yang terjadi,. Tanpa meminta persetujuan dengan nalar aku mantap..
“Oke aku akan melakukannya”. Kulihat helaan nafas lega dan senyum lebar. Kau bersiap memelukku

“Tapi…..aku menukas kembali. “untuk keamanan bersama, aku tidak akan mengatakan padamu dimana dan dengan siapa anakmu. Tentu aku tidak akan membawanya sendirian”
“Bing, terima kasih. Aku percaya padamu. Apapun kulakukan untuk anakku. Singkirkan dia jauh-jauh dari sini, dari aku dan ayahnya.

Aku tak percaya dengan keputusanku barusan. Paling gila yang pernah kulakukan. Membawa lari anak tokoh ternama di negeri ini ? Apa yang harus kulakuan. Aku terdiam, sadar dan otakku mulai berjalan menyusun rencana. Kamu tidak kuberitahu detailnya, karena itu permintaanmu.

Kita berpisah kemudian setelah melakukan shoot camuflase. Beberapa shoot standar yang kubuat di halaman belakang warung. Dengan baju yang kau bawa saat itu juga.
Kau terlihat sayu, tapi aku bersikeras membiarkannya. Make-up seadanya. Aku ingin kamu tampil senatural daun yang berguguran. Dengan lighting seminim mungkin.

Sangat susah membuatmu tersenyum, tapi aku menghiburmu dan menenangkanmu.


Aku akan melakukannya Ira. Apapun yang terjadi. Untukmu.

Semua kembali normal. Aku kembali ke meja produksi dan mengolah hasil photomu yang oleh Agus sang editor dibilang briliant. Tampil berbeda dengan ide luar biasa katanya. Aku tersenyum saja sembari mengucap terima kasih untukmu. Kamu memang cantik dalam keadaan bagaimanapun. Namun rencana tetap dijalankan.

Aku tak pernah mendengar kabarmu lagi. Aku rindu. Melihat matamu yang menari dan bercerita tentang budaya yang tak habis-habisnya. Yang pertama membuatku takjub karena kamu berbeda dengan artis kacangan yang susah payah ingin terkenal. Aku ingin mendengarmu kembali. Aku kehilanganmu.
Ira, bisakah kau menghubungiku ?

Salam hangat
Bing


----------------

Aku masih sibuk membongkar file data tentang pemotretan tahun lalu ketika Agus, editorku menghambur ke arah mejaku.
“Bing kapan kamu ketemu Ira Wijaya”
Aku mengerut dahi. “Kenapa?”
Agus bersikeras, “Kapan?”.
Mukanya lebih serius dari sebelumnya.
“Ehm…..Aku mengingat-ingat persisnya. “Kira-kira 4-5 minggu lalu pas pemotretan di Warung Kampoeng Doeloe”

Agus terlihat lega. Ia mulai menurunkan nada suara dan menengok kiri kanan. Agaknya semua awak redaksi dan foto tak terlihat batang hidungnya, kecapean setelah deadline semalam.
“Aku terima telfon dari editor Asiaweek yang melakukan investigasi kejahatan organisasi di Asia. Mereka mengaku mendapatkan sumber kuat dari orang dalam. Cuma mereka minta bantuan kita mewawancarai salahsatu tokoh yang mereka anggap punya link langsung. Dan surprise..surprise, mereka ingin bicara dengan Antonius Wijaya tokoh hebat kita. Mereka menemukan cover istrinya di majalah edisi agustus. Mereka ingin bicara denganmu.”

Aku terdiam mendengarkan dan “Tapi aku tidak pernah ketemu Ira Wijaya lagi selepas pemotretan itu”.
“Yah katakan saja kamu usahakan. Come on Bing kamu biasanya semangat empat lima kalau kutugaskan pemotretan dengan Ira”.
“Tapi ini lain kasus, Gus”

“Oke cari dia, bilang kita akan melakukan pemotretan tentang trend mobil mewah 2004 dengan dia sebagai modelnya. Aku tugaskan Widya denganmu untuk mewawancainya. Eksklusif. Enam halaman plus ruang tak terbatas untuk fotomu. Tawarkan padanya tentang Asiaweek itu untuk disampaikan ke suaminya. Ini segera dan mendesak”
Nada bossy-nya mulai terlihat. Aku tergiur, bukan karena space yang bakalan diberikan padaku tapi aku harus menemukan alasan untuk bertemu Ira. Ini lebih penting dan ini saat terbaik.

“Oke, beri aku dua hari melacaknya”. Agus mengangguk sambil menepuk bahuku, sambil berbisik “Ingat, jangan cerita dulu tentang Asiaweek itu. Aku ingin menugaskan kamu untuk investigasi lanjut nantinya bareng mereka.”
Aku cuma mengangguk, tersenyum tawar. Bergegas aku ke agen Ira untuk membuat janji pemotretan. Kata Diana-agennya, Ira tidak pernah terlihat lagi semenjak terakhir pemotretan denganku. Ira meminta istirahat total dari semua kegiatan hingga waktu tak ditentukan. Aku membujuk Diana dan menjanjikannya dengan tawaran yang tidak bisa ditolaknya. Dia berjanji untuk menghubungiku secepatnya.

Aku tidak punya nomor hpnya karena Ira melarangku. Katanya karena kita profesional dan harus terlihat profesional. Aku terima itu, tapi ini mulai menyulitkanku. Diana juga menyatakan keherannya dengan keberadaan Ira. Aku coba kontak siapapun yang berhubungan dengannya (kecuali suaminya tentu).
Nihil.

Kekhawatiran menghinggapiku. Aku tahu ini mungkin terjadi, tapi Tuhan jangan secepat ini…. Aku berdoa, bergumam lirih padaNya memohon bantuan. Pencarianku tanpa hasil kulaporkan Agus sore harinya. Agus tampak gemas.
“Bing, bener kamu sudah kontak semua?”, nadanya seperti tidak percaya dengan usaha kerasku.
Aku menggeleng sendu “Aku coba semuanya Gus. Nampaknya Ira seperti menghilang tanpa jejak. Satu-satunya kemungkinan adalah menanyakan langsung suaminya. Kupikir kamu lebih berhak melakukannya sebagai senior editor”.

Agus menyumpah lirih. Aku tahu cepat atau lambat ia harus berhadapan dengan target sesungguhnya. Antonius Wijaya.
“Oke aku kontak AW nanti malam, kukabari secepatnya jika dia memberi jawaban”.

--------------

“Bing, AW dan istri bersedia diwawancarai besok siang di rumahnya jam 1.
Widya denganmu. Siapkan semuanya”.

Pesan voicemail Agus terdengar jelas walau aku barusan bangun. Sialan gumamku. Dalam waktu kurang dari 3 jam aku harus menghadapi suami Ira. Aku langsung meluncur dengan ojek ke kantor menyiapkan strategi wawancara dengan Widya di ruang editor. Nampaknya Agus telah memberitahu Widya tentang rencana kolaborasi dengan Asiaweek. Terlihat segepok data tentang suami istri itu di meja Agus yang terbuka lebar-lebar lengkap dengan foto-fotoku. Rangkumam pertanyaan rupanya sudah dipersiapkan Agus dan Widya sejak tadi malam. Aku melihat nampaknya mereka kurang tidur semalaman.

“Bing, Asiaweek confirm mereka akan memakai kita sebagai cover-up. Nanti bakal ada journalist mereka membelakangi kita. Tadi malam aku dan Widya menghabiskan waktu dengan Singapore untuk mengambil view yang bagus untuk memulai.
Aku cuma meminta kamu untuk pemotretan selaiknya Ira sebagai model. Widya akan menanyakan bisnis automotif suaminya untuk mengorek. Aku ingin kalian play safely disini. Jangan offensive interview, sebut saja ini preliminary study untuk Asiaweek. Oke?”

Kami membisu. Aku tersadar betapa kuatnya posisi Antonius Wijaya di negeri ini. Ini membuatku makin ciut. Nyaliku ternyata tak sebesar yang kubayangkan. Wajah Ira melintas, itu membuatku setengah terperanjat.

Agus melihatku “Bing ada apa?”
“Ah enggak, cuma kayaknya tadi aku liat seseorang”.
“Siapa?”
“Temen”, ujarku singkat sebelum kekhawatiranku makin jauh.

-------------

Rumah itu sangat besar dengan pintu gerbang ala Mediteran yang terlihat tegar membentengi area berskala hampir 1ha (sesuai data property yang kita punya). Seorang satpam bertampang seram menghentikan kami. Aku melirik selintas, paling tidak tiga sampai empat orang penjaga berbaju sipil berkeliaran.

Widya menyampaikan maksudnya. Satpam menanyakan identitas kami plus kartu pers dan surat tugas. Sang satpam membandingkan foto kami dengan kartu ID yang terhampar di meja. Ia menghampiriku cepat dan memerintahkan semua peralatan photograper digelar di hadapannya.

Dua camera manual dan digital, satu manual dengan lens bukaan khusus, beberapa lens, bulb untuk lighting, thermolight, cadangan baterai dan film backup dan sebagainya terpaksa kujelaskan satu persatu. Satpam mahfum bergaya sok tahu, melepaskan kami sambil menjelaskan peraturan-peraturan seperti laiknya memasuki gedung pemerintah.

Widya terlihat gelisah, sama gelisahnya dengan aku. Beberapa kali penugasan dengannya belum pernah dia seperti ini.
“Kamu nggak apa-apa Wid?”, tanyaku basa-basi. Widya sekilas melirik dan tersenyum menghibur diri
“Aku keliatan nervous ya Bing? Ini mungkin wawancara terpenting selama karirku. Kamu sih sudah biasa dengan istrinya. Tapi kamu juga keliatan nggak sehat. Sakit?
“Nggak, kali’ masuk angin aja. Nanti juga beres setelah diobatin”.

Aku masih menyembunyikan kegalauan ini dalam-dalam. Satu orang nervous cukup membuat wawancara ini berantakan dan habislah kesempatanku bertemu Ira.
Satpam berjalan di muka kami sambil menunjukkan jalan pintas menuju taman belakang. Sebuah kolam renang terhampar sejuk, disela rimbunan pohon-pohon tropis dan gemericik air mengalir dari fountain kolam.

Betapa indah rumahmu Ira, sayang kau tidak menikmatinya.

Satpam memerintahkan kami menunggu kursi taman. Aku dan Widya menyiapkan semua piranti. Di sisi lain aku menyiapkan perasaanku untuk bertemu Ira.

Aku membawa kabar gembira untukmu Ira.

Antonius Wijaya berjalan gontai dengan anak buah di samping kiri kanannya. Ia mencoba tersenyum ramah, walau terlihat gagal. Aku bersikap profesional dan membiarkan Widya memperkenalkan diri. Sebelum mulai kami meminta beberapa hal yang bisa dilakukan untuk pemotretan. Hal yang disukainya dan tidak disukainya.

Berbeda denganmu Ira. Kamu bersedia pose dengan arahan gaya seadanya.

Basa-basi aku menanyakan istrinya. Katanya" Oh...biasa perempuan, pakai berdandan dulu. Nanti juga akan menyusul", sedikit memberi keyakinan. Aku terdiam dan berusaha berkonsentrasi dengan ruang dan cahaya. Widya mulai mengeluarkan catatannya dan mengajukan pertanyaan ringan. Nampak ia sudah bisa menguasai diri dengan baik berkat pengalamannya. Wijaya sedikit mulai bereaksi ketika Widya menanyakan suku cadang pabrik automotivenya. Dalam rangkuman kami, Wijaya memngoperasikan beberapa kegiatan kriminalnya lewat jasa eksport import.

Ira cepatlah keluar sebelum kami diusir....


to be continued



















Labels:

Saturday, January 15, 2005

Catatan Perjalanan Arsitektur : Eiffel I am in Love



Photos bisa dilihat disini called Paris2004 :
www.photobox.co.uk/ambar_briastuti@yahoo.co.uk

Meminjam novel karya Nia ini memang bercerita tentang Eiffel Tower dan Paris tentunya. Dari lubuk terdalam keinginan untuk merambah kota ini sudah tercipta tahunan lalu ketika aku jatuh cinta pada arsitektur. Ketambahan sehabis baca novel Da Vinci Code-nya Dan Brown dengan setting Scotland dan Paris rasanya benar-benar memacu keingintahuan. Tapi ternyata banyak banget rintangannya. Dimulai dari urusan visa yang menjengkelkan, duit yang belum nyukup, thesis yang ngga bisa ditinggal, plus lain-lainnya. Akhirnya kesempatan itu datang sekitar bulan Oktober 2004.

Jalur penerbangan Birmingham-Paris tercatat dikuasai British Airways dan Air France memaksa harga tiket jadi melambung. Harga standard jadi sekitar £140 return. Tadinya pengen nyobain Eurostar -naik kereta dibawah English Cannel. Tapi ternyata tiketnya sama mahalnya plus depart dari London Waterloo.Nambah duit lagi jadinya. So yah akhirnya beli online di
www.lastminute.com untuk flight doang. Sedang akomodasi booking lewat internet dengan klas lumayan (untuk standard backpacker).

Setiba di Charles de Gaulle (lewat pintu domestik) timbul rasa penasaran untuk eksplore lebih jauh. Dengan dua rucksack gede plus laptop bag akhirnya berkeliaran di bandara. Sasarannya tentu arsitektur terminal international yang paling baru itu. Inget ngga sekitar bulan May 2004 sebagian atapnya collapsed karena kegagalan struktur. Nah ini saatnya investigasi. Secara desain memang tantangannya luar biasa karena atap terbuat dari lengkung pre-cast cement. Sedang di bagian wing terminal terbuat atap ini disambung dengan susunan baja plus lapisan kaca sebagai tulang punggungnya. Sekilas mirip duri ikan. Menariknya fine finishing hanya ditemui di bagian Air France dengan lapisan kayu di seluruh atap (bayangkan betapa mahalnya kayu parqute per meternya). Hampir separuh di bagian ini ditutup untuk perbaikan konstruksi.

Untuk passanger traffic nampak lebih tertata dan mengalir. Cuma management counternya yang agak payah. Antar terminal terlihat kurang untuk fasilitas transport (lift, ekskalator dsb). Ini berbeda dengan bandara Stansted karya Norman Foster yang lebih terorganisasi, padat dan suprisingly lebih kecil.Karena letaknya diluar kota jadi dari bandara harus ke pusat kota dengan Metro -layanan kereta subway. Waktu mencoba bayar pake kartu kredit, mesin agak ngadat ngga mau ngeluarin tiket. Susahnya semua services memakai bahasa French dan ngga ada pengantar lainnya. Yah main tebak-tebakan jadinya. Improvisasi.....

Belum ada 10 menit ternyata kereta berhenti dan kita diminta keluar untuk berganti dengan bis karena ada kecelakaan di jalur Metro. Ini aja diterjemahkan oleh seorang cewek Amerika yang fasih berbahasa Perancis. Hah...pindah lagi dan nungguin bis itu lama banget. In the end harus berdesakan di bis, payahnya lagi ada yang mabokkk. Jadi kebayang naik bis Yogya-Solo yang situasinya mirip banget.

Untung hotel ngga jauh dan cuma ditempuh sekali naik Metro. Di Paris layanan Metro dibedakan yang di inner city dan yang outer city (mis bandara dsb). Jadi kalau dari outer trus ke inner jalurnya berbeda dan biasanya pake tiket one day untuk lebih murahnya. Tapi gara-gara kecelakaan tadi kita bisa claim untuk ngga bayar di inner city (horee....). Metro Paris ditanggung lebih nyaman dibanding Underground London yang supersesak. Enaknya lagi sistem jalurnya mirip dengan yang di London jadi memudahkan untuk merencanakan rute.

Setelah meninggalkan rucksack plus bawaan akhirnya cabut ke city. Untung saja hari itu cuaca cerah walau suhu tetep aja dingin (6-7C). Karena laper kita akhirnya mampir makan dulu di cafe pinggir jalan. Oya tips di cafe : jangan minum teh, rasanya enggak karuan. Paling umum mereka minum coffe terutama ekspresso yang kopi asli. Cobalah beli roti perancis (bagutte) yang sekilas keliatan keras tapi ternyata lunak di tengah. Juga butter croissant yang harum banget. Satu hal lagi : makanan di Paris serba mahal, kalau bisa makan aja di cafe, jangan restaurant (kecuali yang ingin special tentunya).

Eiffel itu cuma menara besar yang berdiri gagah. Awalnya ia sebuah kontroversi karena desainnya yang tidak conventional. Toh orang Paris mencintainya setengah mati bahkan menjadi simbol cinta itu sendiri. Desain karya Gustave Eiffel yang memenangkan kompetisi untuk Centennial Exibition tahun 1889. Diperlukan waktu dua tahun dengan kecepatan project yang luar biasa. Tercatat Charles Garnier, Charles Gounoud dan Alexander Dumas mengirimkan petisi penolakan menara Eiffel dengan alasan "seperti bangunan monster", " seperti tulang belulang yang dirangkai", dan mengutuk pembangunanya sebagai "kejahatan melawan sejarah dan kota Paris". Anehnya menara ini hanya didesain untuk masa 20 tahun, nyatanya bisa bertahan hingga sekarang.

Untuk menuju ke puncak ada tiga gate di pillarnya. Terbagi atas tiga lantai. Kalau mau ke puncak dengan lift sekitar 15Euro dari lantai bawah. Tapi coba aja naik dengan tangga hingga lantai kedua melalui pilar selatan (Pilier Sud). Ini ditujukan buat yang merasa fit dan butuh sedikit olahraga. Lumayan capek juga dan tiketnya lebih murah hanya 5Euro. Dari Lantai dua kita harus naik lift yang tarifnya lumayan (kalau ngga salah sekitar 7Euro). Kalau cuaca lagi baik ngga rugi koq sampe puncak. Setelah taking snap shot dan 360degree pictures akhirnya menikmati sunset di Eiffel. Memang amat syahdu karena jumlah turis berkurang banyak dan saat itu cuaca sedang berbaik hati.

Satu tempat tujuan lagi adalah Musee du Louvre yang menjadi setting pembuka Dan Brown's novel. Keistimewaannya adalah bangunan kontroversial berbentuk pyramid kaca karya arsitek Amerika IM Pei sebagai entrance-nya. Ketika dibangun tahun 1989 di jaman President Miterrand bangunan ini juga memicu kritik yang luas. Bukan saja desainnya yang nampak sangat kontemporer diantara bangunan renaisance yang secara kasat mata memunculkan paradoks. Bayangkan ditengah tari jawa klasik tiba-tiba diselip tari bali yang gegap gempita. Pyramid itu sendiri terdiri dari 793 panel kaca dengan tinggi 21.6m yang diletakkan di tengah lapangan musem Louvre yang berbentuk U. Museum ini tercatat menyimpan koleksi paling banyak tentang peradaban manusia seluruh dunia. Ia juga menyimpan koleksi ratusan mahakarya jaman Renaisance yang perbijinya berharga jutaan dollar.

Tak jauh dari pyramid in terdapat juga Inverse Pyramid yang berupa pyramid dengan arah menusuk ketanah menuju void yang menjadi pusat view dari mall dan supermaket yang menjadi kesatuan Museum Louvre. Secara struktural Inverse pyramid ini yang paling menarik karena tentu dibuat dengan melawan gravitasi juga ukurannya jauh lebih kecil dibanding main pyramid. Tapi disinilah kunci konsep desainnya.

Musee du Louvre sangat luas dan ngga bakal selesai dijelajahi dalam sehari. Aku sendiri hanya berkutat di Denon Wing tempat Monalisa, mahakarya Leonardo Da Vinci. Lukisan ini sendiri sebenarnya kecil dan dilindungi kaca anti peluru. Untuk sekedar mengambil foto saja musti berjuang diantara para turis yang mengerubuti seperti halnya selebriti. Keunikan Monalisa sendiri adalah bukan senyumnya tapi jenis kelaminnya yang ternyata bukan perempuan. Da Vinci sendirilah yang memproklamirkan-nya sebagai mahakarya padahal tercatat banyak sekali lukisan dan sketsanya yang lebih bermakna (beberapa gagasan jenius seperti helikopter, contact lenses). Aku juga sempet menyelinap di lantai bawah untuk melihat eksebisi Islamic Art yang koleksinya dipinjam dari Museum di New York. Tercatat beberapa peninggalan Islam jaman Abbasiyah dan Umayyah, juga jaman Ottoman. Juga aku temui beberapa lukisan yang jelas menggambarkan manusia dan binatang yang tentunya saat itu sangat terlarang dilakukan.

Terakhir bangunan yang paling aneh yang ingin aku lihat adalah Grande Arche de La Defence. Bentuk pencakar langit ini unik karena seperti kubus tapi berlubang ditengahnya dengan kaca dan marble. Terletak di kawasan bisnis terkemuka Perancis ini yang paling mengundang pengunjung. Untuk menuju kesana harus naik Metro inner dengan tujuan akhir Grande Arche de La Defence dan jalan kaki sekitar 10 menit. Dari sini kita bisa melihat Arc de Triomphe dan Eiffel di kejauhan. Sayangnya hari itu cuaca sedang tak bersahabat. Angin dingin dibarengi hujan membuat perjalanan nampak ngga berkesan. Toh aku memastikan diri.

La Defence didesain oleh arsitek asal Denmark Otto Von Spreckelsen yang menyimbolkan jendela yang membuka dunia. Dengan tinggi 112m tiap sisinya dan merupakan ujung dari sumbu imajiner yang menghubungkannya Arc de Triomphe. Sitenya sendiri dibuat sedikit menyudut sekitar 7derajad mengambil muka Eiffel. Di tengahnya terdapat atap seperti tenda raksasa yang menaungi empat capsule lift menuju atapnya. Aku tadinya mikir juga setelah liat harga tiket, tapi karena ini satu-satunya kesempatan so cabut. Udara bener-bener dingin dan kabut lumayan tebal menyelimuti Paris.

Capsule lift hari itu yang beroperasi cuma dua biji. Letaknya yang diluar gedung dengan struktur kaca transparant membuat miris ketika lift mulai bergerak. Bayangin naik lift hingga lantai 35an sambil liat pemandangan. Desainnya mengingatkan akan Lloyds Building karya Richard Rogers di London yang liftnya berada di luar. Tapi aku lebih suka Grande Arche yang lebih elegant ketimbang Lloyds yang nampak arogant di sisi hightech.

Sesampai diatas, seperti diduga semua tampak mengecewakan. Sama sekali ngga bisa liat pemandangan, view hanya terbatas. Belum lagi hujan deras memaksa aku masuk lagi dan menghabiskan sejam berkeliaran melihat pameran foto hitam putih konstruksi Grance Arche.

Toh impianku untuk menjelajah Paris tuntas sudah. Ngga sia-sia melihat dari dekat karya arsitek klas dunia. Inilah perjalanan arsitektural-ku yang meninggalkan banyak pelajaran.

Salam jauh,
Ambar
also in :
http://www.indobackpacker.com/content/view/92/1/

Labels:

Friday, January 14, 2005

Mountaineering Books : Left for Death and Touching The Void

Taken from ResensiBuku mailing list

Dear All,

Saya berkenalan dengan dunia mountaineering belum lama walau sejak SMA hobby naik gunung dalam skala regional. Sekitar setahun lalu sejak menetap di Inggris seorang sahabat memberikan buku "Touching The Void" karya Joe Simpson yang menurutnya buku classic bagi pecinta alam. Sangat dramatis dan begitu mengesankan hingga saya tak berhenti baca sampai cerita berakhir.

Cerita ini juga telah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama dan meraih berbagai penghargaan sebagai film documentary terbaik. Sepintas lalu buku paperback "Touching the Void" tampak lecek dan begitu tipis. Riwayat hidup Joe si pengarang-pun hanya sepintas (maklum ditulis ketika dia belum ternama), tapi cukup membanggakan dengan degree di bidang sastra Inggris dari Edinburgh University.

Kisah ini berawal dari Joe dan partner climbingnya Simon Yates yang sama-sama dari Inggris, muda, ambisius dan focus pada satu tujuan : menaklukan West Face Siula Grande 21,000ft di Peruvian Andes. Awalnya semua nampak lancar. Logistik dari penduduk lokal, cuaca yang cukup membantu membuat pendakian awal mereka sangat cepat. Dalam kurun dua hari dengan bermalam di snow cave (membuat lubang ice untuk tidur) mereka berhasil mencapai puncak di hari kedua. Kemudian datang badai salju sesaat ketika mereka beranjak menuruni puncak melalui sisi north. Kaburnya pandangan dan dinginnya temperature membuat mereka sempak kehilangan orientasi sebelum akhirnya mulai menemukan jalur yang mereka kira cukup aman. Celakanya ketika menggunakan tali Joe terantuk tebing dan mengakibatkan patah kaki kanannya ketika ketinggian masih sekitar 2000ft .

Dengan gagah berani Simon menurunkan Joe dengan tali sedikit demi sedikit hingga sekitar 300ft. Kemudian malapetaka datang. Ketika menurunkan Joe, Simon tidak bisa berkomunikasi karena buruknya cuaca. Satu2 nya cara adalah dengan kode tarikan di tali. Satu berarti aman terus turun. Dua berarti tunggu. Secara tak diduga Joe tergantung bebas hingga ketinggian 200ft dengan tidak ada jangkauan tangan ke dinding es. Terbayang betapa luar biasanya Simon menahan berat badan Joe sampai sekitar 1 jam dalam kegelapan dan ektrem temperatur. Hingga akhirnya Simon mengambil langkah drastis dengan memotong tali belay. Simon berasumsi bahwa Joe sudah meninggal karena tidak ada reaksi ketika mencoba berkomunikasi juga dia mulai kepayahan menahan berat Joe yang hampir dua kali lipat dengan peralatan climbingnya. Frostbite (beku) mulai dirasakan Simon di jari dan mukanya menuntut ia memikirkan keselamatannya sendiri. Tubuh Joe melayang bebas dan terjatuh di sebuah lubang es (cravaces) yang dalam.

Ketika bangun ia harus berusaha untuk hidup dengan keluar dari cravaces dengan merayap hingga base camp dalam kondisi dehydrasi (tidak ada tanaman dan air dalam ketinggian tsb).Saya sangat terkesima dengan bagaimana Joe bertahan hidup dan tentu memaafkan Simon atas keputusannya memotong tali belay. Yang menakjubkan justru Joe yang terus menekuni mountaineering setelah sekitar tujuh operasi sedang Simon sendiri sangat trauma dengan kejadian itu.

Buku ini indah dalam bahasa, mungkin karena kekayaan kosa kata bagi Joe walau ia meminimise istilah-istilah mountaineering yang mungkin sangat asing. Bahkan di belakang ada glossary yang memberikan penjelasan lebih lengkap. Dengan mengambil gaya buku harian cerita ini dirangkum dalam sebuah skala waktu yang hanya sekitar 6 hari. Lugas, tapi juga sangat emosional. Tak heran jika buku ini telah diterjemahkan dalam 14 bahasa dan laku jutaan eksemplar.

"Left for Death" karya Beck Weathers yang saya baca adalah terbitan time Warner 2003 setebal 286 hal. Buku ini juga tentang survival tapi dengan tema yang sangat berbeda. Beck adalah salah satu anggota tim Everest 1996 yang mengalami malapetaka terbesar dalam sejarah ekspedisi Mt Everest. Ia mengalami snow-blind (buta karena silaunya salju), frostbite di hidung dan kedua tangannya hingga harus diamputasi. Ia juga ditemukan dalam kondisi coma diatas dan ditinggalkan tim pencari karena diduga sudah meninggal. Ia pula yang tiba-tiba terbangun dan berjalan hingga ke base camp dalam severe condition.

Toh cerita dia survive di Everest tidak bakal ditemui di buku ini. Beck memilih bagaimana ia survive kembali ke keluarganya setelah peristiwa malapeta itu. Bagaimana ia menjalani series operation hingga transplant hidung dan hidrotreatment. Bagaimana ia mengembalikan fungsinya sebagai ayah di tengah keluarga dan juga mempertahankan perkawinan. Istrinya, Peach memang tidak mendukung kegiatannnya mountaineering sedang anak-anaknya yang beranjak remaja membutuhkan keberadaanya. Kedua buku ini sangat berbeda tapi dengan setting yang hampir mirip.

Semangat bertahan hidup setelah mengalami peristiwa yang luar biasa. Bagi saya ini lebih menarik ketimbang buku motivasi atau management yang lebih ke teori ketimbang yang lebih practical. Bagi saya yang hobby mountaineering memang sebuah cerminan untuk selalu menghargai alam dan kekuatannya. Terkadang keangkuhan manusia diuji di sebuah peristiwa yang membuat kita mengakui ketangguhan sang Pencipta.

Salam baca,
Ambar

Labels:

Catatan Perjalanan : Via Ferrata Italy Dolomites Spring 2004

Kegiatan ini boleh dibilang gabungan dari mountaineering dan rock climbing. Lahir di Italy dan populer awal tahun 1998 kemudian makin berkembang di negara-negara Eropa.
Dasarnya adalah melakukan pendakian puncak-puncak gunung dengan melewati iron way (via-ferrata) atau semacam kabel baja berdiameter 10mm dengan sistem belaying sendiri (self belaying) sebagai pengaman. Tiap section tinggal clip on pada iron way sembari memanjat. Disarankan memakai kaus tangan untuk mengatasi iritasi kulit akibat gesekan dengan metal. Anda bisa memakai sepatu climbing atau cukup dengan sepatu boots bergantung pada tingkat kesulitan. Lokasi paling menarik adalah di Dolomites Italy berbatasan dengan Austria dan Switzerland.


Photos bisa dilihat disini called italyDolomites2004Spring:
http://www.photobox.co.uk/ambar_briastuti@yahoo.co.uk


Italy Dolomites (13th - 17th June 2003 Spring)


Pemilihan lokasi Dolomites lebih dikarenakan dekat dengan Milan. Juga waktu itu penawaran murah dari flybe.com untuk terbang ke Bargamo (20 miles dari Milan). Dolomites terletak di Utara Italy dan hanya beberapa km dari perbatasan dengan Austria dan Switzerland. Bahasa yang dipergunakan mayoritas German daripada Italy. Juga kultur penduduknya lebih mendekati Austria ketimbang Italians Tempat ini sangat terkenal sebagai sarana ski ketimbang via-ferrata. Untuk sampai kesana diperlukan waktu 3 jam perjalanan dengan melewati pegunungan dan perkebunan anggur yang menawan.


Sebelumnya saya hampir putus asa karena Konsulat Belanda di Birmingham tidak bisa memberi visa (schengen visa) pada waktu ditentukan. Hingga memaksa saya harus ke London sehari sebelum keberangkatan untuk collect paspor plus visa dan mengatur kembali penerbangan.

Day 1
Kami berangkat Sabtu pagi dari Birmingham berbarengan dengan ribuan holiday maker. Perjalanan cerah dengan pemandangan yang menakjubkan. Kami melewati pegunungan Swiss yang terlihat masih tertutup salju walau sudah menjelang musim panas.
Tiba di Bargamo kemudian menyewa mobil untuk menuju lokasi. Harga sewa sekitar Euro 135 (2003) untuk 4 hari.


Dolomites yang biasanya dipenuhi oleh hotel dan ski hut nampak sepi karena memang kami datang ketika off season. Kami juga harus membeli peralatan climbing yang dibutuhkan khusus untuk via ferrata seperti shock absorber yang hanya bisa didapat di Italy. Untuk Y type self belaying sudah kami persiapkan sebelum berangkat, namun dibutuhkan special carabiner yang didesain untuk memudahkan clip dan unclip. Rencananya kami mampir makan siang dalam perjalanan sembari belanja. Ternyata perhitungan kami meleset.

Sabtu siang pusat pertokoan sangat-sangat sepi membuat kami gumun (= heran). Rupanya toko-toko di Italy hanya buka setengah hari jika hari Sabtu dan tutup sepenuhnya hari Minggu dengan alasan religius (inget kan Italy adalah negara Catholic Orthodox). Dengan dongkol dan gemes kami meneruskan perjalanan menuju Dolomites dan hampir desperate mencari peta. Setelah putar-putar kami ketemu Tourist Information yang ternyata buka sampai sore hingga minggu (hore!!!!!).Yang terpenting kami mendapat peta untuk daerah setempat plus jalur via ferrata. Sore hari kami mempelajari medan langsung ke lokasi. Diputuskan untuk pendakian esok hari dimulai dengan grade paling mudah.
Kami bisa mencari losmen murah (sekitar Euro 25 per orang). Saat itu hanya sekitar 10 hotel yang buka. Hari pertama berlalu dengan sia-sia, stress dan kecapekan. Hopeless….

Day 2
Kami set-off dari hotel agak pagi. Cuaca sangat cerah dengan humidity yang tinggi. Setelah breakfast kami segera menuju lokasi yang hanya 10 menit dengan mobil. Pemandangan sangat menarik dengan stasiun kereta salju di kejauhan. Bunga-bunga nampak bermekaran menambah suasana begitu cerah. Kami bergerak sekitar pukul 10am


Untuk menuju route Fassa 3 dan 4 kami harus berjalan ke arah dasar gunung kira 35 menit dari Hotel Alpenrose. Medan sangat mudah namun kembali sedikit terjal ketika sampai di punggung gunung. Rute boleh dibilang hanya membutuhkan kemampuan climbing yang tidak terlalu menuntut tinggi. Bisa dikatagorikan hiking daripada climbing. Namun pemandangan amat indah dan luar biasa. Di seberang kita bisa melihat himpunan salju yang masih tegar tidak meleleh walau suhu sekitar 30C. Perjalanan cuma memakan 2 jam plus makan siang.


Kemudian descent dengan jalan yang sama. Kami segera menuju Fassa 3 yang terletak bersebelahan. Untuk menuju kesana kami harus berjalan 20 menit dari titik start Fassa 4. Awal climbing amat menantang dengan tangga besi yang dibor ke dalam batuan. Selanjutnya makin menarik karena lumayan terjal dengan faktor kesulitan yang lumayan. Beberapa point sempat membuat peluh bercucuran !!!


Kami tiba di puncak dalam 1.5 jam kemudian mengatur nafas untuk turun. Dipilih rute yang agak berbeda (demikian kata buku petunjuk). Untuk turun juga diperlukan kemampuan teknik yang lumayan karena terjal dan banyak batu-baru yang longsor. Untuk turun memerlukan waktu kurang lebih 1 jam sebelum berjalan pulang ke titik awal pendakian. Kami sampai start point kurang lebih pukul 4.30 dengan faktor kelelahan minimum. Kami puas dengan hasil pendakian dua rute dan confidence untuk melakukan pendakian esok hari dengan tingkat kesulitan yang dua klas diatas.
Karena masih siang (kalau summer di Eropa matahari tenggelam pukul 10 malam) maka diputuskan untuk meninjau lokasi. Tidak terlalu jauh dan amat menantang. Dari jalan raya jelas terlihat jembatan penghubung dua puncak yang cukup dramatis. Selanjutnya kami memilih jalan-jalan dan mengambil gambar sekitar sunset di antara kegagahan tebing Dolomites yang menawan !!!! Tak terlupakan…..


Day 3
Hari ini kami berangkat lebih pagi untuk membeli peralatan dan helm climbing (helm yang lama ancur karena diduduki). Juga beberapa piranti kecil seperti kaos tangan (yang berlobang di jarinya) dan small carabiner. Kami set off ke lokasi sekitar 9.30 dan menuju awal pendakian yang hanya membutuhkan jalan kaki sekitar 10 menit. Titik start kurang lebih beberapa puluh meter dari air terjun. Sempat bertemu dengan an English bloke yang sudah beberapa kali melakukan rute Tridentina ini. Menurutnya route ini paling menarik karena menawarkan keasyikan climbing dan pemandangan yang indah. Di buku petunjuk memang dikatakan jalur ini sangat populer. Saya nervous, ditandai perut sedikit mulas. Mungkin karena sehari sebelumnya saya melihat lokasi dan membayangkan terjalnya menuju puncak yang 90 derajat terus menerus hampir 100 meter.
Untung jalur ini terdapat tempat untuk merenung apakah mau meneruskan atau tidak.Di awal climbing berupa tangga besi yang sangat rapat. Cukup menegangkan dan saya harus berjuang mengatasi nervous yang mengganggu.


Kurang lebih 20 menit sampai di dataran yang harus kita tempuh dengan jalan kaki. Disinilah kalau di buku dinamakan “jalur pelarian”(escape route) karena kita bisa balik kanan jika tidak confidence. Kami juga bertemu marinir Italy yang mengadakan latihan rock climbing di lokasi ini.
Saya memutuskan terus (pokoknya maju tak gentar !!!), apalagi nervous saya banyak berkurang. Setelah mengambil nafas kami mulai climbing kembali. Kali ini diawali dengan sederetan tangga baja yang dipasang didinding tebing. Untuk menaikinya kita harus tetap menggunakan belay. Pokoknya anywhere, anytime...Disinilah climbing sesungguhnya karena memaksa saya mengeluarkan seluruh tenaga untuk sekedar naik beberapa langkah. Beberapa batuan terlalu licin karena sering dipakai mengakibatkan harus mencari tumpuan baru.


Berbarengan dengan kami adalah pasangan usia lanjut (saya perkirakan mereka 60an) dan masih prima ! Wah jadi malu aku....sedang tepat dibelakang kami pasangan muda Italy yang seperti kami ini baru pertama kali mencoba jalur Tridentina. Jika musim ramai bisa dipastikan panjangnya antrian melalui jalur ini di tengah terik matahari. Kira-kira setelah memeras keringat 1,5 jam kami istirahat di sebuah snow waterfalls. Uniknya ditengah ada salju yang mulai meleleh tepat di jatuhnya air terjun mengakibatkan bentukan seperti jembatan.


Next kami terus mendaki, kali ini lumayan sulit dengan tumpuan bahkan hampir impossible. Saya nyesel ngga memakai sepatu climbing dan hanya memakai boots yang tentu flexibilitasnya jauh dibawah. Sempat terpeleset dan saya merasakan efek belaying itu sendiri. Sentakan kuat terutama didada dan perut (saya pake body harness), kaki saya gemeteran merubah posisi. Untuk beberapa detik saya ambil nafas dalam dan menghilangkan ketegangan. Ufff hampir saja.....(wadowwww masih pengen spaghetti nih !!!).


Selepas lekukan kami akhirnya sampai di jembatan penghubung dua tebing yang juga dari baja plus kayu sebagai jalan. Memang agak goyang apalagi pemandangan jatuh bebas yang hiiiiiii...ngeri. Setelah mejeng sejenak kami meneruskan langkah ke tahap berikutnya. Selepas jembatan jalur lebih mudah dan dalam lima menit kemudian bisa ditempuh dengan jalan kaki. Di kanan kiri nampak tumpukan es yang belum meleleh. Kami berakhir di sebuah ski hut yang diseberangnya terdapat sebuah danau. Selanjutnya makan siang dan membasuh kaki. Wah dinginnnn banget airnya karena danau ini berasal dari salju yang meleleh menuju waterfall di bawah dan menjadi sungai. Sebenarnya ada jalur lagi kesisi east danau tapi kami putuskan untuk turun karena faktor kelelahan akibat teriknya matahari. Sekitar setengah jam kami habiskan untuk santai dan membiarkan perut settle dulu. Disini kami lepas semua peralatan dan hanya memakai baju hiking saja plus pole (tongkat jalan).


Jalur turun lumayan seru. Bukannya susah tapi baru kali ini saya belajar turun dengan batuan bercampur snow. Mark memberikan lesson bagaimana mengatasi pergerakan. Intinya karena tanah sangat lose bukan berarti nggak bisa diinjak. So dinikmati saja. Kalau tanah agak longsor ya biarin. Itu tekniknya...ha..ha...ha..(ini sangat berguna ketika kami turun Semeru dengan setengah berlari dalam waktu hanya setengah jam). Selanjutnya kami ketemu padang kecil yang menuntun kami berakhir di parkiran tempat awal kami berangkat.

Berikut summary route :


Day1 (kami melakukan Fas 4 then Fas 3)
Fassa 3 : Ferrata Masare
Grade : 2, Seriousness : B
Departure Point : Hotel Alpenrose, Passo Costalungo
Ascent : 900m
Descent : 900m
Via Ferrata : 400m
Approx time : 2 hours (allow 3 hours)
Highest Altitude : 2727m (Masare)


Fassa 4 : VF Roda de Vael
Grade : 1, Seriousness : B
Departure Point : Hotel Alpenrose, Passo Costalungo
Ascent : 700m
Descent : 700m
Via Ferrata : 200m
Approx time : 3 hours (allow 4- 4,5 hours)
Highest Altitude : 2806m (Roda de Vael)


Day 2
Corvara 4 : Brigata Tridentina
Grade : 3, Seriousness : B
Departure Point : Car park below Passo Gardena on Corvara road
Ascent : 750m
Descent : 750m
Via Ferrata : 400m
Approx time : 5 -7 hours (depends on traffic)
Highest Altitude : 2585m


* Grade dari 1 to 5
Seriousness dari A to C

also in : http://www.highcamp.web.id/file/home.htm

























Labels:

Intermezzo : Susahnya Jadi Orang Indonesia

Cerita ini sebagai gambaran betapa susahnya mencari visa untuk sekedar berkunjung ke negara-negara Eropa bagi orang Indonesia seperti saya. Perlu diketahui seperti halnya ASEAN, negara-negara Eropa mempunyai perjanjian untuk bebas visa tourist. Sialnya Indonesia adalah salah satu dari negara-negara yang harus mendapatkan visa yang biasa disebut schengen visa. Kita harus apply pada negara yang menjadi main destination atau negara pertama yang kita singgahi tiap kali kita kesana. Payahnya lagi tiap negara Eropa mempunyai kebijakan sendiri atas terbitnya visa ini. Dari biaya hingga cara untuk apply-nya.

Ireland

Lucunya walau Ireland ini masuk UNI-EROPA, tapi karena ia tidak terletak di mainland maka Ireland bukan termasuk schengen visa (bingung ? jangan kuatir aku juga begitu....). Syaratnya kudu datang sendiri ke Embassy di London (yang letaknya pas di depan Harrods -tokonya Al Fayed itu), punya visa UK minimal 3 bulan, ngisi formulir, akomodasi, bank statement, surat tugas/surat sekolah dan tiket pesawat kalo sudah confirm. Saya dua kali berkunjung ke Ireland dan sama sekali nggak ada keluhan. Mereka sangat professional dan nggak pilih-pilih. Cuma prosesnya rada panjang minimal tiga minggu dan biasanya semua surat asli ditinggal untuk dicek kebenarannya. Visa dan paspor dikirim per surat tercatat. Biaya untuk sekali kunjung kalau nggak salah Euro 30.

Kunjungan pertama waktu itu ke Dublin diteruskan ke Co. Wiclow. Karena mendarat di ibukota, imigrasi jadi ketat banget. Saya difoto lagi plus ditanya tiket pulang plus dicap harus pulang pada tanggal yang ditentukan (ampuuuunnnn !!!!!!!). Sedang kunjungan kedua di Cork yang terletak di daerah sehingga imigrasi nggak terlalu peduli (cuma dilirik dan nggak dicap lagi !).

Sweden dan Denmark

Atas undangan seorang kawan saya berkunjung ke kota Malmo sebelah selatan Swedia. Saat saya apply di Embassy Swedia , saya baru pertama kali main ke London. Jadi celingukan, liat-liat jalan. Untung saya bawa peta segede dua kali kertas manila jadi ngga tersesat. Embassy-nya sendiri di sebuah gedung di kawasan Bond St yang terkenal untuk shopping (sayang nggak hobby). Pas nyampe disana hampir saja ditolak karena sebenarnya sudah tutup. Tapi dengan muka memelas akhirnya diterima dan bahkan dipercepat mungkin setelah melihat ransel saya yang kumuh (he..he..he). Sama halnya syarat-syarat diatas plus surat undangan dari kawan dan surat dari universitasnya. Waktunya juga sekitar tiga minggu dan dikasih juga limited untuk sekali berkunjung.

Di Malmo sendiri, imigrasi biasa aja. Cuma ditanya keperluan dan kapan pulang. Dua hari kemudian saya naik kapal ferry ke Copenhagen Denmark dan sampai disana nggak ada pemeriksaan sama sekali. Bebas-bebas saja....


Portugal

Ini misi bunuh diri. Memang saya sadari bahwa kemungkinan untuk memperoleh visa sangat-sangat tipis. Dosa sejarah kita sebagai bangsa Indonesia di Timur Leste sangat mempengaruhi opini pemerintah Portugal terutama terhadap WNI yang ingin sekedar berkunjung.
Ceritanya saya dapat undangan main ke holiday house seorang kawan (ia bukan orang Porto). Rumahnya ini terletak di pantai Portugal. Ia bahkan memberikan surat undangan khusus ke saya untuk keperluan administrasi. Dengan berbekal nekad tapi penuh perhitungan saya coba apply di kedutaan Portugal di London yang letaknya ngga jauh dari Embassy Ireland.

Karena buka pagi membuat saya berangkat dari rumah sekitar pukul 5 dan nyampai di London masih seeepiiiii banget. Eh pas di gedungnya yang antri sudah lumayan (ada sekitar 20an). Kesan saya yang paling dalam tentang kedutaan Portugal adalah sangat tidak proffessional. Tidak ada petunjuk untuk loket (saya terdampar di bagian pengurusan passport) juga mereka ngga mempersiapkan staff yang lihai berbahasa Inggris. Pas-pasan saja. Payahnya bagian pengurusan visa schengen hanya dikerjakan satu orang. Bayangkan mulai memeriksa formulir dan data, interview singkat, menerima telpon, penulisan dokument dsb dikerjakan satu orang di sebuah ruangan yang sangat sederhana (komputer hanya satu plus printer Inkjet). Ini mengingatkan saya saat pengurusan KTP di kantor kelurahan (asli ! bangkunya juga reyot banget...)

Meski saya sudah bayar tapi ini bukan jaminan untuk memperoleh visa. Passpor saya cuma dikasih nomor dan mereka akan kontak saya apakah visa dalam posisi granted (dijamin) atau refused. Dua minggu kemudian mereka mengirimkan surat berisi penolakan visa dengan alasan yang tidak dijelaskan. Dongkol tapi gimana lagi yah.... batal sudah ke Portugal.

Dutch (Holland)

Karena kesibukan saya memilih apply visa schengen melalui Konsulat Belanda di Birmingham walau sebenarnya tujuan saya ke Italy. Ini cuma untuk ngakalin biar saya nggak diributkan urusan bolak-balik London. Tapi saya keliru besar. Karena lamanya proses membuat mereka ngga bisa ngasih visa di hari saya seharusnya berangkat. Saya juga harus ke Dutch Embassy di London untuk collect visa. Stress banget pokoknya...
Syaratnya sebenarnya sama saja. Cuma mereka minta kita lebih mendetail perjalanan termasuk sudah booking hotel dan pesawat (semuanya dengan bukti pembayaran penuh). Kita juga harus bikin appointment dulu melalui mesin penjawab dan diberi hari dan jam kita datang. Perjalanan ini sebenarnya untuk meng-cover kegagalan saya memperoleh visa schengen melalui Portugal (hiks...masih sedih)

Kantor Konsulat Belanda di Birmingham letaknya menyempit di lantai 3 sebuah gedung. Memang agak tersamar karena lantai bawah digunakan untuk praktik dokter (ha ???). Toh saya harus antri walau nggak separah di Kedutaannya di London. Disana saya harus stand by jam 1 siang nggak lebih dan nggak kurang. Antri diluar pagar. Untung saja letaknya di dekat Regent Park jadi ada pemandangan (alam dan orang2) yang lumayan menyegarkan. Anyway walau saya akhirnya mendapatkan visa Belanda tapi kenyataannya saya belum pernah main ke Belanda !!!!

France

Inilah pencarian visa yang paling melelahkan, paling makan biaya dan paling penuh pengorbanan. Saya mengimpikan pergi ke Perancis karena budaya dan arsitekturnya. Sejak tahun 2002 saya berusaha apply lewat Embassy-nya di London. Kebetulan tahun itu ada kawan disana yang mengundang plus tentu segala administrasinya. Beberapa kawan menganjurkan agar saya datang sepagi mungkin untuk antri di depan kantor. Bahkan saya sempatkan menginap di Wisma Nusantara kepunyaan KBRI agar memudahkan transportasi.

Saat itu awal winter dengan temperature udara di luar sekitar 2-4C di saat subuh. Tak dinyana ketika disana telah antri hingga sepanjang satu blok (kira2 sekitar 300an) orang. Yang antri di depan bahkan menggunakan sleeping bag plus tenda selayaknya camping di alam bebas. Dengan nekad saya langsung gabung, dan antrian bukannya berkurang malah meningkat dua kali lipatnya. Hingga tengah hari saya hanya bisa maju sekitar 50m saja. Kemudian datang pengumuman bahwa Embassy tidak melayani visa lagi hari itu. Hahh....dengan mangkel bercampur lapar saya pulang dengan tangan hampa (total antri diluar 8 jam dengan suhu minumum)

Rencana ke Paris saya tunda hingga terdengar kabar bahwa mereka sudah punya sistem yang lebih profesional. Oke saya coba deh...Saya datang lagi ke London khusus untuk mendapatkan nomor appointment plus harinya. Saat itu saya dapat sekitar nomor 159 tapi karena lain hal (saya ngga inget), terpaksa appointment saya batalkan lagi
.
Akhirnya usaha terakhir di tahun 2004 ini. Untuk meminta appointment kita harus telepon dengan tarif premium (habis kira2 £10) untuk mendapatkan hari dan jam. Kita juga hanya boleh antri diluar paling tidak 1 jam sebelum waktu kita. Hmmm lumayan prof juga. Kemudian ketika masuk Embassy (plus pemeriksaan sekuriti yang rada ketat) kita lantas diminta menyerahkan formulir dan data. Saya sempat tarik urat dengan petugas yang menanyakan status saya. Bahkan dia meminta saya balik lagi esok hari. Saya menolak dan saya katakan bahwa saya travelling ke London makan waktu 3 jam.

Ok, lantas setelah bayar semuanya (ngga jaminan dapet visa) bukannya tambah gampang. Kita nunggu lagi untuk loket selanjutnya. Ini yang lebih parah. Interview layaknya argumentasi walau mereka nampak manis. Saya hanya diberi nomor referensi dan dalam dua minggu mereka akan kirim surat untuk melihat posisi saya. Oya untuk visa France ini mereka minta semuanya plus asuransi kesehatan yang mencover perjalanan. Anehnya mereka juga minta tiket pesawat ke Indonesia (ngapain juga??) tentu saja saya tolak.

Sudah itu sambil nunggu surat datang saya harus telpon lagi (dengan tetap tarif premium) untuk meminta appointment collect visa walau saya ngga yakin bakal digranted (yah kalo gagal ya nasib...). Hingga dua minggu kemudian surat datang menyatakan saya harus ke London untuk melengkapi beberapa persyaratan.

Lalu balik lagi ke London, antri lagi dan akhirnya saya hanya diberi visa sekitar 6 hari ke Paris. Meski penuh perjuangan saya cukup puas "mengalahkan" mereka.

So teman-teman memang dimanapun urusan visa paling menjengkelkan. Dan tercatat hanya Switzerland sajalah negara di Eropa yang kita bebas masuk. Itupun dengan syarat kita punya visa tinggal di negara Eropa paling tidak 3 bulan. Pengalaman saya bahwa kita memang kudu maju terus pantang mundur kecuali memang secara official kita dinyatakan ngga bisa lagi. Sebagai latihan mungkin kita ngurus SIM dan KTP sendiri tanpa pelicin tanpa calo (saya paling anti). Ini melatih kesabaran dan seni bernegosiasi dengan birokrasi.
Ini bukan perkara nasib tapi kerja keras dan tentu banyak bertanya pada rekan-rekan yang mempunyai pengalaman. Cerita ini sebagai sharing saja siapa tahu kita ditakdirkan bisa merambah tempat yang kita tidak pernah duga.

Salam jauh
Ambar

http://indobackpacker.com/content/view/75/1/




Labels: