Tuesday, November 10, 2015

Pengalaman Suka Duka Share-Cost Backpacking

Sebagian peninggalan traveling backpacking sekian tahun. Koleksi ©2015ambaradventure

Gara-gara beresin ruang studi saya menemukan travel relics. Isinya kopian itinerary, boarding pass, kartu pos yg ngg sempet dikirim, nota-nota beli ini itu, jajan dsb. Saya memang hobi menyimpan, mungkin karena waktu itu kudu buat laporan pengeluaran atau karena share cost maka dokumentasi finansial itu perlu banget.


Sejak dulu saya selalu memakai prinsip share cost karena memang ngg mau jadi EO (Event Organizer).  Mungkin definisi sharing cost disini adalah berbagi biaya aktifitas ataupun seluruh rangkaian backpacking.  Tanggung jawab di jalan dan persiapan dibuat bersama. Tidak ada jabatan ketua, tetapi lebih sebagai koordinator.


Pada prakteknya, Koordinator ini sering harus melakukan hal-hal seperti EO seperti booking agen lokal, transport dan akomodasi. Nah kalau ini sih kesepakatannya gimana termasuk nantinya di lapangan.


Pengalaman share cost pertama adalah mendaki gunung Kinabalu di Malaysia dengan teman sendiri. Karena ia datang dari Inggris, maka dia hanya tag along alias nebeng dengan kita berdua. Seperti biasa saya menjadi tukang bikin itinerary plus kontak dengan Taman Nasional. Waktu itu sekitar tahun 2006, ijin dan akomodasi di TN Kinabalu bisa diurus langsung tanpa lewat travel agen lokal. Jauh lebih murah setelah saya bandingkan dengan harga yg diberikan agen konvensional. Kalau ini saya bisa bilang sebagai full share cost.


Enaknya dengan share-cost dengan teman yang tahu sense of traveling kita adalah kita bisa membuat itinerary yang sama karena suka tempat yg dituju. Kalau dengan teman yg belum dikenal, rasanya harus belajar dia dulu atau mengetahui keinginannya.


Keputusan untuk share-cost dengan orang baru itu banyak alasan. Yang jelas memang ongkos jadi murah kalau deal dengan agen lokal terutama untuk aktivitas adventure. Seperti trek di Everest Base Camp itu harga makin turun per individu jika bisa mendapatkan jumlah diatas 4 orang. Selain masalah logistik, juga urusan guiding akan lebih mudah. Saya mengatur dan deal dengan agen di Kathmandu dan kita membuat meeting point di Singapura.


Share cost juga bisa hanya satu seksi dari traveling. Ketika mengunjungi China, saya cari partner yg bersedia jalan bareng dari Chengdu ke Lhasa dengan kereta kemudian nyebrang darat ke Nepal. Jalur travel saya kemudian pisah dengan partner karena meneruskan Travel Manchurian Railway (Trans Siberian Rail dari China ke Moscow). Begitu sampai Kathmandu, habislah masa berbagi itu.


Trek di Everest Base Camp melewati sungai menuju Namche Bazaar tahun 2010. Koleksi ©2015ambaradventure



Ngg enaknya share cost adalah sekali komitmen, maka seharusnya konsekuen bayar. Karena cost adalah duit, maka sekali janjian bayar bareng ya harus dipenuhi. Biar ngedumel harga mahal tapi klo memang dapat manfaatnya ya sudah toh. Ada kalanya orang memang punya alasan untuk ngg nyawer, tapi sebaiknya jika sudah sepakat tepati dengan ksatria. Bukannya saling menyalahkan dan lempar dosa. Ini yang susah diprediksi jika jalan dengan orang baru. Lhah klo ketemu yg super pelit, nagihnya setengah mati.


Duka yang lain adalah jika ketemu tipe share-cost tapi serasa bayar paket. Semua harus dipenuhi sesuai keinginannya. Dalihnya adalah udah bayar mahal tapi ngg dapat spot cantik buat photo narsis. Marah-marah dan minta uang kembali. Well, makanya kalau ngg mau repot yah tinggal bayar aja sama travel trip. Beres kan?


Ngg salah jika Koordinator share cost ini bisa merubah diri menjadi EO dan membuat trip sendiri. Cuman buat backpacker klas tua seperti saya, tetep paling enjoy adalah mengurusi sendiri. Kebebasan menentukan pilihan dan keingintahuan adalah pendorongnya. Jadi siapkah untuk share cost atau cuma nebeng aja?

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home