Wednesday, January 21, 2015

Onroad Tibet Oct 2010: Mencapai Atap Dunia

Tulisan ini muncul pertama di Milis Indobackpacker 19 Oktober 2010 sebagai seri dari perjalanan TranSiberia Bagian China/Tibet.







Tashi Delek,

Dengan keretaapi, perjalanan menuju negeri atap dunia Tibet lebih nikmat dan tidak terasa membosankan. Buat para pecinta KA, moda transportasi ini memberikan alternatif untuk mempelajari landscapes, tata geografis, cara hidup dan budaya sepanjang jalan. Plus melihat dari dekat teknologi infrastruktur China. Disisi lain memberikan kesempatan pada tubuh untuk beraklimatisasi pada perubahan ketinggian.

Banyak hal yang perlu diluruskan tentang TTB (Tibet Travel Permit). Untuk membeli tiket kereta api tidak perlu menunjukkan TTB asli, melainkan cukup fotokopian saja. Termasuk ketika berada diperjalanan kereta. Dalam 45jam tercatat dilakukan satu kali pengecekan dokumen (beberapa jam setelah naik dari Stasiun Chengdu), satu kali pengecekan karcis (malam kedua). Secara teori, TTB bisa diproses onlen dan dikirimkan via email, tanpa harus diperoleh bentuk aslinya. Ini juga mengurangi biaya ongkos kirim, birokrasi dan fee agen. Catatan: TTB
seharusnya gratis tetapi harus diurus oleh agen. Oleh agen ybs bisa dikenakan fee yang biasanya diset harga sendiri. Biaya ongkos kirim dokumen berdasarkan urgensi juga mempengaruhi. Untuk moda pesawat, TTB harus ditunjukkan asli sebelum boarding. So, keretaapi lebih rileks, less complicated dan tentu saja lebih slow but sure.

Dalam beberapa hal Lhasa tidaklah seperti tahun 1960an. Saya merasa terlempar pada realitas bahwa Tibet bukanlah negeri independen. Nostalgia novel Lost Horizon tentang negeri Shangrila sangatlah jauh dari kenyataan. Negeri indah diatap bumi, dimana manusia hidup lebih panjang, tidak ada rasa sakit, tidak ada penderitaan, sepertinya tidak terpantul di Tibet. Lhasa berubah wajah seperti kota-kota di China lainnya. Identikal di satu sisi, menunjukkan pergulatan antara modernitas dan menjaga kultur setempat. Tidak banyak orang Tibet asli yang bisa mendapatkan ijin bisnis di Lhasa, akibatnya fasilitas pariwisata hanya dinikmati suku Han yang didatangkan dari sisi lain China. Dan jangan heran jika anda di Tibet merasakan bahwa hampir 90persen pengunjung wisata adalah orang China.

Di Lhasa, tiga situs warisan dunia (World Heritage Sites) adalah Potala Palace, Jokhang Monastery, Norbulingka Summer Palace patut ditengok. Hanya saja untuk yang terakhir, kondisinya cukup memprihatinkan. Disinilah Dalai Lama ke 14 aka Tenzing Gyatso ditahun 1959 berhasil menyelundup dari Lhasa menuju tempat pengasingannya sekarang di Dharamsala India. Jika guide anda seorang Tibet, ia akan menunjukkan bagaimana Dalai Lama menyamar sebagai orang biasa, menembus pintu samping istana, menyeberang sungai ditemani 30 orang satria Khampa. Kisah ini selalu diceritakan dengan penuh waspada karena sangat sensitive. Jangankan bercerita, lha gambar Dalai Lama saja dilarang dipajang diseluruh Tibet. Saat inipun, Barkhor Street dijaga dengan ketat oleh tentara China, dipatroli tiap 10menit dengan beberapa sniper di atap bangunan. Efek protes damai yang berubah kerusuhan di tahun 2008 masih terasa.

Kami bergerak keluar Lhasa menuju Everest Base Camp (EBC) dua hari kemudian. Perjalanan panjang melewati Friendship Highway ini sebenarnya tidaklah berat. Hanya saja karena melewati beberapa Pass dengan ketinggian di atas 5000mdpl membuat harus berjaga-jaga. Berbeda dengan EBC sisi Nepal yang harus ditempuh dengan trekking alias jalan kaki, EBC Tibet sangat mudah dijangkau. Begitu memasuki Shegar, pos jaga militer China menanyakan Alien Travel Permit khusus untuk memasuki wilayah ini. Biarpun jalanan terjal dan tidak rata toh minibus bisa saja menjangkau. Lima puluh kilo dari pintu jaga menuju EBC dicapai lebih dari 2jam. Kami menginap di tenda terpal, dimana suku nomadik Tibet menyediakan ruang hangat dari bahan bakar yak dung (tahi yak).

Secara view, Everest sisi Tibet menawarkan penampakan yang lebih spektakuler. Bentukan punggung dengan Lhotse dan gigir North East serta Rongpu Glacier terlihat nyata dan megah. Tiga tahun lalu ketika saya trekking sisi Nepal via Kala Pattar, agak susah menunjuk Sagarmatha sebagai Chomolungma. Sejarah pendakian sisi Tibetpun lebih berliku dibandingkan sisi Nepal. China mengklaim sebagai negara pertama menaklukan Everest di tahun 1960 tetapi tidak diakui oleh dunia internasional. Berbeda 7 tahun dibandingkan dengan Hillary-Tenzing sisi Nepal di tahun 1953.

Rasanya julukan negeri atap dunia sangatlah pas ditempel pada Tibet. Tapi benarkah atap dunia itu memberikan kedamaian atau setidaknya memberikan peneduh pada manusia seperti yang disampaikan Dalai Lama? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Oom mane padme hum.




Tips untuk menjadi responsible traveler di Tibet:

1.     Usahakan mendapatkan guide orang Tibet untuk memberikan perpektif lokal.

2.     Bacalah sejarah kontemporer Tibet dan pergulatan politik untuk memahami latar belakang negeri ini. Di LonelyPlanet cukup memberikan background sekilas. Ini akan membantu mengisi kanvas Tibet dengan warna yang lebih jelas, bukannya buta sama sekali. Terlalu banyak informasi yang diserap hanya dalam beberapa hari.

3.     Jadilah photographer yang sensible, artinya jika kita mengunjungi Tibet berarti menghormati orang yang beribadah, situs yang tidak memperkenankan diambil gambarnya, ataupun harus membayar. Guide yang baik adalah menyarankan membayar jika memotret (fee dari 10Y hingga 120Y). Matikan lampu flash di kamera, minta ijin pada orang yang akan difoto. Cek setting kamera sebelum menjepret. Jangan memotret wajah penjaga, atau fasilitas yang dijaga militer juga daerah sensitive seperti kantor imigrasi.



Beberapa pertanyaan yang diajukan:

Q1. Apakah tiket bisa dibeli dari AS atw dari Ina lewat biro travel, seperti kalau hendak naik Eurostar?
Tiket biasanya dijual 10hari sebelum tanggal keberangkatan. Untuk orang asing dibutuhkan kopian TTB ketika membeli. Kalau memakai agen, kita membayar dan mendapatkan tiket, sebaiknya satu item dengan TTB yang berarti terikat tur dengan agen tersebut. Pembelian adalah dengan kontak agen langsung.

Q2. Apakah benar, naik kereta api lebih membantu aklimatisasi. Sebab perubahan elevasinya kan juga cepat?
Naik kereta walaupun kecepatan maks 140km/jam tidak pernah mencapai segini. Pengalaman saya kereta sering berhenti dan berjalan lambat begitu memasuki Pass daerah Golmund. Saya sempat pusing walau belum diberi oksigen. Tapi memang reaksi badan saya begitu, tiga kawan saya baik-baik saja malahan. Walau saya pernah EBCNepal dan beberapa minggu lalu mencapai 5300mdpl di Mauna Kea ternyata efeknya masih.

Q3. Di sepur, pas elevasi sedang makin tinggi itu apa emba' Ambar sempat keplepegen, sampai harus pakai oxigen-prong/mask? 
Sesak nafas sih tidak, tetapi hanya pusing. Saya beri ibuprofen dan tiduran. Ketika malam pertama (12jam setelah departure) pihak kereta menghembuskan oksigen ke kabin-kabin. Kebanyakan penumpang sih ngga nyadar karena tertidur. Di soft sleeper, oksigen dihembuskan via lubang diatas tempat tidur paling bawah (ada 4 tempat tidur posisi 2-2). Sedangkan di hard sleeper dihembuskan di kabin (ada 6 tempat tidur posisi 3-3) dan di gang. Saya melihat beberapa penumpang di hard sleeper mengambil selang yang tersedia di bawah tempat tidur dan dicolokin ke lubang oksigen tadi menghubungkan dengan hidungnya. Saya sendiri ngga merasa membutuhkan dan tidak ada reaksi apapun saat itu.

Q4. Terakhir mo nanya, berapa mba' ongkos tiketnya? 
Saya ngga ingat tepatnya harga tiket. Hard sleeper Y712, soft sleeper sekitar Y1200an (saya beli hard sleeper). Dalam perspektif saya sih memang segitu harga wajar. Dengan pesawat sekitar Y1500an, beda sedikit memang tetapi pengalaman dengan kereta menurut saya lebih berkesan.

Labels: , , , , , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home