Wednesday, June 15, 2005

Sarawak Borneo May 2005 The Longhouse


veranda of longhouse at the bank of Mentawai River
(picture by ambar)

Day 5 Wed 25/05/05 Longhouse-Nanga Medamit-Limbang

Lagu ini dinyanyikan orang Iban untuk mengawali sampi kena mantap sebuah upacara membersihkan bilek sebagai awal dimulainya musim tanam padi. Renungan yang sangat dalam tentang penghormatan leluhur dan alam.

O, ni kita
Petara aki
Petara ini?
Ti dulu kalia ke dulu nubah,
tanah mungkal menoa tu.
Kita ka dulu berumpang,
besawang
berimba,
ngaga temuda dulu kalia?
Kami tu anak,
telesak,
uchu ambu kita,
Deka bumai dalam memoa tu,
Nganti tulong urat
kita ka dulu menya
Nya alai kita enda tau enda
Ngemata lalu ngintu pengawa ka

Laban kami tu meh uchu
ambu kita,
Darah getah kita,
nampong nerujong,
Ngintu bilik penaik kita.
Nya alai kita enda tau enda
nulomg nukong aku dalam
umai tu.

O, where are you
Spirits of our grandfathers
Spirits of our grandmothers?
You who long ago opened the
bountiful land of this domain.
You who first felled the jungle,
Cleared the land,
Cut down the virgin forest,
Who first created as estate of farmland?
We are your children,
Your offspring,
Your favorite descendants,
Who wish to farm this land.
We take your place,
You who have long ago gone before us,
We attend with care to the work
Which you have entrusted to us,

Because we are your beloved
Grand children,
Your flesh and blood,
your true descendants,
We carefully look after your legacy.
Therefore help us so that I do
Not suffer unhappiness while I
Work this farm

(recorded and translated by Sather 1984)


Pak Payong Sabit dan Ibu Sally mempunyai 9 anak. Empat diantaranya perempuan. Salah seorang putrinya menikah dengan cina dan saat ini menetap di Canada. Sedang kedua putri lainnnya tinggal di Kutching yang salah satunya masih sekolah. Saya bahkan dipersilakan melihat setumpuk album keluarga yang berisi kisah sukses anak-anak Pak Payong.

Bagi suku Dayak, perkawinan antar etnis memang tidak terlalu bermasalah. Bahkan ibu Sally mengatakan sejumlah orang Jawa dan Bandung banyak yang menetap dan membuka usaha di daerah ini dengan menikahi perempuan Dayak. Hanya saja kecendurangan laki2 Dayak untuk menunda pernikahan. Richard guide saya, berjanji menikah jika semua anak perempuan dalam keluarganya bersuami. Ini bukan ketentuan, tapi katanya “hanya sebuah sikap pribadi”. Padahal umurnya diatas 35an.

Bilek Pak Payong terbagi atas beberapa ruang. Yang terdepan sebagai tempat tidur kami ini sangat lapang, hanya terdapat meja sudut yang berisi foto2 dan souvenir dari Canada. Sebuah ruang keluarga dengan TV dan kursi tak jauh dari situ. Barulah dapur dan ruang makan yang mampu menampung 10-15 orang. Di dapur banyak ditemui peralatan modern seperti freezer (bukan kulkas), kompor gas dan alat bantu lainnya. Bercampur dengan blowpipe, senjata buru (biasanya menembak monyet atau burung), alat instrument seperti gitar dan berbagai sertificate pelatihan untuk keselamatan tranportasi sungai.

Malam ini kami dihidangkan nasi beserta lauk pauknya. Disini baru aku tahu bahwa “makanan aneh” yang kami makan di Miri adalah daun pakis muda. Ditumis hanya dengan bawang putih dan kecap, tapi rasanya ……mantap oiiii. Menurut ibu Sally pakis ini didapatnya dari pinggiran sungai atau sedikit masuk kedalam hutan. Di pasar, katanya bahkan dijual dengan sangat murah. Terakhir sebagai teman ngobrol malam ini : hmmm rice wine alias tuak . Untuk brewing, membutuhkan paling tidak dua minggu hingga menghasilkan kualitas yang lumayan. Klo mau lebih keras yah simpan aja sampai bertahun-tahun. Rasanya seperti alkohol dari tape ketan yang biasanya dijual di Magelang itu. Mungkin kalah keras dari tape malah. Jadi ngga ngefek sama sekali.

Sebelumnya aku sempat ditanya beberapa laki2 yang kebetulan sliweran. Agak susah juga berkomunikasi dengan bahasa Melayu, walau beberapa masih bisa dipahami. Lama-lama ngomongnya ngelantur ngga karuan. Barulah aku sadar ketika tercium bau alkohol dari mulutnya. Wah pantesan ini orang2 pada mabuk tuak. Untung aku bisa kabur.

Keesokan harinya kami meninggalkan rumah panjang menuju Nanga Medamit. Sungai Mentawai yang kami lalui ini sudah termasuk hilir dan lumayan lebar. Dari hujan deras kemaren permukaan air masih saja tinggi. Tidak terlalu bergelombang bahkan sangat tenang. Sejam kami lewati sungai legendaris ini dengan kesan yang dalam tentang kampung suku Iban. Hingga tampaklah asap mengepul dari bahan bakar diesel alat2 berat logging. Oooo jadi ini toh logging. Walau yang ini legal. Sebuah perahu geret yang besar hampir penuh sedang alat berat lainnya untuk memindahkan kayu2 gelondongan dengan cengkeramannya yang kuat.

Nanga Medamit ini lebih tepatnya seperti mini kota. Karena kegiatan logging rame disini, maka muncul pasar yang merupakan arena pertemuan orang Dayaks dan pedagang kota. Ngga heran saya nemu penjual semen ataupun bahan berat lainnya disini. Dan semuanya diangkut dengan perahu !!! Dari sinilah kembali akses lewat jalan. Jalanan trans limbang ini baru dibuka dan setengah beraspal. Jadi kebayang nikmatnya. Lagipula ini hari terakhir, dan timbul rasa asing ketika kembali ke peradaban.

To be continued (wah kapan selesainya ya….)

Labels: ,

1 Comments:

At June 22, 2005 at 1:33 AM , Anonymous Linda said...

waaaaaaah critanya seru banget mbak

makasih ya mbak resep kunyitnya
langsung linda praktekin loh mbak
linda minum sari kunyitnya doank
karna gak tahan trus linda masak lagi, ditambahin air sama gula merah. eeeeh malah kemanisan :D

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home