Merenung di kuburan Scott Fischer : Manisnya Kegagalan
Minggu, April 29th 2007
Dengan nafas terenggah-enggah saya sampai di sebuah padang. Matahari masih dengan ganasnya menerpa tengkuk dan muka. Saya kehausan. Tangan kanan meraih selang yang tergantung di kanan ransel. Seteguk cukup melegakan.
Beberapa jam lalu saya meninggalkan desa Pheriche. Saya lirik jam. Pukul 14:18. Rasanya jalan kehitaman di depan saya tidak ada akhirnya. Debu yang saya hirup makin menyesakkan dada. Saya buka slayer penutup mulut dan hidung. Di ketinggian diatas 4900m ini oksigen cukup tipis. Seperti ikan mulut saya buka tutup. Angin bertiup sepoi, memberikan sedikit kesejukan. Deretan gunung Taboche dan Ama Dablam masih terlihat dengan gagah. Sedikit awan bergantung disana. Selebihnya adalah biru langit dan terangnya putih salju. Mata saya mengerjap. Agak silau.
Di padang gersang ini berserakan batu-batu. Besar kecil, dengan warna kehitaman. Beberapa diantaranya dibentuk menjadi semacam stupa dengan jalinan diberi scarf warna kuning dari sutera. Di puncaknya dijalin tali dengan kertas warna-warni berisi tulisan doa. Bendera kecil itu berkibar-kibar diterpa angin semilir yang sesekali mengantarkan suara menderu. Sejauh mata memandang tumpukan batu itu dimulai dari sisi timur hingga arah barat tepat menghadap gunung Everest.
Mata saya menatap sebuah tumpukan batu sedikit diatas bukit. Ada nama terpatri disana. Diukir di batu paling bawah dan sebuah plakat dari logam dipuncaknya. Saya tertegun. Scott Fisher. Bukankah ia yang..? Saya baru menyadari. Saya tengah berada di kompleks chorten. Dalam bahasa Tibet, Chos rtan artinya tempat dharma. Digunakan sebagai penghormatan atas peninggalan seseorang. Chorten terdiri dari tiga elemen : dasar, tubuh dan mahkota. Tubuh berbentuk bulat dengan dasar yang datar seperti mangkok pendeta Buddha Tibet yang diletakkan terbalik. Sedang mahkota biasanya ditulisi Kalacakra. Didalamnya terkadang ada peninggalan berupa baju ataupun barang. Di chorten pendaki biasanya kampak es (ice axe) ataupun serpihan barang berharga.
Ketika seorang pendaki meninggal di Everest, tubuh fisiknya akan tetap tinggal di gunung. Terlalu berbahaya untuk membawa mayat hingga di tempat yang layak. Tercatat 203 mayat berserakan di kaki, sisi ataupun tepian Everest. Tertimbun salju abadi, beku dan menjadi mummi. Entah kapan akan ditemukan. Everest sepertinya adalah kuburan itu sendiri.
Hampir tak percaya saya menapak kaki mendekat. Betul disitu tertulis Scott Fischer. Nama yang melekat dalam ingatan hampir semua pengelana yang membaca kisah malapeta Into Thin Air yang dikisahkan Jon Krakauer. Pada hari Jumat 10 Mei 1996 Scott memimpin tim dari Mountain Madness meninggal diterpa badai ganas. Walaupun pemimpinnya tak kembali namun semua kliennya (delapan orang) berhasil diselamatkan berkat kegigihan Anatoli Boukreev yang menjadi guide. Tak menghiraukan diri sendiri, Boukreev kembali mendaki untuk menyelamatkan tiga orang : Sandy Pittman, Charlotte Fox dan Pete Madsen namun gagal membawa Scott Fischer.
Tak lama saya mendengar langkah kaki. Nanung rupanya berhasil menyusul saya. Saya masih mendengar suara batuknya. Terus-terang saya mengkhawatirkan keadaan dua kawan saya. Nanung terkena batuk karena ketinggian sejak memulai di Kathmandu. Debu dan partikel memenuhi saluran pernafasannya. Juga karena menyempitnya jalur pernafasan atau kemungkinan infeksi. Jika tidak dikontrol batuk yang berat bisa berakibat mematahkan tulang dada. Saya tidak bercanda. Batuk yang terus menerus bisa berujung High Altitude Bronchitis (HAB). Ingatan saya melayang pada seorang pendaki wanita dari Jepang yang ikut tim pembuatan film Imax Everest di tahun 1996. Ia gagal mendaki karena serangan batuk yang mengakibatkan tulang dadanya retak. Itu ketika ia masih di Base Camp, belum melakukan pendakian sesungguhnya.
Di Pheriche Nanung sempat menggunakan cara yang dianjurkan dokter di Rumah Sakit untuk bernafas di atas uap air panas. Menurut dokter ini akan membantu meningkatkan kelembaban di saluran nafasnya yang kotor karena debu. Juga membantu melancarkan sinus yang terhambat. Kalau bisa mengeluarkan riak warna hijau akan lebih baik lagi. Nanung mengaku sudah cukup sehat pagi tadi ketika berangkat. Saya meragukannya tapi tidak ingin menghalangi siapapun. Biarlah hanya dia yang tahu batas fisiknya.
Saya juga mengkhawatirkan Jeannie. Ia jelas menunjukkan gejala awal AMS. Terutama menurunnya stamina dan kemampuannya berorientasi dengan medan. Seperti penderita AMS tingkat awal lainnya, Jeannie bersikap denial atau menolak kenyataan bahwa ia mengalami sakit ketinggian. Dalam percakapan pribadi dengan dokter, kami sepakat Jeannie mengalami AMS yang mengharuskan ia untuk aklimatisasi lebih lama. Saya menawar apakah Jeannie cukup aman melanjutkan perjalanan. Dokter menyatakan bisa. Hanya saja harus secara perlahan-lahan. Artinya berhenti di Dughla -sebuah desa antara Pheriche dan Lobuche. Walaupun jaraknya tak jauh tapi dibatasi puncak yang lumayan terjal. Untuk mengurangi efek AMS Jeannie diberi obat Diamox atau Acetazolamide sebanyak satu strip. Porsinya cukup setengah sehari. Saya sedikit lega. Mungkin setelah istirahat di Pheriche Jeannie akan membaik.
Nanung yang menyusul saya berhenti sesaat. Saya menengok, untuk melihat kondisinya. Ia masih dalam semangat yang tinggi. Yang pasti ia juga tidak menyadari tempat kami berhenti. Saya membiarkannya mengambil nafas sebentar sebelum saya tunjukkan chorten dengan tongkat trekking saya.
“Nung, coba delokan kae,” 1) tuding saya ke arah chorten yang dimaksud. Nanung nampaknya belum paham juga. “Iku lho diwaca sing ning ngisor,” 2} kata saya makin menegaskan. Rupanya kacamata ski yang dipakainya memberikan warna oranye, membuat ia kesulitan mengenali.
Ia nampak membaca, tak lama kemudian matanya memandang saya. “Lha kae sing neng Everest mbak?”. Saya senyum. Saya yakin dia sudah membaca kisah Into Thin Air. Jadi saya ngga perlu panjang lebar. Bergegas Nanung melangkah ke Chorten, melihat dengan seksama. Mengambil photo dan berdiri lama seperti tertegun. Sesekali ia mengelilingi tumpukan batu. Sedang saya memilih melihatnya dari jauh. Biarpun itu sebuah memorial, senyatanya bukanlah sebuah kuburan. Mayat Scott Fischer ada di gunung sana, sedangkan chorten ini sebuah tempat untuk menyampaikan doa kedamaian bagi ruhnya.
The field full of chorten of people who died on their attemp to conquer Everest or
the mountain ranges (Pumori, Lhotse, Ama Dablam)
the mountain ranges (Pumori, Lhotse, Ama Dablam)
Saya tetap berdiri di tempat semula. Saya memilih mengambil photo beberapa chorten yang berserakan dengan latar belakang gunung yang menakjubkan tapi mematikan. Ada sekitar 50-60 chorten yang disusun dengan acak. Ada yang besar ada yang hanya setumpuk batu tak bernama. Terkadang ada plakat yang menerangkan nama pendaki dan ekspedisi berikut tahun meninggal atau hilang. Sebagian menyebutkan tanggal kelahiran. Saya bahkan mencoba menghitung usia mereka. Sangat beragam. Dari berbagai negara : China, Korea, Jepang, Inggris, New Zealand, Amerika Serikat, Perancis dll. Beberapa malah ditulis dengan bahasa dan huruf asal negara. Chorten Scott Fischer ini adalah yang paling besar dan gagah. Namun berada diantara berserakan ratusan batu, mungkin tak banyak yang bisa mengenali.
Tempat ini sungguh menciptakan aura yang sendu. Terlebih hanya saya dan Nanung yang terlihat. Deru angin di kejauhan kadang terdengar. Angin semilir itu membuat bendera warna-warni berisi doa untuk para arwah pendaki di puncak sana berkibar dengan kencang. Beberapa mengeluarkan bunyi hentakan. Seperti sebuah nyanyian doa. Mungkin akan tersampaikan. Menemani tidur mereka yang abadi. Saya sengaja tidak terlalu mendekat. Ada kemirisan tersendiri mengunjungi chorten
Ini sebenarnya adalah chorten yang kesekian yang kami lewati. Salah satu yang jauh lebih besar adalah tak jauh dari Namche. Sebuah memorial untuk Tenzing Norgay pendaki pertama Everest dengan Edmund Hilarry dan juga untuk para sherpa di Everest menggenapi 50th pendakian Everest. Stupa yang baru dibangun pada 2003 itu terlihat mewah dan megah dibandingkan dengan chorten disini. Dengan bantuan dana dari Rolex dan donatur Eropa, stupa dengan ukuran diameter hampir 4m ini menatap gagah pegunungan Himalaya. Berdiri di pojokan jalan menjadikannya tempat yang tak mungkin terlewatkan.
Beda sekali perasaan saya antara Chorten Tenzing dan Fischer. Ketika menapak chorten Tensing ada kesan ‘joy’ kemuliaan, kejayaan dan sebuah sukses yang manis. Stupa juga dicat warna putih yang begitu benderang di tengah udara yang cantik. Enam buah pilar dengan gagah berada di kanan dengan bendera doa dalam posisi vertical. Mahkota yang keemasan memantulkan cahaya matahari, memberikan sorot wibawa. Tapi di chorten Scott tak bakal ditemui kemewahan itu. Begitu sederhana dengan atmosphere yang sedih, memilukan bahkan gelap. Batu vulkanis hasil muntahan aktivitas Everest jutaan tahun yang lalu meninggalkan jejak hitam di tanah. Beberapa butir es saya temukan, namun menjelang siang meleleh karena ganasnya matahari.
Tahun 1996 mungkin akan diingat sebagai tahun yang hitam dalam sejarah Everest. Tahun 1953 juga akan diingat sebagai sebuah paradoks. Mengingatkan saya manisnya sebuah sukses dan pahitnya sebuah kegagalan. Tak banyak orang memperhatikan kegagalan dan mengambil hikmah darinya. Terlalu banyak orang memuja-muja kesuksesan dan lupa. Bahwa terkadang kesuksesan juga menghasilkan kepahitan dikemudian hari.
Memperingati keberhasilan Everest 55th yang lalu tepat 29 Mei 1953
Catatan :
[1] Nung, coba delokan kae, bahasa jawa : coba lihat sebelah sana
[2] Iku lho diwaca sing ning ngisor, bahasa jawa ; itu lho dibaca dibagian bawah
[3] Lha kae sing neng Everest mbak?, bahasa jawa : lha itu yang di Everest mbak?
Labels: mountaineering, nepal, trekking
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home