Monday, October 23, 2006

Mountain Patrol Kekexili : Ketika Harmoni Dengan Alam Terusik


Saya nonton film ini ngg sengaja gara-gara ngg bisa tidur dalam perjalanan menuju Sunnyvale. Yang pertama mengusik adalah tema yang begitu tidak biasa yakni perjuangan melawan pemburu liar dengan mengusung bahasa ibu yakni China dan Tibet. Terlebih sesungguhnya film ini adalah produksi tahun 2004 yang kemudian peredarannya diambil alih oleh National Geoghraphic World Film, Colombia Pictures dan Samuel Goldwyn Film untuk diputar di bioskop2 dunia September lalu.

Film ini adalah semi dokumenter dengan lokasi yang sepenuhnya diambil di pegunungan Himalaya tepatnya di Kekexili Nature Reserve. Sebuah tempat yang tidak ramah di belahan bumi ini di ketinggian diatas 5,000m. Antara Germu, Wudaoliang hingga ke Gunung Kunlun untuk bercerita tentang kisah harmoni alam yang terusik. Kekexili dianugerahi binatang antelope (chiru) yang terancam keberadaannya oleh pemburu liar. Dalam waktu kurang dari 10 tahun populasi antelope berkurang dari 1 juta menjadi hanya 10ribu karena diburu untuk diambil kulitnya sebagai pashima atau kain wool

Karena tidak mampu mendapat dukungan dari pemerintah China akhirnya sekelompok penduduk membentuk tim sukarela untuk melawan para pemburu liar demi menjaga keberadaan binatang ini. Mereka bekerja keras ditengah alam yang keras, suhu yang rendah, dan terkadang harus dibayar nyawa.

Cerita diawali dengan kedatangan seorang photografer dari Beijing bernama Ga Yu (Zhang Lei) untuk meliput tentang meninggalnya seorang anggota patroli di Kekexili ini. Ri tai (Duo Bujie) sang komandan patroli menerima Ga Yu dengan tangan terbuka dan mengajaknya untuk melakukan patroli bersama selama 17hari. Ini tercatat sebagai patroli terakhir dan paling berdarah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemandangan alam Tibet adalah kekuatan film ini, tapi sebenarnya yang menjadi sisi lain adalah kemampuan sutradara untuk memainkan karakter individu dengan sangat dinamis dengan pergulatan emosional yang sangat dalam. Sutradara muda Lu Chuan memilih untuk tetap mengambil lokasi sesuai dengan cerita sebenarnya walaupun harus dibayar dengan mountain sickness yang dialami hampir semua crew. Bahkan suatu saat ia tidak mampu berkata, memberi perintah untuk meneruskan pengambilan gambar.

Film ini bukan untuk mengambil simpati atau bercengeng ria. Namun sebuah pelajaran berharga tentang kekuatan survival dan keteguhan untuk mempertahankan alam. Beberapa bagian film ini begitu menampar saya tentang kerasnya kehidupan Himalaya. Ketika seorang anggota patroli mengejar pemburu liar ia harus berakhir dengan AMS (acute mountain sickness) ditandai berhentinya detak jantung. Salah seorang terjatuh dengan darah keluar dari mulut dan telinga.

Atau seorang patroli Gua Liang yang berakhir dengan begitu mengenaskan ditelan keganasan pasir (quicksand) tertelan hidup-hidup di tengah padang tak bertuan. Jelas film ini menawarkan kekerasan namun tidak seperti kekerasan mafia. Ini adalah kombinasi kekerasan manusia dan alam. Sebuah ajakan untuk merenung bahwa manusia mempunyai tenaga destruktif yang luar biasa.

Film ini meraih berbagai penghargaan termasuk 2004 Golden Horse Award Taiwan, 2004 Special Jury di Tokyo dan salah satu nominasi 2005 Sundance Film Festival -sebuah festival film independent ternama di jajaran film US. Jadi memang pantas untuk dinikmati.

Links :
  1. Untuk melihat production diary bagaimana film ini dibuat dengan perjuangan para kru dan aktor silakan klik disini
  2. Review menarik dari New York Times disini
  3. Kekexili di Movie Data Base disini
  4. Save the Chiru

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home