Friday, January 14, 2005

Intermezzo : Susahnya Jadi Orang Indonesia

Cerita ini sebagai gambaran betapa susahnya mencari visa untuk sekedar berkunjung ke negara-negara Eropa bagi orang Indonesia seperti saya. Perlu diketahui seperti halnya ASEAN, negara-negara Eropa mempunyai perjanjian untuk bebas visa tourist. Sialnya Indonesia adalah salah satu dari negara-negara yang harus mendapatkan visa yang biasa disebut schengen visa. Kita harus apply pada negara yang menjadi main destination atau negara pertama yang kita singgahi tiap kali kita kesana. Payahnya lagi tiap negara Eropa mempunyai kebijakan sendiri atas terbitnya visa ini. Dari biaya hingga cara untuk apply-nya.

Ireland

Lucunya walau Ireland ini masuk UNI-EROPA, tapi karena ia tidak terletak di mainland maka Ireland bukan termasuk schengen visa (bingung ? jangan kuatir aku juga begitu....). Syaratnya kudu datang sendiri ke Embassy di London (yang letaknya pas di depan Harrods -tokonya Al Fayed itu), punya visa UK minimal 3 bulan, ngisi formulir, akomodasi, bank statement, surat tugas/surat sekolah dan tiket pesawat kalo sudah confirm. Saya dua kali berkunjung ke Ireland dan sama sekali nggak ada keluhan. Mereka sangat professional dan nggak pilih-pilih. Cuma prosesnya rada panjang minimal tiga minggu dan biasanya semua surat asli ditinggal untuk dicek kebenarannya. Visa dan paspor dikirim per surat tercatat. Biaya untuk sekali kunjung kalau nggak salah Euro 30.

Kunjungan pertama waktu itu ke Dublin diteruskan ke Co. Wiclow. Karena mendarat di ibukota, imigrasi jadi ketat banget. Saya difoto lagi plus ditanya tiket pulang plus dicap harus pulang pada tanggal yang ditentukan (ampuuuunnnn !!!!!!!). Sedang kunjungan kedua di Cork yang terletak di daerah sehingga imigrasi nggak terlalu peduli (cuma dilirik dan nggak dicap lagi !).

Sweden dan Denmark

Atas undangan seorang kawan saya berkunjung ke kota Malmo sebelah selatan Swedia. Saat saya apply di Embassy Swedia , saya baru pertama kali main ke London. Jadi celingukan, liat-liat jalan. Untung saya bawa peta segede dua kali kertas manila jadi ngga tersesat. Embassy-nya sendiri di sebuah gedung di kawasan Bond St yang terkenal untuk shopping (sayang nggak hobby). Pas nyampe disana hampir saja ditolak karena sebenarnya sudah tutup. Tapi dengan muka memelas akhirnya diterima dan bahkan dipercepat mungkin setelah melihat ransel saya yang kumuh (he..he..he). Sama halnya syarat-syarat diatas plus surat undangan dari kawan dan surat dari universitasnya. Waktunya juga sekitar tiga minggu dan dikasih juga limited untuk sekali berkunjung.

Di Malmo sendiri, imigrasi biasa aja. Cuma ditanya keperluan dan kapan pulang. Dua hari kemudian saya naik kapal ferry ke Copenhagen Denmark dan sampai disana nggak ada pemeriksaan sama sekali. Bebas-bebas saja....


Portugal

Ini misi bunuh diri. Memang saya sadari bahwa kemungkinan untuk memperoleh visa sangat-sangat tipis. Dosa sejarah kita sebagai bangsa Indonesia di Timur Leste sangat mempengaruhi opini pemerintah Portugal terutama terhadap WNI yang ingin sekedar berkunjung.
Ceritanya saya dapat undangan main ke holiday house seorang kawan (ia bukan orang Porto). Rumahnya ini terletak di pantai Portugal. Ia bahkan memberikan surat undangan khusus ke saya untuk keperluan administrasi. Dengan berbekal nekad tapi penuh perhitungan saya coba apply di kedutaan Portugal di London yang letaknya ngga jauh dari Embassy Ireland.

Karena buka pagi membuat saya berangkat dari rumah sekitar pukul 5 dan nyampai di London masih seeepiiiii banget. Eh pas di gedungnya yang antri sudah lumayan (ada sekitar 20an). Kesan saya yang paling dalam tentang kedutaan Portugal adalah sangat tidak proffessional. Tidak ada petunjuk untuk loket (saya terdampar di bagian pengurusan passport) juga mereka ngga mempersiapkan staff yang lihai berbahasa Inggris. Pas-pasan saja. Payahnya bagian pengurusan visa schengen hanya dikerjakan satu orang. Bayangkan mulai memeriksa formulir dan data, interview singkat, menerima telpon, penulisan dokument dsb dikerjakan satu orang di sebuah ruangan yang sangat sederhana (komputer hanya satu plus printer Inkjet). Ini mengingatkan saya saat pengurusan KTP di kantor kelurahan (asli ! bangkunya juga reyot banget...)

Meski saya sudah bayar tapi ini bukan jaminan untuk memperoleh visa. Passpor saya cuma dikasih nomor dan mereka akan kontak saya apakah visa dalam posisi granted (dijamin) atau refused. Dua minggu kemudian mereka mengirimkan surat berisi penolakan visa dengan alasan yang tidak dijelaskan. Dongkol tapi gimana lagi yah.... batal sudah ke Portugal.

Dutch (Holland)

Karena kesibukan saya memilih apply visa schengen melalui Konsulat Belanda di Birmingham walau sebenarnya tujuan saya ke Italy. Ini cuma untuk ngakalin biar saya nggak diributkan urusan bolak-balik London. Tapi saya keliru besar. Karena lamanya proses membuat mereka ngga bisa ngasih visa di hari saya seharusnya berangkat. Saya juga harus ke Dutch Embassy di London untuk collect visa. Stress banget pokoknya...
Syaratnya sebenarnya sama saja. Cuma mereka minta kita lebih mendetail perjalanan termasuk sudah booking hotel dan pesawat (semuanya dengan bukti pembayaran penuh). Kita juga harus bikin appointment dulu melalui mesin penjawab dan diberi hari dan jam kita datang. Perjalanan ini sebenarnya untuk meng-cover kegagalan saya memperoleh visa schengen melalui Portugal (hiks...masih sedih)

Kantor Konsulat Belanda di Birmingham letaknya menyempit di lantai 3 sebuah gedung. Memang agak tersamar karena lantai bawah digunakan untuk praktik dokter (ha ???). Toh saya harus antri walau nggak separah di Kedutaannya di London. Disana saya harus stand by jam 1 siang nggak lebih dan nggak kurang. Antri diluar pagar. Untung saja letaknya di dekat Regent Park jadi ada pemandangan (alam dan orang2) yang lumayan menyegarkan. Anyway walau saya akhirnya mendapatkan visa Belanda tapi kenyataannya saya belum pernah main ke Belanda !!!!

France

Inilah pencarian visa yang paling melelahkan, paling makan biaya dan paling penuh pengorbanan. Saya mengimpikan pergi ke Perancis karena budaya dan arsitekturnya. Sejak tahun 2002 saya berusaha apply lewat Embassy-nya di London. Kebetulan tahun itu ada kawan disana yang mengundang plus tentu segala administrasinya. Beberapa kawan menganjurkan agar saya datang sepagi mungkin untuk antri di depan kantor. Bahkan saya sempatkan menginap di Wisma Nusantara kepunyaan KBRI agar memudahkan transportasi.

Saat itu awal winter dengan temperature udara di luar sekitar 2-4C di saat subuh. Tak dinyana ketika disana telah antri hingga sepanjang satu blok (kira2 sekitar 300an) orang. Yang antri di depan bahkan menggunakan sleeping bag plus tenda selayaknya camping di alam bebas. Dengan nekad saya langsung gabung, dan antrian bukannya berkurang malah meningkat dua kali lipatnya. Hingga tengah hari saya hanya bisa maju sekitar 50m saja. Kemudian datang pengumuman bahwa Embassy tidak melayani visa lagi hari itu. Hahh....dengan mangkel bercampur lapar saya pulang dengan tangan hampa (total antri diluar 8 jam dengan suhu minumum)

Rencana ke Paris saya tunda hingga terdengar kabar bahwa mereka sudah punya sistem yang lebih profesional. Oke saya coba deh...Saya datang lagi ke London khusus untuk mendapatkan nomor appointment plus harinya. Saat itu saya dapat sekitar nomor 159 tapi karena lain hal (saya ngga inget), terpaksa appointment saya batalkan lagi
.
Akhirnya usaha terakhir di tahun 2004 ini. Untuk meminta appointment kita harus telepon dengan tarif premium (habis kira2 £10) untuk mendapatkan hari dan jam. Kita juga hanya boleh antri diluar paling tidak 1 jam sebelum waktu kita. Hmmm lumayan prof juga. Kemudian ketika masuk Embassy (plus pemeriksaan sekuriti yang rada ketat) kita lantas diminta menyerahkan formulir dan data. Saya sempat tarik urat dengan petugas yang menanyakan status saya. Bahkan dia meminta saya balik lagi esok hari. Saya menolak dan saya katakan bahwa saya travelling ke London makan waktu 3 jam.

Ok, lantas setelah bayar semuanya (ngga jaminan dapet visa) bukannya tambah gampang. Kita nunggu lagi untuk loket selanjutnya. Ini yang lebih parah. Interview layaknya argumentasi walau mereka nampak manis. Saya hanya diberi nomor referensi dan dalam dua minggu mereka akan kirim surat untuk melihat posisi saya. Oya untuk visa France ini mereka minta semuanya plus asuransi kesehatan yang mencover perjalanan. Anehnya mereka juga minta tiket pesawat ke Indonesia (ngapain juga??) tentu saja saya tolak.

Sudah itu sambil nunggu surat datang saya harus telpon lagi (dengan tetap tarif premium) untuk meminta appointment collect visa walau saya ngga yakin bakal digranted (yah kalo gagal ya nasib...). Hingga dua minggu kemudian surat datang menyatakan saya harus ke London untuk melengkapi beberapa persyaratan.

Lalu balik lagi ke London, antri lagi dan akhirnya saya hanya diberi visa sekitar 6 hari ke Paris. Meski penuh perjuangan saya cukup puas "mengalahkan" mereka.

So teman-teman memang dimanapun urusan visa paling menjengkelkan. Dan tercatat hanya Switzerland sajalah negara di Eropa yang kita bebas masuk. Itupun dengan syarat kita punya visa tinggal di negara Eropa paling tidak 3 bulan. Pengalaman saya bahwa kita memang kudu maju terus pantang mundur kecuali memang secara official kita dinyatakan ngga bisa lagi. Sebagai latihan mungkin kita ngurus SIM dan KTP sendiri tanpa pelicin tanpa calo (saya paling anti). Ini melatih kesabaran dan seni bernegosiasi dengan birokrasi.
Ini bukan perkara nasib tapi kerja keras dan tentu banyak bertanya pada rekan-rekan yang mempunyai pengalaman. Cerita ini sebagai sharing saja siapa tahu kita ditakdirkan bisa merambah tempat yang kita tidak pernah duga.

Salam jauh
Ambar

http://indobackpacker.com/content/view/75/1/




Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home