Monday, January 5, 2015

Merefleksi Oleh-oleh, Souvenirs dan Buah Tangan


Bagi seorang penyuka jalan, souvenirs adalah keharusan. Tapi pernahkah terlintas untuk siapa sebenarnya souvenirs tadi?

Bukahkah hadiah adalah wujud perhatian dan cinta pada teman, kekasih, suami, istri, orangtua? Really? Memanifestasikan hadiah dari perjalanan kita mengandung banyak unsur. Oleh-oleh, souvenirs dan buah tangan bisa saja diwujudkan benda, bisa dimakan ataupun tidak, bisa disimpan atau tidak.

Kawan saya pernah curhat. Ia dihadiahi kawannya sebuah kain cantik ketika kembali dari India. Tapi begitu hubungan mereka berubah, sang pemberi hadiah serta merta meminta kain itu kembali. Dalam perspektif saya, esensi 'memberi' adalah ikhlas. Entah barang entah tenaga entah uang. Jadi benda yang telah kita berikan pada seseorang sebagai oleh-oleh adalah ikhlas untuknya. Tak usah disesali ketika hubungan itu berubah. Toh mungkin memang hanya sebatas itu penghargaan orang lain terhadap saya. Toh pada saat itu saya memang mencintainya.

Disisi lain, sebagai penyuka jalan saya tidak pernah meminta oleh-oleh tetapi tidak menolak jika ditawari yang berarti bersifat tidak mengikat. Ini karena saya yakin mereka cukup sibuk dengan perjalanannya dan mungkin tidak akan sempat membelikan 'pesanan'. Sakit hati? tidak juga. Karena itu tadi, saya tidak meminta.

Tidak meminta juga mempunyai sisi lain, yakni kita jadi tidak berharap. Itu juga tidak merubah hubungan saya dengan teman yang sengaja/tidak, ternyata lupa sama sekali membawakan oleh-oleh. Toh benda hanyalah benda, sedangkan bukti persahabatan tidak harus diwujudkan barang. Dalam hal ini saya menghargai persahabatan lebih tinggi dari sekedar oleh-oleh.

Saya kemudian mulai membeli untuk diri sendiri, sebagai pengingat atau kenangan mengunjungi sebuah tempat. Kaos, topi, pin, magnet kulkas, gantungan kunci. You've named it! Tapi pada suatu hari saya tertegun ketika seseorang meminta untuk dibelikan satu gantungan kunci. Sebuah benda tentang negara yang tidak ia kunjungi, tidak ia alami dan hanya ia mimpikan. Saya jadi jatuh kasihan. Saya ternyata menawarkan impian kosong. Dari situlah saya berhenti membeli oleh2 'pesanan'.

Kosentrasi saya berubah pada benda untuk orang lain menjadi benda untuk mengingatkan pada sebuah tempat yang pernah saya kunjungi. Yang saya cari pun adalah benda yang unik, yang tidak bisa saya dapatkan di tempat lain. Bukannya gantungan kunci Made in China.

Barang itu sepele saja, mungkin sangat tidak berharga jika dibawa. Topi pandan misalnya. Saya peroleh di Nias yang ternyata diberi tandatangan dan nama kawan yang saya temui disana. Harganya hanya 5ribu, buatan tangan seorang ibu yang saya kenal ketika mengajar anak-anak disana. Di Nepal saya membeli bel (klenthengan) yang tergantung di leher binatang yak di sebuah warung kecil penjual teh dalam perjalanan trek ke Kala Pattar. Bunyi bel itu mengingatkan saya pada perjalanan panjang melewati pegunungan berdebu dan bersalju. Irama dengungnya masih terngiang ketika saya kembali pulang. Ada moment yang saya ingin simpan di ingatan dan kehidupan sekarang.

***

Tidak ada konsistensi barang apa yang saya simpan. Terkadang kain, di lain waktu mungkin hanya sebuah mainan anak-anak. Tetapi setiap belahan benda itu memberikan kenangan dari bagian perjalanan saya.

Ada benda yang membuat saya teringat tentang bayi dan anak perempuan di pegunungan Sapa, Vietnam. Kisah mereka sangat melekat karena anak-anak perempuan disana menikah diusia dini. Tak jarang mereka menggendong bayi padahal masih berusia 14tahun. Karena itu topi bayi adalah simbol kenangan yang paling berkesan disana. Juga sebuah dompet anyaman dari serat pohon di Serawak. Saya peroleh ketika selesai trek di Mulu menuju suku Dayak. Polanya sederhana, dengan warna seadanya. Tapi kenangan tentang pohon tropis Kalimantan yang makin tipis membuat saya tergerak memperolehnya.

Saya berusaha agar souvenirs itu adalah hasil kerajinan tangan, bukan produksi massal. Terutama barang itu dihasilkan oleh kalangan/suku yang merupakan bentukan seni mereka, cara berekpresi dengan sebuah benda. Guratan di batang, kain dari bahan alami, atau manik-manik dari biji-bijian. Selain itu, membeli langsung dari mereka sangat disarankan. Bukan melalui toko atau tangan ketiga keempat yang mungkin membuat harga melambung tinggi karena mengambil fees perantara. Terkadang usaha membuat oleh2 ini adalah satu2nya yang membuat suku/budaya itu bertahan.

Menghargai buatan tangan entah itu benda yang bisa disimpan atau tidak, adalah proses kita menghormati tempat yang kita pernah kunjungi, orang yang kita temui dan pengalaman yang kita bagi dengan mereka. Sekali lagi cinta pada orang lain bisa kita wujudkan dari benda itu. Terdengar egois, tapi mungkin tidak jika kita melihat dari kacamata yang lebih lebar. 

Jadi cintakah kita pada benda, orang lain atau tempat kita berkunjung sebagai manifestasi semata?

Buat saya, itu lebih dari sekedar cinta.


PS: renungan ini diilhami posting Matt Gross di Frugal Traveler disini permintaan seorang reporter tentang koleksi dari perjalanan. Tulisan ini muncul pertama sebagai bagian diskusi di Milis Indobackpacker 1 Juni 2010. Kemudian muncul tanggapan dari anggota2 milis yang saya sarikan beberapa hari kemudian:



Dear kawan2 Indobackpacker,


Terimakasih banget atas masukan dan sharing soal oleh-oleh/souvenirs. Sebenarnya tulisan saya itu hanya untuk mengajak kawan-kawan merenungkan arti souvenirs. Ngga menduga akan menjadi sebuah wacana panjang. Kebetulan saya terkesan banget dengan salah satu koleksi Matt Gross yang menyimpan biji karet setelah mengunjungi sebuah perkebunan di Kamboja.

Ada rekan yang ngga setuju dengan memberikan gantungan kunci sebagai harapan kosong seperti yang diutarakan Ade. (Other story: saya dulu pernah diberi gantungan kunci seorang kawan. Saya malah lebih terkesan pada crita dan koleksi photonya. Toh ini tidak membuat saya pengen ke negeri itu. Sekali lagi ini hanya serendipity -proses yang berujung pada kejadian sebenarnya.) Sedangkan rekan Zanni menggaris bawahi bahwa, "Orang yang tidak pernah memberi perhatian ke orang lain berarti orang itu tidak sayang dirinya sendiri." Reli juga menyatakan terkadang pemberian pada orang lain itu akan dihargai tinggi sekali walau hanya "sebuah gantungan kunci made in china."

Beberapa teman bahkan menyarankan untuk melupakan kebiasaan menagih oleh2 pada kawan ketika abis jalan. Seperti kisah Nirwana dan Muara yang lebih menekankan pada photo dan cerita. Yang rupanya jadi pilihan utama teman-teman adalah lebih memilih membeli makanan ketimbang pernik2 seperti yang disampaikan Fajar Triwahyudi, Yudha, Mutia Muliasih. Pemberian yang merupakan hasil kerajinan tangan (entah dimakan atau tidak) juga disampaikan Puguh dan Oggi sebagai wujud hadiah yang lebih personal.

Teman-teman juga setuju bahwa memberikan oleh-oleh itu adalah sebuah 'budaya'. Bahkan Richard menceritakan tradisi ini tak hanya di Indonesia semata. Andri juga menuturkan pengalaman yang sama di Jepang, Korea dan Thailand.

Disini saya hanya menegaskan proses berpikir tentang memberi oleh-oleh menjadi 'membeli untuk mengenang perjalanan'. Pertanyaan asal saya: pernahkah kita berpikir sebenarnya untuk siapa hadiah itu? Ini tidak saja diwujudkan kepada si penerima tetapi lebih kepada siapa yang membuat. Pernah ngga sih kita berpikir siapa yang membuat oleh-oleh itu. Sebagai pejalan lantas apa fungsi kita? pembeli, penikmat atau sekedar menjadi bagian dari budaya itu sendiri. Itu yang ingin saya posisikan disini.

Saya menyerahkan sepenuhnya pada rekan-rekan. Ketika kita membeli sesuatu, coba ingat kepada siapa kita membeli dan bagaimana proses membuatnya. Juga tentu mencintai si pembuat adalah aspek berikutnya setelah memberikan kepada orang terdekat.

Salam,
Ambar

Thanks untuk rekan yang memberikan respons: Ade Nastiti, Andri, Edith Suganda, Estiadi, Fajar Triwahyudi, Muara Sianturi, Mutia Muliasih, Nirwana Saloka, Sari Musdar, Reli, Puguh Imanto, Oggi Gunadi, Richard Lubis, Yudha, Zanni.



Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home