Mt Lawu versi Tektok : Melarikan Diri di Kesunyian (part 2)
Saya tidak tahu arti tektok. Tapi menurut perempuan tangguh ini, tektok artinya melakukan pendakian cepat dengan bawaan ringan. Saya lebih suka memanggilnya jugcing (ujug-ujug tur plencing artinya tiba-tiba datang dan langsung pergi). Mirip toh he he he…*maksa*
Sebenarnya mungkin pola naik gunung saya seperti itu. Ngga suka menghabiskan waktu lama2 di puncak dan lebih memilih menikmati prosesnya. Excercising sembari meng-apresiasi apa yang ada di sekeliling.
Saya jadi mengamati alam dengan seksama. Saya bisa melihat geliat burung yang loncat kesana kemari, edelweiss harum ketika basah, tetesan air di dahan kering. Hal2 kecil yang alpa terlihat. Iyah saya belajar naik gunung dengan diam. Dalam arti yang sesungguhnya. Tanpa distraksi tanpa hape tanpa teman. Hanya saya dan pikiran mengembara.
Pas Pengendalian – Pos 1 Wesenan – Pos 2 Watugedhek – Pos 3 Wolu Gedhe. Pagi itu cerah sekali, bentuk pundak Lawu terlihat jelas.
Saya memandang puncak dengan gamang. Seperti biasa saya selalu nerveous, ada keraguan. Kok tinggi ya. Padahal seingat saya enggak segagah itu. Ah ya duluuuuu saya naik Lawu selalu malam hari, jadi mana sempat lihat bentuknya. Pendakian Massal lagi ….*halah khas anak sma*
Semburat kuning di langit yang tadi muncul mulai menerangi langkah saya. Jalak Gading burung dengan suara ramai mulai bersiulan. Saya diwanti-wanti oleh Mas Jaga untuk tidak menganggu jalak ini.
Setelah jalan 30 menit melewati kebun penduduk saya mulai kepanasan. Tadi memang saya putuskan untuk tidak sarapan. Kosong. Saya kapok, pernah sarapan pagi jadi muntah karena otot yang seharusnya untuk mencerna makan saya paksa untuk jalan.
Kanan kiri saya adalah pohon yang sepertinya terbakar. Jejak hitam masih terlihat di batangnya yang jadi arang. Entah kebarakaran disengaja atau tidak.
Saya melewati warung, tutup. Tidak ada tanda kehidupan apapun. Sambil jalan saya membuat planning. Menurut teori 4-5 jam adalah waktu yang cepat untuk sampai puncak. Jika saya mulai pukul 430 pagi paling tidak saya nyampe puncak 930. Itu kalau dengkul tuwo ini bisa dipacu. Ok saya liat performance dululah hingga pos II. Apalagi jarak pos jaga-pos II (4km) bisa dibilang separoh jarak total.
Bekal saya hanya cukup hari ini saja. Saya termasuk peminum berat, jadi 5liter agak mepet. Makanan hanya beberapa coklat, permen 20-30biji, energy boost (seperti gel yang berisi kalori 125mg) beberapa biji untuk jaga2 kalau saya muntah.
Setelah dua jam saya putuskan brenti dan makan. Keroncongan bener…sebuah energy boost plus separoh coklat. Saya nyesel kok ngga bawa buah ya. Lumayan sebenarnya mengganjal perut. Saya pernah kena maag berat jadi soal konsumsi agak ati2.
Saya mulai kringatan. Minum memang ditaruh di camel bag, masuk ke ransel. Jadi saya tinggal sedot. Air minum yang saya campur butiran elektrolit sisa trekking Everest April lalu (walah….masih ada ternyata, sayang dibuang).
Sejak pos jaga saya juga menyalakan tracking gps. Halah bukannya takut ngga nemu jalan, tapi untuk saya buat catatan saja. Beberapa kali sempat kehilangan sinyal, tapi secara umum tidak terlalu rimbun dan tinggi.
Aneh, saya enggak takut atau nervous lagi. Mungkin karena sudah ngga gelap. Atau saya terlalu asyik menikmati hutan.
Pos 1 Wesenan saya lewatin karena sudah istirahat tadi. Saya mulai hitung2 stamina dan waktu. Saya merasa lambat sekali. Atau ini pertanda saya mulai tua yah…
Pos 2 Watugedhek saya kejar. Teteup merasa lambat. Saya bahkan ngga mengeluarkan kamera sesering mungkin. Saya nikmati pemandangan ini untuk diri sendiri.
Naik gunung sendiri selalu dituding egois. Iyah memang. Tapi sendiri juga menuntut tanggung jawab moral yang besar terhadap orang disekeliling kita. Orangtua, pacar, suami, anak, kawan.. Paling tidak kita punya batas kemampuan untuk menjaga diri sendiri. Tidak ada yang bisa dimintai tolong kalau terjadi apa2. Bahkan pada hape sekalipun.
Dulu jaman sekolah, gunung adalah tempat untuk berlabuh (tiiiit salah….pelabuhan mah di pantai). Maksudnya tempat untuk membawa lari permasalahan. Entah pacar atau nilai ulangan yang jeblok.
Saya senyum. Pendakian Massal Lawu dulu saya harus ‘bohong’ pada bapak. Saya bilang kemping. Saat itu gunung juga pelarian ‘tekanan’ di sekolah (hiks... secara statistik angka bunuh diri teman alumni sma saya memang tinggi). Sekarang?
Gairah itu tidak saya temukan lagi. Mungkin saya hanya butuh tempat untuk sendiri. Merenungi perjalanan hidup yang mirip2 naik gunung. Setapak demi setapak, jangan liat puncak tapi liat jalan di depan. Philosophi yang saya pegang teguh hingga sekarang.
Suara desah angin membangunkan saya. Pandangan saya edarkan ke sekeliling. Masih hutan, tapi saya merasakan kabut mulai turun. Jam menunjukkan pukul 830 pagi. Saya masih di pos 3. Tadi saya lewati saja. Berhenti hanya membuat catatan waypoint.
Langkah kaki saya mulai gontai.
(to be continued : ternyata puncak bukan segalanya)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home