Monday, December 10, 2007

Mt Lawu versi Tektok : Mendaki Sendirian (part 1)




Mau naik gunung sendiri?

Ra sah kewanen jo, mengko nek ana apa-apa seng keno ya aku. Begitu kira-kira kata Mr C kesaya (note : translate-nya seenak sing nulis yaks). Dasar keras kepala saya nekat. Saya bilang, lha wong jalannya mulus kok. Ngga ada hidden passage-nya atau tantangan berarti. Ngga ada via-ferrata, ngga ada scrambling2an. Lurus rus. Lagian ini memang bukan untuk mengejar self-praising. Narsis photo-photo di puncak maksud saya. He he he…

Ngga susah meyakinkan keluarga di rumah. Ibuk saya sudah terbiasa dengan ‘ilangnya’ saya. Hanya Paklik saya yang rada khawatir walau tidak ditunjukkannya dengan nyata. Sejak bapak meninggal, beliaulah yang mengawasi anak2 wedok mbeling ini. Mr C yang saya minta ijin cuma pesan, nek ana apa-apa telpon ya (secara kemudian tahu bahwa ndak ada sinyal disana dan dia tahu tabiat saya yang jarang ngidupin hape klo naik gunung).

Magetan 31 Oktober 2007 jam 11an setelah packing bawa makanan dan minum seadanya

Saya nyegat kendaraan ke Sarangan dari depan rumah paklik saya. Cuma lima rebu saja, diantar ke pertigaan menuju arah Tawangmangu. Saya tahu susah sekali angkot kesana. Kalau enggak hitchhiking atau terpaksa ngetem berjam. Jadi sebaiknya memang sebelum siang nyampe sana.

Saya duduk samping pak sopir. Dari ransel saya ia menebak akan naik gunung Lawu. “Mbak koncomu sapa?” tanyanya sopan. Saya jawab kalau akan ketemu teman2 di Cemoro Sewu. Hmm mekanisme self-protection saya bekerja. Terutama kalau sendirian, saya selalu ‘berbohong’ bahwa ada kawan yang saya temui. Lantas kami cerita macam2. Dia juga menwarkan mencarikan guide ke puncak. “Lewat dalan anyar mbak, luweh cepet. Mung 3 jam tekan puncak” katanya meyakinkan saya.

Telung jam gundulmu. Lha iku sikil ngendi Pak, batin saya. Jangan dibandingkan dengan anak2 muda itu. Dengkul tuwo begini, awak cilik ngene. Saya menampik dengan halus. Ia menurunkan saya di pertigaan dekat ticketing. Saya turun dan langsung disambar sopir angkot lain. “Cemoro Sewu Mbak?”

Saya mengangguk. “Suwe ora Mas?” tanya saya menyakinkan apakah ia akan ngetem lama. Dia bilang tidak. Oke walau ragu saya langsung masuk. Didalam sudah ada dua orang laki2. Alarm saya langsung berbunyi, tapi saya amati mukanya. Ah mereka baik2 kok. Terlihat dari satu orang yang tersenyum ramah.

Sambil ngetem, ia menyapa saya. Rupanya ia memang mau ke Tawangmangu setelah puter2 Jawa Timur sehabis lebaran. Sendirian, sama seperti saya. Masih muda, sekitar dibawah 25 tahun. Kami ngobrol sambil ia meneruskan merokok. Beginilah kalau di Indonesia, pasti dikelilingi asap.

Cemoro Sewu 13.00 berawan, berkabut tapi tidak dingin

Saya diturunkan dekat warung, sekitar 5 menit jalan dari pos. Tebakan saya benar. Karena bukan sabtu minggu tidak ada warung yang buka. Duh cilaka tenan. Saya hanya beli makanan, permen dan tambahn air minum di warung cilik.

Saya menuju pos, lapor. Disana ada anak muda berjaga dan seorang ibu menyusui bayi 6 bulan. Yang jaga bertanya dengan siapa saya naik. Dia agak tidak percaya ketika bilang au naik sendirian. Tapi tampaknya ia sudah biasa dengan banyaknya peziarah nekat. Tapi jelas potongan saya bukan peziarah. Kalau nekatnya mungkin mirip he he he…

Saya ngobrol dengan ibu tadi dan bermain dengan adik bayi. Mereka ternyata baru turun dari Lawu setelah menghabiskan 2 malam di puncak. Wow! Hebat nian adik bayi ini. Dia nampak sehat gembira, cuma hidungnya meler umbel. Ibuknya yang terlihat kecapaian, kakinya kaku. Susah digerakkan. Efek naik gunung, otot tertarik asam urat menumpuk.

Bapak si Bayi tadi nongol. Makin ramelah kami ngobrol. Crita soal kenapa membawa bayi ini ke puncak Lawu. Mistis pokoknya. Kalau saya cerita bisa2 jadi kolom oka-oka.

Sore itu hujan deras sekali. Sangat deras. Saya bersyukur dalam hati. Biasanya setelah hujan deras sore, cuaca akan cerah paginya. Saya membatalkan naik malam. Takut ah…atau gara2 cerita mistis bapak tadi ya.

Saya memilih tidur di ruang recovery, soalnya lebih hangat dan ada teve-nya lagi he he he. Jadilah malam itu saya habiskan nonton teve. Sore itu sang bapak memasak nasi dan oseng2 tempe dan telor ceplok sebagai hidangan makan malam. Saya diajak makan bareng. Enak sekali. Sang adik bayi juga makan dengan lahap.

Malam itu saya tidur dengan lelap. Hujan masih turun hingga tengah malam. Saya memakai jaket untuk selimut, disamping saya adalah ibu dan bayi dalam kungkungan sleeping bag yang hangat.


Pos Jaga 430 pagi, langit cerah sekali. Semburat merah mulai terlihat.

Bergegas saya bersiap. Cuci muka bersih2 pipis beol. Cek lampu cek baju dan berangkat. Semua masih tertidur jadi saya ngga bisa pamit. Saya melangkah pelan. Masih gelap di jalanan. Jalur masih bisa dilihat dengan mata telanjang (eh sori pake kacamata kok). Jadi saya matikan headlamp.

Saya berjalan dalam diam. Saya amati betul suasana pagi hari. Burung2 mulai datang, angin bertiup lembut. Hawa dingin terasa di pipi. Langit begitu cerahnya, saya hirup udara pagi. Memenuhi paru-paru. Saya cium aroma hutan.

Langkah kaki saya terayun dengan pasti.

(to be continued : tunggu besok yah)

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home