Tanggung jawab terhadap porter dan guide itu
Curhat Amy tentang perlu tidaknya guide dan porter membuat saya jadi inget pengalaman trekking dengan mereka. Merapi, Kinabalu, Perbatasan Thailand, dan banyak tempat yang mungkin akan saya kunjungi nanti.
Jadi apa sih bedanya porter dan guide? Sebenarnya bedanya besar sekali. Porter –sesuai dengan namanya lebih sebagai ‘port’ atau memindahkan barang. Bahasa kasarnya yah tukang angkut barang. Sedang guide adalah lebih ‘terpelajar’ dalam arti mereka mempunyai pengetahuan lokal, mampu berkomunikasi, bisa menunjukkan arah dan jalan karena mengenal medan dengan baik.
Baik porter dan guide biasanya diambil dari penduduk sekitar trekking atau pegunungan. Biasanya mereka hidup sebagai petani dan menjadi penunjuk jalan adalah pekerjaan sampingan mengisi masa2 tenggat panenan. Seorang guide bisa jadi juga seorang porter. Misalnya jika ia telah merasa memiliki kemampuan komunikasi dengan pendaki terutama bahasa inggris. Naik pangkat antara guide dan porter juga sangat-sangat tipis. Tidak ada jenjang karir yang jelas.
Hasil obrolan saya dengan guide di Kinabalu adalah mereka ini harus menjadi porter dulu sebelum menjadi guide. Dalam masa didikan itu (oleh Nat Park dan managementnya) mereka diajarkan berbagai skill seperti pengetahuan logistik (mempersiapkan makan dengan higienis), menyediakan air minum, menyiapkan menu & masakan). Bahkan P3K dan rescue jika ada yang sakit atau kecelakaan.
Jelasnya ada sekitar ratusan guide di Kinabalu yang sebagian besar dari penduduk suku Kundasang. Cerita ini mirip banget dengan porter dan guide di Rinjani. Sewaktu kesana, Ani –porter saya adalah seorang guide. Kami memang bilang hanya butuh2 orang porter. Tapi ternyata telah ada Pak Ani (guide) dan Pak Efi. Pak Efi sendiri mengaku hanya mau jadi porter, dan guide bukanlah ambisinya. Sedang Efi sendiri bersedia ‘turun pangkat’ jadi porter dengan kami.
Beda kualitas antara Pak Ani dan Pak Efi terlihat dari pola pembicaraan kami. Ani yang walau lebih muda mampu mengimbangi pertanyaan2 saya tentang kondisi geologis Rinjani, juga pengetahuan tentang tanaman dan sumber air. Ani juga berani bertanya tentang saya dan kawan jalan saya (heh …sapa lagih) dalam bahasa Indonesia yang sangat baik. Sebagai ganti saya ajarin beberapa cara bertanya dalam bahasa Inggris dan tentu saja sharing cerita.
Di malam kedua Pak Efi porter itu mengeluh sakit kepala. Hingga ketika ia ditugaskan menemani kami ke puncak ia hanya sanggup separuh jalan. Kami dibiarkan jalan sendiri ke puncak. Sedang ia nampaknya memilih tidur dan menunggu kami di tebing. Sakitnya ternyata makin parah.
Saya memutuskan untuk memberi obat dan ektra baju hangat. Yah dengan porter kita harus bertanggung jawab pada kesehatan dan kemampuan dia. Memang mereka ini dibayar untuk membawa barang kita namun bukan berarti kita melenggang kangkung.
Prinsip kami jelasnya begini : kami membawa barang yang sekiranya jika porter/guide menghilang maka kami tidak kebingungan. Bukan rahasia lagi klo banyak porter dan guide yang sering ngelayap entah kemana. Karena itu biasanya kami tetep membawa rucksack sendiri, baju ektra, makanan, obat dan bila perlu bivouc sementara. Pokoknya apa saja yang bisa dibawa dan bisa dipergunakan bertahan hidup (survival).
Perilaku kita sebagai pengguna jasa porter dan guide juga sangat menentukan sukses tidaknya hubungan balik. Saya sering melihat bahwa dengan membawa porter dan guide seperti ‘menyerahkan nasib’ di tangan mereka. Bahkan hampir semua barang dipasrahkan kepadanya. Dalam aturan legal tentang beban maksimum ini telah disepakati batasan2nya. Walaupun itu tergantung dari lokasi dan jenis trekking, yang pasti beban itu harus dihitung ketika kita memulai trekking. Hal berikut juga harus dipertimbangkan :
Di Peru yang terkenal dengan trekking Manchu Pichu seorang porter pria dewasa hanya boleh membawa 25kg (termasuk barang pribadi), sedang porter perempuan dewasa dan porter remaja hanya boleh membawa 20kg saja.
Disamping beban, kita juga harus memperhatikan peralatan dan kesiapan porter. Naik gunung membutuhkan baju hangat dan sepatu yang sehat. Karena itu menjadi tanggung jawab kita juga jika porter merasa kedinginan, kaki lecet dsb. Kita harus memastikan bahwa mereka siap dan bisa menjaga diri dengan peralatan yang memadai. Bila perlu kita bisa meminjamkan atau bahkan menghibahkannya buat mereka.
Karena itu menyewa porter dan guide sangat besar tanggung jawabnya. Di buku Lonely Planet : Trekking in Himalaya malah disebutkan kita seperti berjalan dengan bayi. Artinya kita WAJIB memelihara kesehatan dan kemampuan porter, menjaga dari keadaan yang bisa membuatnya dalam posisi berbahaya.
Singkatnya kalau merasa tidak kuat naik gunung yah jangan naik gunung. Kalau merasa bakalan sakit yah jangan dipaksakan. Menempatkan porter dan guide dalam posisi bertanggung jawab terhadap keselamatan nyawa kita bukan saja menegasikan arti adventures namun juga menempatkan orang lain dalam posisi yang juga berbahaya. Itu rasanya kurang bertanggung jawab. Membayar porter bukan berarti menyerahkan hidup kita pada orang lain.
Photos :
Kredit untuk para porter yang telah menemani saya di Rinjani, Kinabalu, perbatasan Thailand
Jadi apa sih bedanya porter dan guide? Sebenarnya bedanya besar sekali. Porter –sesuai dengan namanya lebih sebagai ‘port’ atau memindahkan barang. Bahasa kasarnya yah tukang angkut barang. Sedang guide adalah lebih ‘terpelajar’ dalam arti mereka mempunyai pengetahuan lokal, mampu berkomunikasi, bisa menunjukkan arah dan jalan karena mengenal medan dengan baik.
Baik porter dan guide biasanya diambil dari penduduk sekitar trekking atau pegunungan. Biasanya mereka hidup sebagai petani dan menjadi penunjuk jalan adalah pekerjaan sampingan mengisi masa2 tenggat panenan. Seorang guide bisa jadi juga seorang porter. Misalnya jika ia telah merasa memiliki kemampuan komunikasi dengan pendaki terutama bahasa inggris. Naik pangkat antara guide dan porter juga sangat-sangat tipis. Tidak ada jenjang karir yang jelas.
Hasil obrolan saya dengan guide di Kinabalu adalah mereka ini harus menjadi porter dulu sebelum menjadi guide. Dalam masa didikan itu (oleh Nat Park dan managementnya) mereka diajarkan berbagai skill seperti pengetahuan logistik (mempersiapkan makan dengan higienis), menyediakan air minum, menyiapkan menu & masakan). Bahkan P3K dan rescue jika ada yang sakit atau kecelakaan.
Jelasnya ada sekitar ratusan guide di Kinabalu yang sebagian besar dari penduduk suku Kundasang. Cerita ini mirip banget dengan porter dan guide di Rinjani. Sewaktu kesana, Ani –porter saya adalah seorang guide. Kami memang bilang hanya butuh2 orang porter. Tapi ternyata telah ada Pak Ani (guide) dan Pak Efi. Pak Efi sendiri mengaku hanya mau jadi porter, dan guide bukanlah ambisinya. Sedang Efi sendiri bersedia ‘turun pangkat’ jadi porter dengan kami.
Beda kualitas antara Pak Ani dan Pak Efi terlihat dari pola pembicaraan kami. Ani yang walau lebih muda mampu mengimbangi pertanyaan2 saya tentang kondisi geologis Rinjani, juga pengetahuan tentang tanaman dan sumber air. Ani juga berani bertanya tentang saya dan kawan jalan saya (heh …sapa lagih) dalam bahasa Indonesia yang sangat baik. Sebagai ganti saya ajarin beberapa cara bertanya dalam bahasa Inggris dan tentu saja sharing cerita.
Di malam kedua Pak Efi porter itu mengeluh sakit kepala. Hingga ketika ia ditugaskan menemani kami ke puncak ia hanya sanggup separuh jalan. Kami dibiarkan jalan sendiri ke puncak. Sedang ia nampaknya memilih tidur dan menunggu kami di tebing. Sakitnya ternyata makin parah.
Saya memutuskan untuk memberi obat dan ektra baju hangat. Yah dengan porter kita harus bertanggung jawab pada kesehatan dan kemampuan dia. Memang mereka ini dibayar untuk membawa barang kita namun bukan berarti kita melenggang kangkung.
Prinsip kami jelasnya begini : kami membawa barang yang sekiranya jika porter/guide menghilang maka kami tidak kebingungan. Bukan rahasia lagi klo banyak porter dan guide yang sering ngelayap entah kemana. Karena itu biasanya kami tetep membawa rucksack sendiri, baju ektra, makanan, obat dan bila perlu bivouc sementara. Pokoknya apa saja yang bisa dibawa dan bisa dipergunakan bertahan hidup (survival).
Perilaku kita sebagai pengguna jasa porter dan guide juga sangat menentukan sukses tidaknya hubungan balik. Saya sering melihat bahwa dengan membawa porter dan guide seperti ‘menyerahkan nasib’ di tangan mereka. Bahkan hampir semua barang dipasrahkan kepadanya. Dalam aturan legal tentang beban maksimum ini telah disepakati batasan2nya. Walaupun itu tergantung dari lokasi dan jenis trekking, yang pasti beban itu harus dihitung ketika kita memulai trekking. Hal berikut juga harus dipertimbangkan :
- Barang2 pribadi si porter
- Batasan maksimum si porter membawa barang
- Tingkat kesulitan dan durasi lamanya trekking
- Tingkat kemampuan fisik si porter
Di Peru yang terkenal dengan trekking Manchu Pichu seorang porter pria dewasa hanya boleh membawa 25kg (termasuk barang pribadi), sedang porter perempuan dewasa dan porter remaja hanya boleh membawa 20kg saja.
Disamping beban, kita juga harus memperhatikan peralatan dan kesiapan porter. Naik gunung membutuhkan baju hangat dan sepatu yang sehat. Karena itu menjadi tanggung jawab kita juga jika porter merasa kedinginan, kaki lecet dsb. Kita harus memastikan bahwa mereka siap dan bisa menjaga diri dengan peralatan yang memadai. Bila perlu kita bisa meminjamkan atau bahkan menghibahkannya buat mereka.
Karena itu menyewa porter dan guide sangat besar tanggung jawabnya. Di buku Lonely Planet : Trekking in Himalaya malah disebutkan kita seperti berjalan dengan bayi. Artinya kita WAJIB memelihara kesehatan dan kemampuan porter, menjaga dari keadaan yang bisa membuatnya dalam posisi berbahaya.
Singkatnya kalau merasa tidak kuat naik gunung yah jangan naik gunung. Kalau merasa bakalan sakit yah jangan dipaksakan. Menempatkan porter dan guide dalam posisi bertanggung jawab terhadap keselamatan nyawa kita bukan saja menegasikan arti adventures namun juga menempatkan orang lain dalam posisi yang juga berbahaya. Itu rasanya kurang bertanggung jawab. Membayar porter bukan berarti menyerahkan hidup kita pada orang lain.
Photos :
Kredit untuk para porter yang telah menemani saya di Rinjani, Kinabalu, perbatasan Thailand
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home