Lady in Torture (aka Pijat Addicts)
Sejak bayi saya sudah dipijat. Entah karena rewel kecapaian ataupun dicurigai kena teluh. Sampai-sampai saya punya pemijat tetap bernama Mbah Suti yang selalu memijat ibu dan saya hingga masa puber datang. Disela-sela itu kadang ada Mbah Karang Rejek (ngg tahu nama aslinya, itu merujuk pada nama desa di Wonosari tempat ia berasal) yang mampir kerumah jika membutuhkan uang. Karena kasian akhirnya sayalah yang jadi korban. Hanya saja gaya memijat dia seperti orang tripping. Pake merem melek segala. Padahal mijitnya juga enggak keras banget.
Ketika di Jogja saya mulai jarang dipijit. Tapi kalau udah giliran sakit (terutama karena banyak kerjaan lapangan) datanglah tukang pijat keluarga. Orangnya sangar, gaya mijatnya otot dan urat . Di Jogja juga ibu saya mulai memijat bayi. Ternyata ibu mewarisi keahlian itu dari nenek yang part time dukun bayi. Dari situ saya mulai diajari memijat dan titik-titik tubuh.
Saat begini masalah datang jika saya sendiri yang capek. Apalagi angkut-angkut ransel, pindah sana sini, naik pesawat 12 jam non stop membuat kebutuhan akan "itu" jadi sangat mendesak. Setiba di Singapore Senin malam (13/08) saya mulai merasakan meriang.
Ketika travelling saya berusaha mampir ke tukang pijat. Sebenarnya enggak diniatin, kebanyakan karena tuntutan tubuh. Biasanya sehabis naik gunung atau trekking saya sisihkan waktu untuk mencicipi elusan tangan. Dari Khaosan Rd, Luang Prabang, Ubud, Shanghai hingga Singapura ini. Pengalaman pijat di berbagai negara membuat saya makin mengenal ciri masing2, gerakan khas dan juga kualitas.
Pijat ala Jawa menurut saya masih terlalu gentle, lebih bagus untuk sekedar melemaskan otot. Di Ubud kebanyakan pemijatnya adalah dari Jogja. Katanya karena mereka ini lebih telaten dengan elusan tangan yang lebih sabar. Gaya Thai lebih cocok untuk saya. Tipenya memang hardcore massages. Menekankan pada titik tubuh tertentu, dengan stretching ala yoga. Kalau tubuh luwes, pijit ini paling mengasyikkan. Ada kerjasama yang unik antara pemijat dan yang dipijat. Seperti ritual ketimbang hanya services.
Saya ngga punya langganan di kota Singapura ini. Sporadic saja sifatnya. Kadang ke sini atau disini. Saya mengkonsentrasikan pada pijat itu sendiri bukan produk spa yang lebih ke facial dan holistic treatment. Kagak kuat duitnya euy...
Minggu2 ini saya nginep didaerah Roberstson Quay yang tinggal nyebrang saja ke Ayuthaya untuk minta dibantai ala Thai. Benar saja dalam satu jam habislah badan ini.
Mark bilang, kenapa sih bayar hanya untuk di bantai. He he he.... memang udah addicts. Satu hal yang pasti : NO KEROK please !
Photo : Butterfly Massages di Shanghai
Labels: travelling
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home