Thursday, July 13, 2006

The Making Of Everest


By Janna Emmel with Broughton Coburn
Terjemahan bebas : Ambar Briastuti

Mendaki diatas ketinggian 26,000 kaki walaupun dengan menggunakan botol oksigen adalah seperti berlari di treadmill dan bernafas dengan sebatang sedotan. Tubuh menjerit menuntut untuk balik kanan
Pimpinan Tim Ekspedisi Film Everest, David Breashers.


Inilah sebuah pesan yang bijaksana. Kita menyadari bahwa mendaki di “death zone” ketika tubuh secara perlahan merasakan kehausan akan oksigen. Ketika sebuah kesalahan bisa berakibat fatal, dan ketika udara dingin dan angin mengancam jari dan tangan. Namun diantara kondisi itu masih ada yang ingin mencoba menciptakan sejarah.

David Breashears, yang telah membuat film tentang gunung tertinggi di dunia sebanyak sembilan kali adalah seorang cinematographer dan sutradara Everest yakni sebuah film yang diproduksi MacGillivray Freeman Film bekerjasama dengan perusahaan Breashers Arcturus Motion Pictures. Breashears yang pernah mendaki Mt Everest sebanyak empat kali adalah orang Amerika pertama yang mencapai puncak dua kali dan orang pertama yang menyiarkan langsung gambar TV dari ketinggian 29,028 kaki. Professional, pantang menyerah dan berpikir positive, ia menggambarkan :

Mendaki Everest adalah sebuah tantangan, keindahan fisik, pergerakan dan irama. Dan juga tentang resiko. Anda akan belajar mengenal diri sendiri, belajar ketika anda harus meninggalkan kenyamanan dan kehangatan juga rutinitas sehari-hari. Anda belajar bagaimana menghadapi situasi yang mungkin membahayakan jiwa. Walau nantinya akan ada penghargaan atas usaha keras, kelelahan yang amat sangat dan keletihan luarbiasa dirasakan ketika bangun pagi akan hilang keesokan harinya. Dan aku merasakan tubuh makin kuat dibanding sehari sebelumnya.

Menurut keterangan para sherpa, penganut Budha-lah yang bermigrasi dari Tibet menuju Nepal 450 tahun yang lalu dan kemudian mendiami lembah panjang yang membentang antara selatan dan timur Mt Everest. Para sherpa meyebut gunung ini Chomolungma, Ibu Para Dewi di Bumi. Kemampuan mountaineering para sherpa yang legendaris adalah bukti nyata terhadap keberhasilan ekspedisi2 awal upaya menaklukkan Mt Everest.

Sekitar 35 sherpa membantu pembuatan edisi film lebar Everest : bertugas memasak di Base Camp, membawa peralatan kamera IMAX hingga ke puncak dan kemanapun. Bagi Breashears dan para sherpa, menelusuri crevasses yang dalam, mendaki tanjakan, mengangkat pecahan es adalah pekerjaan yang harus dilakukan.

Sebuah Gunung Impian

Ketika Greg MacGillivray produser 18 film format raksasa mendatangi Breashears tentang rencana membawa kamera IMAX menuju Mt. Everest, Breashears langsung menyatakan bahwa itu adalah hal yang tidak mungkin. Dengan berat 80 pounds (sekitar 40kg), kamera tidak bisa dibawa ke ketinggian dimana setiap ons berat dianggap sebagai satu kesempatan untuk bertahan hidup. Breashears mencoba meyakinkan MacGillivray bahwa untuk mengambil gambar dengan 35mm adalah format yang dianggap biasa. Mac Gillivray tidak menyerah :”Aspek rasio vertical dari format IMAX adalah sempurna untuk Everest. Ini harus dilakukan dengan format raksasa. Kita pasti bisa melakukannya.”

Dalam beberapa bulan di tahun 1994-1995, Breashears dan MacGillivray bekerja dengan teknisi IMAX Kevin Kowalchuk, Gord Harris dan anggota tim teknis untuk membuat sebuah kamera yang lebih kecil yang mampu bertahan dalam ektrem temperature dan kondisi di Himalaya.

Bagian logam dari kamera IMAX diganti dengan bahan plastic dan sabuk sintetis untuk memberikan fleksibilitas yang tinggi dalam temperature yang sangat dingin. Kamera baru tsb dengan berat 35 pound (hampir 18kg) bekerja dengan baterai sel lithium yang bisa tetap beroperasi dalam suhu dibawah beku. Tombol-tombolnya dibuat lebih besar sehingga tangan dengan kaos pelindung bisa mengoperasikan dengan mudah. Sebuah monopod digunakan untuk mengganti tripod yang berat.


Breashears memimpin sebuah ekspedisi untuk melakukan test kamera dengan menjelajahi Himalaya dan Basecamp hingga ketinggian 17,400 kaki pada musim semi tahun 1995. Ia kembali dengan hasil mengesankan; bahwa kamera bekerja tanpa ada hambatan berarti. Breashears dan MacGivillvray Freeman Film memulai perencanaan untuk ekspedisi film Mt Everest pada musim semi 1996.

Ketika Breashears mulai mengumpulkan anggota tim pendaki dan mengatur logistik untuk ekspedisi, MacGillivray Freeman Films (MFF) mempekerjakan co-writer Tim Cahill untuk bekerja dengn Steve Judson dalam pembuatan skrip film, MFF juga membawa para ilmuwan sebagai penasehat terdiri dari : ahli geologi, psikolog high-altitude, ahli di bidang budaya para sherpa dan sejarah mountaineering di Everest. Sebagai tambahan yakni tim yang akan membantu menghimpun data geologi Himalaya. Dengan menggunakan teknologi GPS (Global Positioning System), para ilmuwan akan mempelajari setiap pergerakan tektonik yang membentuk gunung tertinggi di dunia itu. Jajaran Himalaya terbentuk dari keping benua India mendesak masuk ke dalam keping Asia, sehingga puncak-puncak gunung di Himalaya terus bertambah tinggi ¼ inc setiap tahunnya. Para pendaki tersebut akan membantu para ilmuwan untuk memahami proses tsb dengan membawa pengukuran GPS hingga ke Everest.

Yakity Yak

Trekking sepanjang jalan menanjak dan sempit di Himalaya pada bulan Maret 1996, Judson mengaku : “Jangan sampai berdiri diantara seekor yak dan tebing curam!” Sebagai seorang co-writer/sutradara/produser Everest, Judson menceritakan tentang jalanan berbatu itu dengan Breashears, asisten kamera Brad Ohlund dari MFF dan Robert Schauer dari Austria bersama dengan tim pendaki yang terdiri dari 4 negara, para sherpa, dua ilmuwan penasehat, dua staf di basecamp dan sekitar sembilan puluh ekor binatang berbulu tebal bernama yak. Judson dan Ohlund membantu Breashears dan Schauer dengan pengalamannya di bidang sinematografi di film format besar sepanjang rute hingga Base Camp. Selebihnya para pendakilah yang akan melanjutkan tugas ini.

Lebih dari tiga ton barang berisi peralatan -250 beban muatan makanan, film dan alat-alat climbing- dibawa dengan menggunakan yak dan porter dari Lukla (9,000kaki). Perjalanan ini memakan waktu dua minggu karena curamnya medan dan perlunya mendaki dengan perlahan untuk menyesuaikan diri dengan sedikitnya oksigen dalam ketinggian. Ketika mereka tiba di Base Camp pada 3 April, ahli geofisika dan ilmuwan penasehat tim Roger Bilham mengatakan, ”Ketika duduk, kamu merasa normal…namun ketika beranjak …kamu bahkan tidak bisa membuat kalimat, hanya mungkin terdiri dari empat kata atau kurang …karena kamu sulit sekali bernafas."

Sepuluh tim ekspedisi lain mulai berdatangan di Everest Base Camp yang kemudian merubah tempat ini seperti sebuah kota kecil berpenghuni 300 orang. Tenda-tenda bertebaran dalam jarak satu mil diantara bebatuan yang tertutup salju dan es. Kondisi ini dirasa tidak biasa karena besarnya jumlah peserta dan para pendaki yang ingin menuju puncak Everest. Dua dari para pemimpin ekspedisi adalah seorang dari New Zealand bernama Rob Hall dan seorang Amerika bernama Scott Fischer adalah kawan baik Breashears dan Wakil pemimpin tim ekspedisi film Everest, Ed Viesturs.

Dalam sebulan selanjutnya, para pendaki mulai membawa makanan, peralatan dan oksigen menuju empat camp yang lebih tinggi. Ini dilakukan untuk menyesuaikan tubuh mereka dalam kondisi sedikit oksigen dan juga memperkuat ikatan kebersamaan, saling percaya antara anggota tim dan juga membangun kepercayaan diri. Jamling Tenzing Norgay, anak laki-laki dari Tenzing Norgay adalah pemimpin tim pendaki untuk tim Ekspedisi Film Everest. Ia berharap dengan mendaki gunung Everest sebagai bentuk penghormatan atas legenda ayahnya sebagai orang pertama yang mendaki gunung itu bersama Sir Edmund Hillary di tahun 1953. Araceli Segarra, pendaki muda yang antusias ini berharap menjadi wanita pertama dari Spanyol yang akan mampu menaklukan puncak Everest. Sumiyo Tsuzuki dari Jepang berharap akan menjadi wanita kedua dalam sejarah negaranya dalam pendakian Everest.

Sementara itu David dan Robert mencoba berbagai kesempatan untuk membuat film kapanpun mereka bisa. “Membuat film tentang Everest itu lebih berat daripada mendaki Everest,” begitu kesimpulan Breashears. “Pekerjaan tidak akan pernah selesai ; dari meeting di malam hari membicarakan rencana shooting, memasang film, membersihkan kamera, memperbaiki kamera, menulis daftar shooting, merekam dan mempersiapkan dialog. Selama waktu itu, dituntut untuk mencari shots yang bagus secara terus menerus, mencoba membuat keputusan yang tepat : apakah aman untuk berhenti disini? Apakah cukup pencahayaan? Apakah perintah saya membuat para anggota tim turun semangat? Dengan berhenti mengambil shot ini apakah kitta kehilangan cahaya, atau resiko bisakah mencapai camp ? Sejak awal kami telah sadar bahwa jika ini berhasil, ini akan menjadi salah satu pencapaian tersendiri bagi pembuatan film di Himalaya.”

Badai Mematikan

Tim Film Everest menurut rencana akan mencoba mendaki pada 9 Mei sambil menunggu di Camp II (21,300 kaki). Panjangnya jejak para pendaki menuju puncak hari itu 10 Mei akan menciptakan kemacetan yang sempat dikhawatirkan oleh Breashears dan Viesturs.” Turun dari tebing atas Everest adalah salah satu yang paling berbahaya dari pendakian itu sendiri. Kita harus mampu melewati para pendaki itu dalam perjalanan turun dari puncak. Kita harus melepas carabiners dari fixed-line dan memasangnya kembali. Ini berlangsung berturut-turut diantara orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan mountaineering. Mungkin saja para pendaki itu menginjak tali dan memotong tali secara tidak sengaja dengan crampon-nya. Atau menjatuhkan es dan bebatuan.”

Keputusan tim untuk menunggu terbukti adalah keputusan yang bijaksana. Pada 10 Mei, 23 pendaki dari tiga tim ekspedisi merayakan keberhasilannya di puncak. Namun begitu mereka turun, keberhasilan itu menjadi malapetaka ketika badai dasyat menerjang mereka. Hilang dalam kegelapan di “death zone” mencari jalan kembali menuju Camp IV di South Col, delapan orang hilang ditelan badai. Dua orang diantaranya adalah kawan Viesturs’s dan Breashers yakni Rob Hall dan Scott Fischer.

Makalu Gau dari Taiwan dan seorang Amerika Dr. Seaborn “Beck” Weathers mengalami frost bite yang sangat parah dan memerlukan pertolongan dari Camp IV. Sebuah tim ekspedisi untuk penyelamatan dibentuk di Camp II dan III. Viesturs dan Schauer mendaki hingga 25,000 kaki tempat dimana mereka harus menuntun Weathers turun selangkah demi selangkah. Viesturs memeganginya agar tidak jatuh sedangkan Schauer membantu menempatkan kaki Weathers di permukaan es. Para sherpa yang membantu Gau melakukan hal yang sama. Di Camp III, Breashears bergabung, menuntun Weathers turun dalam tebing sedalam 2,500kaki. Walaupun tim Film Everest membawa peralatan video, namun mereka memilih berkonsentrasi pada tindakan penyelamatan.

Ketika tim Everest Film mencapai Camp I dengan Gau dan Weathers, mereka menghadapi masalah besar : Khumbu Icefalls yang mematikan, sebuah bentukan blok es sebesar gedung bertingkat yang dapat terangkat tanpa ada peringatan lebih dulu. Banyak orang yang meninggal di Icefall, jatuh ke dalam crevasses yang dalam dan terperangkap oleh glasier yang bergerak menghimpitnya. Untuk membawa Weathers dan Gau hingga Base Camp, Viesteurs merenung, “Ini akan memerlukan upaya sehari semalam dan menempatkan banyak orang dalam resiko.” Ternyata doa itu terkabulkan ketika sebuah helicopter terbang dari Kathmandu menuju Camp I yang kemudian tercatat sebagai upaya penyelamatan dengan helicopter tertinggi dalam sejarah.

Para anggota tim Film Everest kembali ke Base Camp dalam kondisi capai dan shock. Judson yang baru saja kembali dari California membagikan cerita tentang kondisi tim, “Tragedi ini meninggalkan para pendaki dalam kondisi kecapaian baik fisik dan emosional. Mereka berduka; suplai oksigen yang ada di atas camp telah digunakan untuk tim penyelamat. Tidak ada yang akan menyalahkan jika mereka memilih jalan selamat. Namun kemudian mereka menemukan kekuatan baru, bergabung dengan tim kembali dan menuju puncak gunung. Sungguh ini butuh perjuangan.”

Kemauan untuk Sukses

Kembali ke gunung adalah sesungguhnya keputusan pribadi dari masing-masing anggota tim. Viesturs tidak menginginkan perasaan duka terus bergayut di gunung. Ia ingin mengingatkan pada dirinya sendiri dan orang lain bahwa mendaki Everest bisa dilakukan dengan aman. Segarra, yang telah memberikan waktu dan usaha penuh bagi ekspedisi memutuskan untuk mencoba mendaki puncak. Schauer sependapat, “Aku tidak pernah memikirkan akan kembali ke atas sana. Kita punya pekerjaan yang harus diselesaikan dan aku merasakan cuaca belum juga datang.” “Gunung adalah sebuah tempat menyimpan kecantikan,” Breshears menyimpulkan,” Walaupun segala usaha, tragedi dan kegagalan, kita tidak akan kembali mendaki gunung jika tidak untuk menikmati keindahannya.”

Dibutuhkan waktu dua hari bagi para sherpa untuk menambah stok botol oksigen di South Col. Pada tanggal 17 Mei anggot tim Film Everest meninggalkan Base Camp sebagai sebuah upaya akhir untuk memasang peralatan sains di High Camp. Dan jika cuaca mengijinkan mereka akan mencoba keberuntungan mendaki hingga puncak.

Kembali ke Death Zone


Pada 20 Mei, anggota tim menerima kabar menggembirakan bahwa gelombang jet bergerak menuju utara, menandakan awal periode tenang, atau udara cerah. Breashears menggambarkan rencana pendakian : “Pada pagi dini hari pada 23 Mei –sesaat setelah melewati tengah malam pada tanggal 22- kami meninggalkan High Camp menuju keatas. Empat sherpa akan membawa kamera, dua sherpa membawa botol oksigen untuk anggota tim dan dua botol untuk tambahan di Southeast Ridge untuk para pendaki yang kembali. Tidak ada sherpa yang membawa barang lebih dari 35pounds (19 kg).”Rencana tim adalah berada di puncak pada pukul 10 atau 11 siang dan kembali ke High Camp akan memberikan waktu beberapa jam sebelum malam. Tsuzuki yang berusaha menyembuhkan diri dari retak tulang iganya diminta untuk tetap berada di High Camp sebagai tenaga komunikasi dan penyelamatan.

Pada malam tanggal 22, Schauer nampak sedang sibuk menyiapkan diri. Di dalam tenda untuk tiga orang, penuh dengan alat memasak dan peralatan film, ia memasang empat film dan memeriksa lensa kamera. Dengan masker oksigen yang dikenakannnya maka pekerjaan seperti ini nampak kesulitan. Ketika ia melepas masker, ia hanya mampu bekerja dalam waktu 15 menit sebelum reaksi otot dan pergerakannya menjadi makin lambat.

Visteurs meninggalkan tim satu jam lebih awal yaitu sekitar 10malam. Perjalananan dalam salju sedalam lutut dan mendaki tanpa bantuan oksigen, ia berharap anggota tim lain akan segera menyusulnya. Walaupun jarak antar South Col dengan puncak hanya sekitar 1.5 mile, namun para pendaki harus melampui tanjakan dengan kecepatan 12kaki setiap menitnya.

Para anggota tim melewati tubuh Hall dan Fischer. “Menyaksikan mayat Rob Hall adalah hal terberat dalam proses pendakian,” kata Segarra,”Dia berada di tempat dimana kita memerlukan konsentrasi –bukannya tempat dimana kita membuat kesalahan.”

Sekitar pukul 10:55 pagi Viesteurs menyampaikan kabar ke Base Camp melalui radio, sembari memberi tahu bahwa ia dan Breashears terus berusaja semampunya. “Dari tempat kami berdiri, nampaknya semua menuju kebawah.” Jangbu Sherpa dan Lhakpa Dorje segera bergabung dengan mereka. Ed tidak mampu menunggu lebih lama lagi. Tanpa bantuan oksigen, tubuhnya menjadi dingin sehingga ia harus segera turun.

Pada pukul 11:35, Jamling, Araceli, Robert dan Sherpa Lhakpa Dorje, Thilen, Dorje dan Lhakpa Moktu mencapai puncak. Anggota tim film Everest membuat sejarah di dunia sinema dengan berada di puncak Mt Everest dengan kamera IMAX. Selama ini adalah kamera terbesar yang pernah mengambil gambar di tempat palng tinggi di dunia. Sambil menggambarkan saat-saat terpenting dalam perjalanan karirnya, Breashears mengganti film dengan mengisi magazine lagi tanpa memperhitungkan kemungkinan frostbite dengan tangan telanjang. Schauer yang pernah mendaki Mt Everest 18 tahun lalu menggambarkan,”Ketika aku mendengar suara kamera beroperasi dengan mulus, aku jadi lega. Ini adalah alasan kenapa kami berada di Mt Everest.” Untuk keseluruhan, anggota tim mengambil gambar lebih dari tiga menit di puncak dan tebing. Sebuah pencapaian luar biasa.

Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaan yang dialami oleh Jamling Tenzing Norgay :
Disinilah tempat dimana ayahku berdiri 43 tahun yang lalu. Aku menangis bahagia sembari melihat sekeliling dan menelangkupkan tanganku sembari berucap terima kasih kepada Chomolungma

Bagi Breashears, hari bahagia tidak akan lengkap jika semua anggota tim belum kembali ke High Camp. “Sebagai pemimpin dan sutradara, aku berada di puncak dalam situasi siaga karena kami tahu dengan pasti orang-orang yang berada disini kurang dari dua minggu lalu tidak mampu turun ke bawah dengan selamat.”

Para anggota tim film berhasil mencapai puncak dan juga berhasil memasang stasiun pengamat dengan pengukuran GPS untuk Bilham dalam ketinggian 26,000kaki. Para ahli geologi yang menjadi penasehat tim bahkan meyakinkan tim untuk membawa pulang contoh batuan yang berasal dari ketinggian tsb.

Setelah kembali ke High Camp, Segarra menulis dalam jurnalnya,”Aku kembali dan memandang ke atas gunung. Ia berdiri dengan cantik dan gagah, sebuah aura kebaikan mengelilingi gunung itu, atau mungkin rasa kedamaian yang menyelimutinya dengan kulit saljunya.”

IMAX and IMAX experience are registered trademarks of Imax Corporation

Further reading :
  1. Everest : Mountain Without Mercy by Broughton Coburn and Tim Cahill
  2. Touching My Father's Soul : In The Footsteps of Tenzing Norgay by Jamling Tenzing Norgay and Broughton Coburn
  3. The Climb : Tragic Ambition on Everest by Anatoli Boukreev and G Weston DeWalt
  4. Into Thin Air : Personal Account of the Everest Disaster by Jon Krakauer

Pictures sources :
  • Amazon.co.uk for the DVD series
  • Classic.Mountainzone.com for the Imax Camera
  • Edviestur.com for his photos after shot in the summit

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home